MINGGU, 15 Mei 1932 di Kuil Yasukuni, Tokyo. Setelah turun dari dua taksi yang membawa ke depan pintu masuk samping kuil, sembilan perwira muda Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang langsung membungkuk ke arah Dewa Matahari. Usai melakukan ritual, mereka membeli sebuah jimat kepada seorang pendeta Shinto dan kembali ke dua taksi tadi. Mereka menuju kediaman resmi Perdana Menteri (PM) Tsuyoshi Inukai, politisi senior berpandangan moderat dari partai Rikken Seiyukai.
Tak lama kemudian, mereka tiba di tujuan. “Di sini mereka memaksa melewati seorang sersan polisi dan masuk ke kamar Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, lelaki kecil berjenggot berumur 75 tahun,” tulis John Toland dalam The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1936-1945.
Sejurus kemudian, peristiwa penting dalam sejarah Jepang yang ikut membentuk sejarah dunia pun diciptakan para perwira AL itu.
Kedatangan para perwira AL ke rumah PM Inukai itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, dan ideologis masyarakat Jepang era 1920-an. Sebagaimana banyak perwira muda Angkatan Darat (AD) jebolan Akademi Militer kurun 1907-1916, para perwira muda AL itu juga amat membenci demokrasi liberal dengan para politisi korup di dalamnya. Mereka berambisi mewujudkan idealisme dengan menggulirkan Restorasi Showa guna membentuk Jepang baru. Restorasi Showa, yang dipromosikan oleh penulis sosialis-mistikus ultrakanan Kita Ikki, bertujuan menggulingkan demokrasi liberal dan merestorasi kekuasaan kaisar.
“Visi mereka tentang Restorasi Showa dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara daripada kalangan bisnis besar dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident.
Para perwira muda dan kaum ultra-kanan yakin demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan biang permasalahan yang membelit Jepang. Bukan hanya mengerdilkan posisi politik kaisar, demokrasi liberal juga dianggap melemahkan perekonomian dan diplomasi Jepang. Akibat sistem itu, perekonomian Jepang jadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama pada Amerika dan Inggris, dan kekayaan hanya dinikmati segelintir elit dan konglomerat. Selain itu, kehormatan Jepang juga tercoreng lantaran diplomasinya tak seindependen di era sebelum demokrasi.
Bagi para perwira muda AL, kebencian mereka makin bertambah dengan ditandatanganinya Treaty for the Limitation and Reduction of Naval Armament (London Naval Treaty) pada 22 April 1930 sebagai kelanjutan dari Washington Naval Treaty tahun 1922. Kesepakatan yang ditandatangani Inggris, Amerika, Prancis, Italia, dan Jepang itu mengerdilkan AL Jepang.
“Meningkatnya ketegangan antara militer dan otoritas sipil ini mengemuka dalam kontroversi London Naval Treaty tahun 1930. Perjanjian itu, yang memberlakukan rasio kepemilikan kapal laut tidak menguntungkan bagi Jepang terhadap Amerika Serikat dan Inggris, ditentang Staf Umum Angkatan Laut karena merusak keamanan Jepang. Tetapi PM Hamaguchi, yang menyatakan masalah ini lebih bersifat politik daripada urusan militer, menolak keberatan staf Angkatan Laut dan meminta Kaisar menandatangani perjanjian itu. Tindakan ini dipuji kaum liberal sebagai penegasan berani kontrol sipil atas militer. Tetapi banyak perwira, serta konservatif sipil, melihatnya sebagai pengabaian terang-terangan kepentingan nasional oleh politisi partai dan sebagai manipulasi memalukan ‘pengkhianat di sekitar takhta’ terhadap Kaisar,” tulis Donald A. Jordan dalam China’s Trial by Fire: The Shanghai War of 1932.
Baca juga: Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
Para perwira muda AL yakin cara terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri, yang diperparah oleh Great Depression 1929, adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan: para polititsi liberalis. Penggunaan kekerasan bukan pantangan dalam keyakinan mereka.
“Ideologi perwira muda mengacu pada tradisi shishi dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi, yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya. Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’,” sambung Shillony.
Adanya kesamaan visi dan misi dengan Sakurakai (Cherry Blossom Society), organisasi ultranasionalis rahasia yang didirikan para perwira muda AD, membuat para perwira muda AL semakin percaya diri. Keyakinan mereka untuk mengambil tindakan terhadap para politisi sipil kian kuat setelah bekerjasama dengan kelompok League of Blood yang didirikan tokoh ultranasionalis Inoue Nissho. Komplotan itu lalu membuat rencana untuk menghabisi para pejabat sipil dan pengusaha kaya.
PM Inukai, yang menjabat PM sejak 13 Desember 1931, masuk dalam daftar yang mesti dihabisi. Selain liberalis sejati, Inukai dengan kebijakan menghentikan aneksasi Mancuria oleh AD Jepang di Kwantung dan tak mengakui Manchukuo, negara boneka buatan AD Jepang di Mancuria, dianggap para ultranasionalis sebagai pengkhianat.
Komplotan menembak mantan PM Hamaguchi Osachi, si pendukung London Naval Treaty, pada 14 November 1930. Akibat luka-lukanya, ia tewas pada 26 Agustus 1931. Komplotan lalu menembak mati Menteri Keuangan Junnosuke Inoue, si penentang meningkatnya peran militer, 9 Februari 1932. Pada 5 Maret, giliran Takuma Dan, direktur jenderal perusahaan Mitsui, yang ditembak mati.
Dua bulan kemudian, para perwira muda AL mendatangi PM Inukai di kamarnya tanpa menunjukkan sikap hormat. Dengan tenang sang perdana menteri lalu mengajak mereka ke ruang pertemuan. Mereka tak menggubris permintaan Inukai untuk memberi penjelasan dan berdialog. “Pada saat itu seorang rekan mereka yang telah kepanasan akibat melewati koridor masuk, dengan belati di tangan, berteriak, ‘Tak ada gunanya bicara! Tembak!’,” tulis Toland. Semua perwira muda di ruangan pun langsung menembak Inukai yang langsung tewas di tempat.
Rencana mereka membunuh artis Charlie Chaplin, yang sedang berkunjung ke Jepang dan menjadi tamu kehormatan Inukai, gagal karena saat kejadian Chaplin sedang menonton sumo bersama seorang putra Inukai. Chaplin dijadikan target karena mereka anggap sebagai simbol Inggris, tempat ditandatanganinya Naval Treaty yang mengerdilkan AL Jepang.
Baca juga: Charlie Chaplin Berkunjung ke Garut
Komplotan lalu menyerang kantor polisi dekat kediaman Inukai. Tak ada perlawanan karena hari itu Minggu, libur. Komplotan lalu bergeser ke Bank of Japan dan menggranat kantor itu. Sementara di tempat lain, konspirator lain melemparkan bom yang menghancurkan jendela-jendela sebuah gedung setelah menyebarkan selebaran.
Para anggota komplotan akhirnya menyerahkan diri. Namun alih-alih diganjar hukuman berat, simpati publik justru mengalir ke mereka. Mereka dianggap pahlawan karena telah melawan sumber permasalahan bangsa. Para perwira AL pengomplot pun mendapat hukuman amat ringan, banyak yang hanya dipindah tempat tugas.
Ketidaktegasan tersebut membuat posisi politik militer melonjak kuat dan militerisasi meluas. Kekerasan oleh militer makin sering terjadi. Dominasi militer itu pada akhirnya membawa Jepang memukul gong Perang Pasifik.
“Pembunuhan Inukai, khususnya, efektif menandai berakhirnya pemerintahan republik di Jepang, sama seperti Insiden Mukden tahun sebelumnya menandai, dalam retrospeksi, membeloknya Jepang menuju jalur agresi dan penghancuran diri. Dari saat kematian Inukai sampai setelah Perang Dunia II, sistem pemerintahan dan pihak sipil berhenti berfungsi. Sebaliknya, suksesi perdana menteri muncul terutama dari jajaran AD dan AL. Pada saat yang sama, tuntutan militer semakin sulit ditolak,” tulis Mark Borthwick dalam Pacific Century: The Emergency of Modern Pacific Asia.