Masuk Daftar
My Getplus

Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang

Sekelompok perwira muda Jepang tak terima sabda kaisar agar Jepang menyerah pada Sekutu. Melancarkan kudeta dengan menawan Tennō Heika.

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Agt 2020
Hirohito, Kaisar Jepang yang pada 1945 sempat dikudeta komplotan yang enggan menyerah pada Sekutu (Foto: apjjf.org/Osaka Asahi Shimbun, 6 November 1935)

SEBAGAI titisan Dewa Amaterasu, suara Kaisar Jepang Hirohito terlalu suci untuk didengar kuping siapapun, termasuk pejabat pemerintahan sekalipun. Namun, untuk kedua kalinya Tennō Heika (Yang Mulia Kaisar Shōwa) harus kembali bicara demi menyetop debat kusir tiada henti anggota kabinet di Dewan Tertinggi untuk Haluan Perang, 14 Agustus 1945. Upaya kaisar utamanya bertujuan untuk mencegah kemusnahan bangsanya.

Pada rapat besar itu, kaisar menegaskan bahwa keinginannya tak berubah. Seperti pada rapat serupa empat hari sebelumnya, Tennō Heika berinisiatif mengintervensi keputusan untuk menerima Deklarasi Postdam (26 Juli 1945) dari Sekutu sebagai syarat menyerahnya Jepang.

Dijatuhkannya bom atom di Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) kian membuka mata sang kaisar akan bahaya kehancuran negerinya di depan mata. Diperparah lagi, Uni Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang dengan menginvasi negeri boneka Jepang, Manchukuo (Manchuria), pada 8 Agustus 1945. Invasi yang mengakhiri Pakta Netralitas Soviet-Jepang yang disepakati pada 13 April 1941 itu membuat Jepang kian terpojok.

Advertising
Advertising
Kaisar Hirohito mengintervensi debat kusir rapat kabinet untuk menentukan menyerahnya Jepang (Foto: US National Archives)

Baca juga: Hiroshima dan Perlombaan Bom Atom Amerika-Jerman

Kaisar Hirohito insyaf bahwa jika perang terus dilanjutkan, akibatnya adalah kebinasaan negeri sakura. Ia pun meminta perdebatan dihentikan dan para menteri di Kabinet Perdana Menteri Kantarō Suzuki diminta menyusun rancangan Daitōa-sensō-shūketsu-no-shōsho atau Instruksi Kekaisaran tentang Penghentian Perang Asia Timur Raya, sebagai respon dari tuntutan Sekutu.

“Saya telah mendengarkan secara seksama tiap-tiap argumentasi yang disampaikan pihak oposisi tentang pandangan bahwa Jepang harus menerima syarat Sekutu tanpa klarifikasi atau modifikasi lebih jauh, namun pikiran saya takkan berubah. Dalam waktu dekat, saya mempertimbangkan jawaban untuk menerimanya (Deklarasi Postdam),” kata kaisar, dikutip Robert Butow dalam Japan’s Decision to Surrender.

“Menjadi permintaan saya kepada Anda semua, para menteri negara, untuk menyetujui keinginan saya dan sesegera mungkin memberi jawaban atas diterimanya syarat Sekutu. Agar rakyat mengetahui keputusan saya, permintaan saya adalah Anda semua menyiapkan Instruksi Kekaisaran untuk saya siarkan sampai ke pelosok negeri,” lanjutnya.

Kendati dipatuhi oleh mayoritas, titah kaisar tak diterima segolongan faksi militer pro-perang. Beberapa di antara mereka berniat mencegah sabda kaisar bisa tersiar ke seluruh penjuru negeri yang rencananya disiarkan stasiun kantor berita Nippon Hōsō Kyōkai (NHK) pada tengah hari 15 Agustus 1945.

Kudeta Kyūjō

Kelompok penentang itu dipimpin Mayor Kenji Hatanaka, perwira staf di Kementerian Perang. Bersama para perwira muda yang satu tujuan, yakni Letkol Masataka Ida, Letkol Masahiko Takeshita, Letkol Hinaki Shiizaki, Letkol Inaba Masao, dan Kolonel Okikatsu Arao, Hatanaka menghadap Menteri Perang Jenderal Korechika Anami dan menguraikan maksud mereka mencegah Jepang menyerah kepada Sekutu.

Anami tak memberi jawaban akan mendukung atau menentang. Ia tutup mata mengingat masih setia kepada kaisar, kendati turut menjadi faksi pro-perang di Kabinet Suzuki.

Tak adanya dukungan dari Anami membuat komplotan Mayor Hatanaka melanjutkan niat mereka dan merancang kudeta, serta mencari tambahan simpatisan di kalangan Kementerian Perang dan Kementerian AD Jepang. Kompolotan Hatanaka berhasil menarik simpatisan pasukan dari Resimen Ke-2, Garda Kekaisaran Ke-1.

Baca juga: Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Dunia II

Mayor Kenji Hatanaka (kiri) & Letkol Hinaki Shiizaki, dua pemimpin komplotan kudeta (Foto: Repro "Japan's Longest Days")

Pada 15 Agustus pukul satu dini hari, mereka menyerbu istana dan melumpuhkan satu batalyon Garda Kekaisaran, membuka Kudeta Kyūjō (Kup Istana Kekaisaran). Jenderal Takeshi Mori, komandan Divisi Garda Kekaisaran ke-1 yang bertanggungjawab atas pengamanan istana, ditembak mati. Kolonel Shiraishi, adik ipar sang jenderal, juga tewas tersabet pedang Kapten Shigetaro Uehara, kaki tangan Hatanaka.

Hatanaka lalu mengambilalih cap divisi milik mendiang Jenderal Mori dan membuat perintah palsu untuk menggerakkan divisi itu dengan arahan “melindungi” kaisar. Tiap-tiap resimen tambahan dari divisi itupun disebar ke beberapa titik sasaran lain.

“Resimen Ke-1 dipecah untuk memperkuat penjagaan di istana dan merebut stasiun berita NHK untuk mencegah siarannya. Resimen Ke-2 dinstruksikan membentuk perimeter penjagaan di sekitar istana. Resimen Ke-6 bersiaga di baraknya dan Resimen Ke-7 memblokade Jembatan Nijubashi yang jadi jalur masuk ke istana,” tulis Jim Smith dan Malcolm McConnell dalam The Last Mission: The Secret History of World War II’s Final Battle.

Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor

Setelah menguasai istana, komplotan Hatanaka mulai menyasar target-targetnya: Menteri Dalam Negeri Sōtarō Ishiwata, Pelindung Cap Kekaisaran cum penasihat kaisar Kōichi Kido, serta rekaman suara sang kaisar yang dibuat pada 14 Agustus malam . Beruntung bagi Ishiwata dan Kido, pemadaman listrik di Tokyo menyulitkan komplotan mencari mereka yang bersembunyi di ruang bawah tanah brankas kekaisaran.

Komplotan lalu melanjutkan gerakannya. “Dua kompi pasukan pemberontak menjaga ketat Gobunko (Perpustakaan Kekaisaran, red.) membuat kaisar menjadi tahanan di istananya sendiri. Ia tak bisa ke mana-mana; pun dengan orang dari luar tak bisa masuk ke dalam istana tanpa memicu baku tembak yang justru bisa membahayakan nyawa kaisar,” lanjut Smith dan McConnell.

Istana Kekaisaran Jepang di Tokyo (Foto: Diet National Library)

Seiring sang kaisar beristirahat dalam di ruang tidur perpustakaan hingga menjelang pagi buta, Hatanaka tak menemukan satupun targetnya di istana. Pencariannya di gedung Kementerian Dalam Negeri pun tanpa hasil dan ia malah bingung mencari jalan di struktur gedung yang mirip labirin.

Di Kantor Berita NHK, yang telah memberitakan lewat siaran pagi bahwa siang harinya kaisar akan menyampaikan pidato, Hatanaka mengancam beberapa staf untuk menyerahkan rekaman pidato kaisar. Namun tiada yang mengetahui di mana rekaman berada. Salah seorang staf NHK hanya menguraikan, dua salinan rekaman itu dibawa dua pengurus rumahtangga Istana Kekaisaran yang tak ia ketahui namanya.

Sampai pukul 8 pagi, Hatanaka sadar bahwa waktu tak lagi berpihak padanya. Belum lagi, pasukan AD Distrik Timur dan Kenpeitai (polisi rahasia Jepang) sudah berhasil melucuti para simpatisan Hatanaka di Istana Kekaisaran.

Hatanaka akhirnya pilih bunuh diri bersama beberapa komplotannya yang tersisa. Upaya yang bakal membawa Jepang ke kehancuran total dengan menolak menyerah pada Sekutu itupun gagal. Sabda kaisar akhirnya disiarkan NHK tepat pukul 12 siang, 15 Agustus 1945, sebagai penanda berakhirnya Perang Dunia II.

Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway

TAG

kaisar jepang tentara-jepang jepang kudeta perang-pasifik perang pasifik perang-dunia perangdunia ii favorit2020

ARTIKEL TERKAIT

Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia Prabowo Berenang di Manggarai