Masuk Daftar
My Getplus

Enam Dasawarsa Bersama Saudara Tua

Meski bukan perkara mudah untuk bisa kembali bersahabat dengan Indonesia, Jepang berhasil melaluinya. Mengubah cap penjajah menjadi sahabat.

Oleh: Randy Wirayudha | 11 Jan 2018
Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bersalaman dengan latar belakang logo 60 tahun hubungan RI-Jepang/Foto: mofa.go.jp

PADA 20 Januari 2018, Indonesia akan memperingati 60 tahun hubungan persahabatan dengan Jepang. Momentum bersejarah itu juga akan diperingati di Tokyo, Osaka, Fukuoka, Nagoya, Hiroshima, dan Hokkaido dengan spirit “Work Together, Walk Together”.

Kedua pemerintah akan menggelar beragam acara dengan melibatkan akademisi, pemuda, dan publik figur. Gadis cantik eks anggota Idol Group AKB48 dan JKT48 Haruka Nakagawa mendapat kepercayaan jadi duta Persahabatan Indonesia-Jepang. Sementara, logo peringatan akan menggunakan rancangan Kresna Setya Wiratama, siswa kelas XII SMAN 2 Ngawi, Jawa Timur, berupa elaborasi wayang dan bunga sakura.

Hubungan kedua bangsa memang sudah terjalin sejak lama. Menurut catatan, pada abad ke-17 sudah ada niagawan Jepang yang rutin mendatangi Jawa atau pulau-pulau lain di Nusantara. Namun, Jepang secara resmi baru masuk pada Februari 1942. Mereka datang sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan bangsa Asia dari kolonialisme Barat dengan slogan Tiga A: Nippon Pemimpin Asia, Pelindung Asia, dan Cahaya Asia. Mereka baru hengkang begitu kalah Perang Dunia II tiga setengah tahun kemudian.

Advertising
Advertising

Lepas dari kekejaman masa pendudukannya yang singkat itu, Jepang punya andil bagi berdirinya Republik Indonesia. Pendudukan Jepanglah yang memungkin nasionalisme Indonesia masuk ke akar rumput dan bertumbuhkembang pesat. Dalam praktiknya, nasionalisme itu mewujud dalam beragam kegiatan yang dilakukan badan-badan bentukan Jepang sepeti PETA (Pembela Tanah Air), Fujinkai (Organisasi Perempuan), atau Heiho (Pembantu Militer Jepang).

Banyaknya organisasi semi-militer bentukan Jepang, seperti PETA, pada gilirannya menjadi modal bangsa Indonesia ketika mendapatkan kemerdekaan dan mempertahankannya dari rongrongan Belanda yang ingin kembali berkuasa usai perang. Para aktor utama dalam berbagai pertempuran semasa revolusi macam Soedirman, A. Yani, Ibrahim Adjie merupakan didikan Jepang. Serdadu-serdadu Jepang sendiri tak sedikit yang memilih tetap tinggal di Indonesia dan ikut bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia, 1945-1949.

Namun, hubungan diplomatik Indonesia-Jepang baru mulai membenih setelah adanya Treaty of San Fransisco, perjanjian damai Jepang-Sekutu dan negara-negara yang pernah dijajahnya, 8 September 1951. Indonesia, diwakili Menlu Ahmad Subardjo, menjadi salah satu negara yang hadir. Traktat itu antara lain menghasilkan pampasan perang, termasuk untuk Indonesia sebesar 220.080.000 dolar Amerika (Baca: Ganti Rugi Penjajahan).

Subardjo awalnya merasa terpaksa ketika bersedia ikut meneken hasil traktat. Pasalnya, permintaan amandemen Ayat 9 tentang perikanan dan Ayat 12 tentang perdagangan tak dikabulkan pimpinan konferensi traktat tersebut –hal yang membuat traktat itu kemudian tak kunjung diratifikasi. Subardjo bersedia ikut menandatangani traktat itu setelah mendapat jaminan pribadi dari Perdana Menteri (PM) Jepang Shigeru Yoshida, yang menemui Subardjo di sela-sela jeda konferensi dan melakukan pembicaraan empat mata.

“PM Yoshida dalam pembicaraan tertutup itu memberi jaminan lisan dan tertulis bahwa Jepang akan menunaikan kewajiban mereka dengan niat baik dan menginterpretasikan Ayat 9 dan 14 dengan lebih fleksibel. Ini yang kemudian mendorong Subardjo mau ikut menandatangani traktat itu,” ungkap KV Kesavan dalam artikel “The Attitude of Indonesia towards the Japanese Peace Treaty”, dalam jurnal Asian Studies: Journal of Critical Perspective on Asia.

Jaminan Yoshida itu mulai direalisasikan pada Desember tahun yang sama. “Pada pembicaraan pertama di Tokyo itu, Indonesia menuntut pampasan perang (tambahan) 17,5 miliar dolar Amerika,” tulis Audrey Kahin dalam Historical Dictionary of Indonesia.

Jepang menolak. Jepang sendiri menginginkan perizinan untuk para nelayan mereka berburu ikan di perairan Indonesia sebagai salah satu syarat negosiasi. Di sisi lain, PM Yoshida menjanjikan kemitraan dalam berbagai bidang ekonomi.

“Jika Indonesia berkenan bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Asia yang baru, Jepang bersedia menambah pampasan perang 200-300 juta dolar Amerika, namun Jika Indonesia menolak, Jepang takkan membayar sepeser pun pampasan perang,” cetus Yoshida mengingatkan, sebagaimana dikutip Masashi Nishihara dalam Japanese and Sukarno’s Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations 1951-1966.

Meski hubungan diplomatik kedua negara belum ada pada 1951, kerjasama di bidang bisnis sudah berjalan. Menurut Nishihara, pada 1951 beberapa perusahaan asal Indonesia seperti DMC, Bakri Bros, CTC, dan Oei Tiong Ham Concern sudah membuka kantor di Tokyo dan Osaka.

Niat Jepang untuk “rujuk” dengan Indonesia menguat pada 1952 hingga 1957, terutama setelah PM Jepang dijabat Nobusuke Kishi. “Tidak seperti para pendahulunya, Kishi ingin menjalin integrasi ekonomi dengan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Kishi kemudian jadi PM Jepang pertama setelah perang yang mengunjungi Asia Tenggara pada Mei 1957,” tulis Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective.

Berbarengan dengan itu, tensi hubungan Indonesia-Belanda memuncak. Presiden Sukarno dan beberapa ideolog negeri seperti Chairul Saleh mulai mendekati Jepang yang dianggap potensial sebagai sekutu dalam membangun perekonomian nasional. Pada 28 November 1957, Sukarno dan Kishi menandatangani perjanjian kerjasama. Menurut Nishihara, di buku yang sama, perjanjian yang baru diumumkan pada 8 Desember 1957 itu berisi bantuan pembangunan dari Jepang untuk Indonesia sebesar 400 juta dolar Amerika dan tambahan pampasan perang dengan nominal serupa.

Perjanjian itu menjadi batu pijakan baru bagi rekonsiliasi kedua negara. Hubungan diplomatik lantas didirikan atas Perjanjian Perdamaian yang ditandatangani kedua pihak pada 20 Januari 1958. Sebulan setelah lahirnya hubungan resmi, Soekarno bertandang ke Jepang (Baca: Sukarno dan Yakuza).

“Pembayaran pampasan-pampasan perang itu sudah bergulir di awal tahun 1960. Setelah 1957, jalinan ekonomi antara Jakarta dan Tokyo berkembang. Jepang mulai membeli kebutuhan primer dari Indonesia. Indonesia juga mulai mengekspor minyak ke Jepang. Setidaknya 46 persen minyak mentah Indonesia diekspor ke Jepang, sebagaimana juga hasil alam lainnya seperti bauksit, nikel, karet dan kayu.”

Kemitraan itu terus bertahan. Hingga kini, Jepang salah satu mitra ekonomi terpenting Indonesia. Situs Kementerian Luar Negeri RI, kemlu.go.id, 17 Desember 2017 mengungkapkan, Jepang merupakan investor terbesar kedua untuk Indonesia (nilai investasinya pada 2016 mencapai 5,4 milyar dolar Amerika). Hal itu berjalan terutama setelah disepakatinya Strategic Partnership for Peaceful and Prosperous Future pada 28 November 2006 dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, 20 Agustus 2007.

Toh, kerjasama Indonesia-Jepang tak semata di bidang ekonomi. Kerjasama juga terjadi pada bidang-bidang lain seperti pendidikan, kebudayaan, hingga pertahanan. Sebagai penghormatan terhadap kerjasama itu, di kantor Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Jepang sampai ada patung perunggu Jenderal Soedirman setinggi empat meter. Patung itu merupakan hadiah persahabatan dari Kemenhan RI pada 2011.

“Menteri Purnomo (Yusgiantoro, Menhan RI saat itu) mempersembahkan patung perunggu ini pada Januari 2011. Patung sosok Soedirman yang punya kedekatan dengan Jepang,” tulis pernyatan resmi situs Kemenhan Jepang, mod.go.jp.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo