LANTARAN sering melihat suaminya terpingkal-pingkal ketika menceritakan pengalamannya tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Raden Roro Utami Ramelan (kemudian dikenal sebagai Utami Suryadarma; rektor Universitas Res PUblica 1964-1966) menuslikan pengalaman lucu suaminya, Suryadi Suryadarma (KSAU 1946-1963), itu dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi dan Tanah Air. Pengalaman itu terjadi di Malang.
Setelah mendapat tugas membantu Kepala Staf Umum TKR Letjen Urip Sumohardjo menyusun Tentara Keamanan Rakyat (TKR), termasuk TKR Djawatan Oedara, Suryadarma ditugaskan Urip ke Jawa Timur untuk mengkonsolidasi beragam kelompok perjuangan setempat guna dilebur ke dalam TKR. Ditemani Adisutjipto, Suryadarma berangkat ke Surabaya beberapa hari menjelang 10 November.
“Maka di Surabaya, ketika mereka berdua sudah bertemu-muka dengan pimpinan pertempuran, mereka memberikan berbagai penjelasan yang diperlukan,” kata Utami dalam memoarnya.
Suryadarma dan Adisutjipto lalu melanjutkan perjalanan ke Pangkalan Udara Bugis (kini Lanud Abdurrahman Saleh), Malang. Lanud ini merupakan lanud pertama yang dioperasikan Indonesia setelah merdeka. Adalah Mayor Mutakat Hurip, ketua Koordinator Badan Perjuangan eks militer, yang membuatnya bisa dioperasikan lantaran berhasil melakukan pengambilalihan persenjataan –mulai dari senjata penangkis udara, persenjataan detasemen pengaman lapangan, hingga 105 pesawat di lanud– dari pihak Jepang di bawah Kolonel Katagiri pada September 1945.
Setelah beroperasi, Hendro Suwarno ditunjuk menjadi komandan pangkalan oleh Kolonel Sujai dari Divisi VII. Lantaran masa revolusi, di mana hampir semua segi masih dirintis dari nol, penunjukan Hendro pun berjalan lucu.
“Hendro Suwarno pangkatnya apa?” tanya Sujai.
“Wah, nggak ngerti. Lha, Pak Jai pangkatnya apa?” jawab Hendro.
“Ya kolonel. Kalau begitu, Mas Hendro Letnan Kolonel.”
“Lalu, apa kerjanya?” tanya Hendro.
“Begini saja, saya pegang bagian pendidikan, you pegang operation. Komandan pangkalannya Hendro Suwarno. Yang lain, ya berpangkat mayor saja,” kata Sujai, dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.
Letkol Hendro itulah yang berupaya ditemui Suryadarma dan Adisoetjipto. Maka, begitu sampai Lanud Bugis, keduanya langsung menuju kantor Hendro dan diterima ajudan sang komandan dengan sebilah katana di pinggang. Keduanya dipersilakan menunggu.
Setelah cukup lama menunggu, keduanya dipersilakan masuk ke ruang kerja Letkol Hendro. Alih-alih langsung menemui kedua tamunya, Hendro justru menanyakan siapa sang tamu kepada ajudannya. Sang ajudan lalu meneruskan, “Siapa Anda?”
Selanjutnya, dioalog antara tamu dan Hendro pun berlangsung terus-menerus melewati perantaraan ajudan. Hal itu membuat Suryadarma dan Adisoetjipto selalu menahan tawa setiap kali melihat ajudan datang.
“Soeriadi dan Adisoetjipto tahu persis bahwa si komandan sedang meniru seorang komandan tentara Jepang yang berhadapan dengan seorang pribumi,” kata Utami.
Semuanya berakhir ketika Suryadarma menjelaskan bahwa dirinya merupakan utusan Kepala Staf Umum TKR Letjen Oerip. Mengetahui tamunya adalah orang yang lebih tinggi pangkatnya, Hendro langsung menghampiri Suryadarma dan Adisoetjipto sambil meminta maaf.
“Soeriadi dan Adisoetjipto tidak dapat lagi menahan gelinya, dan meledaklah tawa mereka terbahak-bahak. Komandan pangkalan malu sekali, apalagi setelah mengetahui ia sedang berhadapan dengan pucuk pimpinannya sendiri,” sambung Utami.