KENDATI bersalju dan udara dingin menusuk tulang pada pagi 26 Februari 1936, Ahmad Subardjo (di kemudian hari menjadi menteri luar negeri Republik Indonesia pertama) tetap memutuskan untuk pergi ke pusat kota Tokyo dari tempat tinggalnya di Distrik Hunchu. Namun belum lagi menginjakkan kakinya ke tangga, seorang penjaga pintu mencegatnya.
“Penjaga pintu membisiki saya, lalu lintas di kota sedang macet karena suatu kecelakaan yang ia sendiri tidak tahu apa sebabnya. Sekalipun demikian, saya memasuki jalanan yang masih ada lalu lintas. Saya melihat rombongan orang-orang Jepang berhenti di jalan berbicara satu sama lain dengan suara yang lemah. Karena saya tidak dapat berbahasa Jepang, saya tidak dapat keterangan mengenai apa yang terjadi,” kata Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional.
Di pusat kota, tempat dia bertemu banyak relasi dari kalangan ilmiah, barulah Subardjo mendapat sedikit informasi mengenai apa yang terjadi pagi itu. "Ternyata, ada rencana dari opsir-opsir muda dan tentara untuk membunuh pejabat-pejabat tinggi pemerintah yang dekat pada takhta kaisar, tetapi belum ada keterangan-keterangan yang terperinci,” kata Subardjo.
Baca juga: Aksi Para Sailor untuk Emperor Jepang
Informasi lengkap baru diperoleh Subardjo pada 29 Februari. “Segolongan opsir-opsir muda yang merasa kecewa ingin merebut kekuasaan. Untuk keperluan itu dibuat satu daftar orang-orang penting yang akan dibunuh. Daftar tersebut memuat para menteri kabinet, penasihat-penasihat ketakhtaan, opsir-opsir militer tinggi dan para industrialis-industrialis yang berpengaruh,” kata Subardjo.
Upaya kudeta oleh sekelompok perwira muda Angkatan Darat Jepang itu dikenal dengan Insiden 26 Februari 1936. Insiden itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, ideologis, dan kepentingan faksional dalam tubuh militer Jepang sejak akhir Perang Dunia I.
Para perwira muda pelaku kudeta merupakan jebolan Akademi Militer Tokyo semasa kepemimpinan Jenderal Jinzaburo Mazaki. Mazaki merupakan jenderal ultra-kanan yang menerapkan kurikulum dengan titik-berat pada patriotisme, komitmen spiritual, dan Jepang-isme. Dengan penguatan pada tiga aspek tersebut, Mazaki berharap kelak para anak-didiknya dapat menyelamatkan negara dari kondisi yang saat itu sedang dirundung masalah lintas-aspek akibat demokrasi liberal.
Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang
Pandangan sang jenderal sangat bersesuaian dengan pandangan taruna bernama Nishida Mitsugi. Pada pertengahan 1920-an, Nishida menginisiasi pendirian Seinen Shoko Undo (Gerakan Perwira Muda/Young Officers’ Movement) sebagai wadah berdiskusi para taruna mengenai segala permasalahan nasional. Gerakan mereka kian menguat setelah, dengan izin Masaki, berkenalan dan bekerjasama dengan Kita Ikki, tokoh sosialis-mistikus agama beraliran ekstra kanan.
Kita Ikki merupakan tokoh penting di balik populernya semangat reformasi di kelas menengah-atas masyarakat Jepang. Dalam pandangan mereka, permasalahan nasional yang ada bersumber dari diterapkannya demokrasi liberal. “Opsir-opsir muda yang merasa kecewa mengenai kedudukan Jepang yang dipandang rendah terhadap kekuatan Barat, yakni Amerika dan Inggris, suatu kenyataan yang mereka anggap disebabkan oleh semangat liberal menguasai pemerintah,” kata Subardjo.
Demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan jelas memperlemah posisi politik kaisar. Akibatnya antara lain, hubungan rakyat-kaisar amat ditentukan oleh partai politik, perekonomian Jepang menjadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama dengan Amerika Serikat dan Inggris. Padahal, kedua negeri itu dianggap oleh golongan kanan sebagai yang mengerdilkan Jepang dengan perjanjian-perjanjiannya.
Di Angkatan Darat, demokrasi liberal dianggap memicu perpecahan dengan munculnya dua faksi: Kodo-ha (Imperial Way), faksi konservatif, dipimpin Jenderal Sadao Araki dan Jenderal Jinzaburo Mazaki; dan Tosei-ha (Control), faksi moderat, dipimpin Jenderal Tetuzan Nagata.
Baca juga: Ulah Komunis Jepang di Kuala Lumpur
Untuk mengatasi permasalahan bangsa, Gerakan Perwira Muda menganggap langkah paling tepat adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan, yakni para pendukung demokrasi liberal.
Menurut Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident, ideologi Perwira Muda mengacu pada tradisi shishi dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi, yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya.
"Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’. Visi mereka tentang Restorasi showa dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara, daripada kalangan bisnis besar, dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Shillony.
Baca juga: Rencana Pengasingan Bung Karno ke Jepang
Guna menggalang pengikut, mereka menggunakan keresahan rakyat kecil, terutama di pedesaan, sebagai senjata. Para petani penghasil sutra di pedesaan -komoditas ekspor penting Jepang- amat terpukul dengan sistem perekonomian liberal yang saat itu sedang dipukul Depresi 1930. Depresi pula yang meningkatkan keresahan para perwira muda akibat rencana pemerintah mengetatkan anggaran militer.
Di tengah keresahan itu, tersiar kabar Divisi Kesatu AD, kesatuan asal mayoritas perwira muda itu, akan dipindahtugaskan ke Manchuria. Itu jelas akan menghalangi rencana mereka untuk merebut kekuasaan. Mereka tak ingin keduluan sehingga langsung mengadakan pertemuan dari 18-22 Februari untuk menyusun rencana menghabisi para pejabat pemerintah dan penasehat kaisar yang mereka anggap menipu kaisar untuk keuntungan mereka pribadi. Selain menghasilkan Manifesto Pemberontakan, dokumen berisi latarbelakang aksi dan daftar keluhan mereka yang akan diserahkan kepada kaisar, pertemuan itu juga menentukan tujuh nama pejabat yang harus diculik dan membentuk regu-regu penculiknya yang –dinamakan Tentara Kebenaran– mayoritas berasal dari Resimen Infantri ke-1 dan ke-3 Divisi 1 AD.
Baca juga: Enam Dasawarsa Indonesia Bersama Saudara Tua
Pukul 3.30 pagi 26 Februari, sekira 1.400 personil yang terbagi dalam enam regu penculik bergerak ke sasaran masing-masing.
“Semua dimulai pada dini pagi bersalju, dan salah satu target utama adalah Menteri Keuangan Korekiyo Takahashi, yang menganjurkan pengurangan belanja militer guna mempromosikan konsolidasi fiskal. Seorang letnan yang memimpin 120 prajurit datang ke rumah sang menteri di Aoyama, tak jauh dari tempat Kedutaan Kanada sekarang berada, dan membunuh Takahashi ketika sedang tidur,” tulis Jeff Kingston, dosen sejarah di Temple University Japan, dalam artikelnya, “1936 Coup Failed, But Rebels Killed Japan’s ‘Keynes’”, japantimes.com.
Lettu Yasuhide Kurihara yang memimpin 280 personel kelompok penculik PM Okada Keisuke, sempat mendapat perlawanan dari empat polisi penjaga rumah perdana menteri. Kendati keempat polisi itu tewas, mereka melukai enam personil regu penculik dan yang terpenting, memberitahu sang perdana menteri akan bahaya yang mengancam. Kolonel Denzo Matsuo, ipar perdana menteri, langsung menyembunyikan Okada. Para penculik lalu membunuh Matsuo yang mereka yakini sebagai Okada karena wajahnya sama dengan foto Okada yang mereka pegang. Kematian Matsuo menyelamatkan nyawa Okada.
Baca juga: Di Balik Kelanggengan Pemerintahan Shinzo Abe
Selain membunuh tiga pejabat, dua di antaranya mantan perdana menteri, Tentara Kebenaran juga menguasai markas kepolisian Metro Tokyo dan beberapa kantor instansi lain. Kantor Asahi Shimbun, media yang dianggap para pengkudeta sebagai agen liberal, juga mereka duduki. Mereka kemudian mengupayakan pertemuan dengan kaisar.
Kaisar Hirohito mendengar insiden itu sekitar pukul 5.00. Kepada Jenderal Shigeru Honjo, kepala ajudan kaisar, yang datang menemuinya sekira pukul 06.00, kaisar memerintahkan agar insiden dihentikan. Setelah mengadakan rapat dadakan dengan para penasihatnya yang tersisa, kaisar akhirnya mengambil keputusan tegas untuk menghancurkan para pengkudeta.
“Akibatnya, tentara mengepung pemberontak pada 29 Februari dan menuntut agar mereka menyerah atau ditembak. Mayoritas mematuhi, dan insiden itu berakhir dengan cepat,” tulis buku yang dieditori James L. Huffman, Modern Japan: An Encyclopedia of History, Culture, and Nationalism.