Ketika isu Palestina disampaikan kepadanya, Presiden AS Joe Biden malah bicara soal iklim. Itulah secuplik pembicaraan Biden dengan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan bilateral di Gedung Putih, Washington D.C pada 13 November 2023 silam. Kedatangan Jokowi ke Amerika dalam rangka undangan pemerintah AS menjelang KTT APEC di San Francisco.
Meski logat Jawanya masih medok, Presiden Jokowi mengucapkan pernyataannya dengan bahasa Inggris yang cukup jelas. Jokowi membuka pembicaraan dengan menyatakan AS adalah salah satu mitra terpenting Indonesia dalam kerjasama ekonomi dan rantai pasokan. Ditambahkannya pula bahwa Indonesia berharap kemitraan tersebut dapat berkontribusi terhadap perdamaian serta kemakmuran regional dan global. Pada penutup, Jokowi menyinggung tentang serangan militer Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza yang kini masih terus berlangsung.
“Oleh karena itu, Indonesia mengimbau AS untuk berbuat lebih banyak untuk menghentikan kekejaman di Gaza. Gencatan senjata adalah suatu keharusan demi kemanusiaan. Sekali lagi, terimakasih atas undangan Anda. Presiden Biden, terimakasih,” kata Presiden Jokowi.
Baca juga: Kala Penduduk Gaza Terusir, Peristiwa Nakba Terulang Lagi?
Alih-alih menanggapi, Presiden Biden menimpali dengan jawaban di luar konteks yang disampaikan padanya. Biden menyinggung Jokowi ketika datang ke Gedung Putih dan baru turun dari mobil, mengeluhkan cuaca dingin. Jadi, Biden lebih tertarik dengan isu perubahan iklim yang sekarang juga tengah melanda dunia.
“Dan saya mau cepat selesaikan hal itu. Selamat datang,” pungkas Biden.
Percakapan Biden mengingatkan kita kepada pendahulunya, Dwight David Eisenhower, presiden AS ke-34 (1953—1961) yang berasal dari Partai Republik. Eisenhower juga pernah “tidak nyambung” dengan Presiden Sukarno. Dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno mengenang ketidakcocokan dirinya dengan Eisenhower.
Baca juga: Ketika Sukarno Murka kepada Presiden Amerika Serikat
Pada 1956, Bung Karno bertandang ke Amerika atas undangan Presiden Eisenhower. Saat itu, Indonesia baru saja sukses menghelat Konferensi Asia-Afrika. Sukarno juga mulai tampil sebagai salah satu pemimpin bangsa Asia terkemuka dan berpengaruh. Pemerintah AS tentu ingin meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Dengan itu, Indonesia diharapkan menjauh dari blok Uni Soviet dan RRT dalam konteks Perang Dingin.
Ketika tiba di Washington pada 16 Mei 1956, Bung Karno mendapat sambutan hangat dari warga ibukota AS. Dia juga berkesempatan menyampaikan pidato di sidang Kongres bahkan mempromosikan Pancasila di hadapan anggota dewan legislatif AS. Pidato itu disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik yang pernah kumandang di Kongres AS. Sukarno menyampaikannya dalam bahasa Inggris yang fasih, jernih, dan memikat selama 45 menit. Pun demikian di negara bagian lain yang dikunjunginya, Sukarno diterima dengan mengesankan.
Kendati demikian, kesan serupa tidak diterima Sukarno dari Eisenhower. Dalam suatu pertemuan di Gedung Putih, Sukarno merasa tidak ada kontak batin antara dirinya dengan Eisenhower. Pernyataan Sukarno tentang hasrat merdeka bangsa-bangsa Asia tidak kurang ditanggapi Eisenhower. Sukarno dan Eisenhower hanya berhasil membincangkan kegemaran mereka pada minat yang sama, yaitu film.
Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
“Saya dengar Tuan senang melihat film, Presiden Sukarno. Sekali berapa hari Tuan menyaksikannya?” tanya Eisenhower.
“Tiga minggu sekali di Istana,” jawab Bung Karno.
“Tuan tahu berapa kali saya melihatnya?”
“Tidak, berapa kali Tuan melihatnya, Presiden Eisenhower?”
“Saban malam. Film apa yang Tuan gemari?, Presiden Sukarno?"
“Cerita pengalaman, sejarah dan biografi.”
“O begitu? Nah, kesenangan saya cuma film koboi. Dan saya bertaruh, Tuan tidak dapat menerka siapa yang menjadi bintang kesayangan saya.”
“Saya tidak tahu? Siapa?”
“Randolph Scott.”
Di sela-sela percakapan yang kaku itu, Sukarno mengutarakan psikologi sosial bangsa-bangsa Asia pasca-Perang Dunia II. Dijiwai spirit kemerdekaan, hampir sebagian besar bangsa Asia telah berhasil berjuang melepaskan diri dari kolonialisme. Suatu bangsa yang dijajah, merasakan kepahitan hidup, kutuk, dan laknat, tidak akan melepaskan kemerdekaanya begitu ia mendapatkannya. Sukarno meminta Eisenhower memberitahu kepada rakyat Amerika akan hal itu. Mengenai urusan intervensi dan paham demokrasi Barat, Sukarno juga mengkritisi. Itu tidak dapat dipaksakan, sekalipun AS memberikan bantuan terhadap negara lain.
“Sebagai seorang sahabat yang bijaksana dan lebih tua, Amerika semestinya membantu kami, memang betul. Tetapi, mencampuri urusan kami? Tidak. Kami telah melihat pelaksanaan kapitalisme dan demokrasi Barat melalui bangsa Belanda. Kami menolak sistem macam itu,” kata Sukarno seperti dicatat penulis otobiografinya, Cindy Adams.
Baca juga: Rahasia Kennedy tentang Sukarno
Eisenhower barangkali tertohok mendengar apa yang dikatakan Sukarno. Itulah sebab kiranya dia lebih tertarik membicarakan film daripada membalas uraian Sukarno. Setelah mengunjungi AS, Sukarno kemudian meneruskan lawatannya ke Uni Soviet. Di Moskow, Sukarno menerima sambutan yang jauh lebih meriah. Berbeda dari Eisenhower, pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev, menaruh perhatian terhadap isu kolonialisme dan perjuangan bangsa Asia.
“Pers Amerika segera berbalik menentangku. Itulah awalnya mereka memberi julukan kepada seorang yang amat mencintai Tuhan sebagai seorang komunis,” celetuk Sukarno.
Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya, sikap netral Indonesia dan sukarnya mengendalikan Sukarno memicu rasa khawatir AS. Pejabat dalam lingkaran utama pemerintahan Eisenhower curiga Indonesia bergerak semakin kiri. Apalagi politik luar negeri AS dipengaruhi oleh doktrin Menteri Luar Negeri John Foster Dulles bahwa netral sama dengan amoral. Rasa khawatir dan curiga itu selanjutnya menjadi salah satu pendorong perubahan politik pemerintahan Eisenhower. Dari sikap netral atau non-intervensi menjadi politik penuh intervensi terhadap Indonesia.
Baca juga: Spionase Paman Sam
“Sembari meneruskan kebijakan pendahulunya dalam mencegah jatuhnya Indonesia ke tangan komunis, pemerintahan Eisenhower juga meneruskan gagasan untuk membendung penyebaran komunisme di dalam negeri Indonesia sendiri. Untuk itu pemerintahan Eisenhower tidak segan-segan turut campur dengan maksud untuk mempengaruhi politik luar negeri maupun dinamika politik dalam negeri Indonesia,” catat Baskara dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953--1963.
Intervensi AS terbukti kemudian dalam menyokong gerakan pemberontakan PRRI-Permesta yang menyala di Sumatra dan Sulawesi pada 1958.