Selama memimpin Republik Indonesia (RI), Presiden Sukarno sempat berhubungan dengan empat presiden Amerika Serikat (AS). Mereka antara lain Harry S. Truman (1945–1953), Dwight David Eisenhower (1953–1961), John Fitzgerald Kennedy (1961–1963), dan Lyndon Baines Johnson (1963–1969). Dari semuanya, Sukarno hanya menyebut satu nama sebagai sosok yang menjengkelkan. Orang itu ialah Eisenhower.
Dalam otobiografinya yang disusun oleh jurnalis perempuan asal AS (Cindy Adams), Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno sempat melontarkan kemarahannya itu. "Mengapakah Presidenmu menolakku dengan kasar? Mengapakah Presidenmu dengan sengaja menampik dan menghinaku,” gugatnya.
Sukarno sejatinya menaruh rasa hormat kepada Eisenhower. Pada 1945, Jenderal Eisenhower adalah panglima tertinggi pasukan Sekutu yang memenangi Perang Dunia II. Pada saat yang sama, Sukarno yang baru saja memerdekakan Indonesia sedang ketar-ketir dicap sebagai penjahat perang karena pernah berkolaborasi dengan Jepang. Lagi pula, Sukarno ingin menjalin persahabatan dengan AS. Pada masa revolusi kemerdekaan, pemerintah AS sejatinya cukup banyak "membantu" Indonesia dalam soal sengketa dengan Belanda.
Pada 1953, Eisenhower menjadi presiden AS ke-34 dari Partai Republik. Namun siapa nyana, situasi penuh kekakuan mewarnai hubungan Sukarno dan Eisenhower. Konflik diantara mereka turut mempengaruhi hubungan antara RI dan AS.
Insiden di Gedung Putih
Kenangan pahit itu bermula dari kunjungan Sukarno ke AS pada Juni 1960. Undangan untuk datang ke AS justru berasal dari Eisenhower sendiri. Sukarno menyanggupi dan datang dengan rombongan kenegaraan. Setiba di negeri Paman Sam itu, Sukarno menerima sambutan yang menurutnya tidak patut bagi seorang kepala negara.
Sewaktu rombongan Sukarno mendarat di bandar udara, Eisenhower tidah menyongsongnya. Sukano mencoba memaklumi. Sesampainya di Gedung Putih, Eisenhower juga tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya untuk menyambut di depan pintu. Sukarno masih bersabar. Kesabaran Sukarno benar-benar diuji manakala Eisenhower belum keluar dan membiarkannya lama menunggu di ruang kantor kepresidenan.
“Ketika dia membiarkan Presiden Republik Indonesia menunggu di luar di ruang tunggu, menantikan dengan tidak sabar, perbuatannya ini sungguh-sungguh keterlaluan,” gerutu Sukarno.
Baca juga: Menak Sunda di Balik Murka Bung Karno
Amarah Sukarno pun meledak. Sambil menghardik kepala protokol Gedung Putih, Sukarno mengancam akan membatalkan pertemuan kalau menanti lebih lama lagi. Dengan wajah pucat pasi, kepala protokol itu tergopoh-gopoh memanggil presidennya. Barulah Eisenhower sedia menemui Sukarno dan rombongan. Tiada kata maaf yang keluar dari lisan Eisenhower saat bersua sehingga membuat Sukarno semakin jengkel.
Menurut duta besar Amerika untuk Indonesia saat itu, Howard Palfrey Jones, ada satu hal krusial yang diabaikan Sukarno dalam kunjungan tersebut. Salah satu anggota rombongan yang turut menyertai Sukarno ialah D.N. Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) –musuh ideologi AS dalam Perang Dingin. Ketidakpekaan Sukarno atas kehadiran Aidit inilah yang menjadi persoalan bagi Eisenhower. “Kelancangan” Sukarno dibalas Eisenhower dengan “menyetrap” rombongan Indonesia di ruang tunggu.
Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"
“Salahnya bukan Presiden Eisenhower, salahnya pada Sukarno,” kata Jones dalam memoarnya Indonesia The Possible Dreams, “Sukarno yang selalu nakal itu telah membawa dia (Aidit) serta ke Gedung Putih.”
Di sisi lain, keberadaan Aidit di Gedung Putih mencatatkan dirinya sebagai orang komunis Indonesia pertama yang diizinkan masuk ke AS. Bahkan, Aidit boleh jadi orang komunis Indonesia satu-satunya yang pernah menyalami presiden AS. Semua itu bisa terjadi karena ulah Sukarno.
Persona dan Ideologi
Sebelum insiden di Gedung Putih, Sukarno sudah bersua untuk kali pertama dengan Eisenhower pada Mei 1956. Sejak mula perkenalan itu, memang sudah ditemukan perbedaan pandangan di antara mereka. Ketika Sukarno meminta AS mendukung Indonesia dalam konflik Irian Barat, Eisenhower menolaknya dengan alasan terikat aliansi dengan Belanda.
Menurut Sukarno, Eisenhower tidak dapat memahami hasrat bangsa-bangsa Asia yang ingin merdeka dari kolonialisme. Ketimbang membicarakan itu, Eisenhower lebih tertarik membincangkan film koboy kesukaannya dengan cara yang garing. “Segera kelihatan, bahwa kami tidak ada kontak batin,” kenang Sukarno.
Baca juga: Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
Sementara itu, Eisenhower tidak menyenangi kepemimpinan Sukarno yang dinilainya cukup terbuka terhadap perkembangan komunisme di Indonesia melalui PKI. Kecurigaan itu menguat setelah PKI muncul sebagai salah satu pertai pemenang dalam pemilu 1955. Pada periode kedua pemerintahan Eisenhower itulah pemerintah AS mulai melancarkan subversi terselubung ke Indonesia.
Peran Eisenhower “membungkam” Sukarno tercatat dalam notulen rapat Dewan Keamanan Nasional (NSC) 28 Februari 1958. Sebagaimana dikutip sejawaran Baskara Tulus Wardaya dalam disertasinya yang dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, Eisenhower mengatakan, “Ngomong-omong, dengan uang beberapa juta dolar, kira-kira huru-hara apa yang kita bisa timbulkan di Indonesia sekiranya negara itu makin condong ke kubu komunis?”
Baca juga: Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon
Keterlibatan ini terbukti dengan tertembak jatuhnya pesawat bomber AS yang dikemudikan Allen Pope pada 18 Mei 1958. Setelah ditangkap, terkuaklah identitas Pope. Dari dokumen yang disita, tersibaklah identitas Pope sebagai seorang agen dinas intelijen Amerika (CIA) yang menyokong pemberontakan Permesta.
“Tugas penerbangannya adalah dari CIA, yang secara rahasia membantu pemberontak yang mencoba menyingkirkan Sukarno,” ujar jurnalis Amerika David Wise dan Thomas B. Ross dalam Invisible Government.
Meski punya pengalaman buruk dengan rezim Eisenhower, Sukarno tidak jera. Ketika mendengar kabar Eisenhower sedang berada di Filipina, “boleh dikatakan dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,” kata Sukarno. Padahal, Sukarno telah berkali-kali menyampaikan undangan.
Baca juga: Diplomasi Capung Besi
Sikap Eisenhower yang kurang bersahabat tentu membuat Sukarno kecewa. Tapi, rasa jengkel itu sirna kala senator muda John F. Kennedy menggantikan Eisenhower. Berbeda dengan pendahulunya, Kennedy lebih luwes dalam memperlakukan Sukarno.
Sukarno dalam otobiografinya mengenang Kennedy sebagai presiden AS yang menjalin diplomasi lewat pendekatan pribadi yang baik. “Presiden Kennedy dapat memahami jalan pikiranku. Ia mendekatiku dengan langsung dan ramah sekali,” kata Sukarno. Di masa pemerintahan Kennedy yang singkat inilah hubungan Indonesia dan AS boleh memasuki masa mesra untuk sementara waktu.