Tanggal 8 Januari 1985, adalah hari yang nahas bagi Hartono Rekso Dharsono. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap jenderal terpidana itu. Putusan hakim mendakwa Dharsono bersama tokoh Muhammadiyah A.M. Fatwa terlibat komplotan Islam garis keras yang meledakan gedung BCA di Jakarta Kota.
Jika Dharsono orang biasa tak jadi soal. Namun tuduhan itu dilayangkan kepada mantan panglima Kodam Siliwangi. Menurut catatan Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit, Dharsono adalah satu-satunya perwira tinggi TNI berpangkat letnan jenderal yang pernah ditangkap oleh pemerintah dan dihukum dengan tuduhan subversi.
Pada hari vonis akan dijatuhkan, suasananya tegang. Handai tolan dan simpatisan ramai mendatangi persidangan Dharsono. Diperkirakan yang hadir ribuan orang, memadati segenap tempat, baik di ruang persidangan maupun di luar gedung hingga jalanan. Karena kekhawatiran akan munculnya huru-hara, penjagaan dibuat ekstra ketat.
Dalam pengadilan, A.M. Fatwa bersaksi “Tidak sepantasnya Jenderal Dharsono duduk sebagai terdakwa di pengadilan ini.” Kesaksian itu direkam Fatwa dalam memoarnya Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa.
Pendekar Orde Baru
Perwira TNI kelahiran Pekalongan, 10 Juni 1925 ini mengawali kiprah militernya sebagai komandan regu Divisi Siliwangi. Pengalaman tempur Dharsono kian teruji ketika menjadi komandan batalion Brigade Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Ton – sapaan akrab Dharsono – menapaki jenjang perwira tinggi setelah menjabat kepala staf Kodam Siliwangi tahun 1965. Pasca prahara G30S, Dharsono menjadi salah satu jenderal yang diandalkan Soeharto guna mengamankan Jawa Barat dari pengaruh PKI.
Loyalitas Dharsono kepada Soeharto tak perlu diragukan. Bersama Amir Machmud (Panglima Jakarta Raya), M. Jasin (Panglima Brawijaya), Kemal Idris (Panglima Kostrad), dan Wijoyo Soejono (Komandan RPKAD di Malang), Dharsono menandatangani dukungan tertulis terhadap kepemimpinan Soeharto. Dukungan tersebut dikenal sebagai “Ikrar Panglima Sejawa”. Dharsono bahkan disebut-sebut sebagai salah satu jenderal penting yang membantu Soeharto naik ke tampuk kekuasaan.
Salim Said, pakar politik dan militer, menyebut Dharsono satu dari tiga “King Maker” pelopor Orde Baru. Selain Dharsono, terdapat nama Kemal Idris dan Sarwo Edhie Wibowo (Komandan RPKAD). Apabila Kemal dan Sarwo bergerak di lapangan lewat pasukannya dalam menentang Soekarno, maka Dharsono bertindak sebagai organisatoris. Menjelang lengsernya Presiden Sukarno, Dharsono menjadikan markas Siliwangi sebagai basis untuk menggalang kekuatan anti-Soekarno di kalangan Angkatan Darat.
“Dharsono sekarang merasa cukup aman untuk secara terang-terangan menyatakan bahwa Divisi Siliwangi tidak akan mempertahankan Sukarno karena dia telah gagal sebagai orang politik,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer di Indonesia 1945--1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Jasa dibalas jasa. Pada 1966, Soeharto mengangkat Dharsono sebagai Panglima Kodam Siliwangi. Pengangkatan Dharsono sekaligus menggantikan Ibrahim Adjie yang dikenal sebagai loyalis Sukarno.
Saat menjadi Panglima Siliwangi, Dharsono - diduga atas instruksi Soeharto – pernah menerbitkan surat perintah: melarang warga Jawa Barat untuk mengunjungi atau dikunjungi Sukarno. Pelarangan ini meneruskan TAP MPR XXIII/1967 yang menetapkan pelarangan kegiatan politik terhadap Bung Karno.
“Pertemuan Bung Karno dengan rakyat ditafsirkan Panglima Siliwangi (dan Pangdam Jakarta Raya) sebagai kegiatan politik,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada Historia. Belakangan, setelah tak lagi menjabat, Dharsono meminta maaf atas hal itu kepada keluarga Bung Karno.
Keadaan berbalik seiring makin tegaknya rezim Orde Baru. Ketiga King Maker tadi justru ditendang dari pusaran kekuasaan. Lazimnya politik pengasingan ala Soeharto, Dharsono ikut mengalami nasib “didubeskan” mengikuti jejak Kemal dan Sarwo. Pada 1969, pos duta besar di Bangkok, ibukota Thailand menanti Dharsono. Dengan bintang tiga di bahu, Dharsono purnabakti dari TNI.
Bikin Soeharto Panas
Dharsono mulai unjuk suara menyaksikan pemerintahan Soeharto yang cenderung otoriter. Pada 1978, setelah berbicara kritis di depan para mahasiswa di Bandung, dia dipecat sebagai Sekjen ASEAN. Hukuman itu tak bikin jera Dharsono. Dia tetap vokal melontarkan kritik.
Pada September 1984, tak lama setelah Peristiwa Tanjung Priok, bersama 22 orang lainnya yang sebagian besar anggota Petisi 50, Dharsono menandatangani “Buku Putih” menggugat pembantaian oleh ABRI terhadap kelompok Islam. Laporan intelijen menyebut bahwa Dharsono dan A.M. Fatwa merencanakan suatu gerakan dalam suatu pertemuan di sebuah mushola dekat rumah Fatwa. Dharsono kemudian diciduk dan dimasukkan dalam bui.
Kriminalisasi terhadap Dharsono agak ganjil dan terkesan jebakan untuk membungkam dirinya. Pasalnya, pada 19 September 1984, Fatwa ditahan tetapi Dharsono baru ditangkap 8 November 1984. Sedangkan tuduhan yang disangkakan kepada Dharsono adalah keterlibatan dalam pemboman gedung BCA yang tidak berkaitan dengan Peristiwa Tanjung Priok.
Menurut Fatwa, kasus hukum yang menjerat Dharsono merupakan puncak akumulasi perihal sikap kritisnya terhadap rezim Soeharto dan tentu sudah diplot. Sesungguhnya, kedatangan Dharsono ke rumah Fatwa hanya untuk kepentingan bertamu. Namun Dharsono – yang telah diintip intelijen – dituding mengadakan rapat gelap di sana.
“Alangkah bodohnya saya kalau mau bicara pemboman mengizinkan pertemuan di rumah saya, bersama Pak Dharsono. Tapi, begitulah pemberitaan pers seolah-olah juga membenarkan tuduhan,” kata Fatwa.
Setelah banding, Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukuman Dharsono dari sepuluh tahun menjadi tujuh tahun penjara. Namun Dharsono menghabiskan masa lima tahun hidupnya dalam penjara. Pada 1990, dia dibebaskan sebagian karena dipotong remisi.
Adnan Buyung Nasution, pengacara kawakan yang membela Dharsono dalam otobiografinya Pergulatan Tanpa Henti: Menabur Benih Reformasi mengatakan, Dharsono dianggap sebagai musuh, sebagai saingan, sebab itu harus diberi hukuman. Untuk membuat jera, membuat takut orang lain, supaya tidak ada lagi yang berani melawan Soeharto.
“Soeharto punya kebencian atau ketakutan pribadi terhadap H.R. Dharsono yang merupakan seorang panglima, jenderal sungguhan dari Siliwangi, yang berani melawan Soeharto,” ujar Buyung.