Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Rektor UI yang Rangkap Jabatan

Soemantri Brodjonegoro dan Nugroho Notosusanto merangkap jabatan rektor UI dan menteri. Dikritik oleh Mahar Mardjono.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Jul 2021
Ilustrasi Rektor UI (Betaria Sarulina/Historia)

Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, mengajukan surat pengunduran dari jabatan Wakil Komisaris Utama BRI pada 21 Juli 2021. Sebelumnya, dia sempat merangkap jabatan tersebut sehingga dikecam publik. Sebab statuta UI melarang rektor rangkap jabatan. Meski kemudian statuta tentang rangkap jabatan itu diubah, Ari tetap ingin mundur.

Ari bukanlah rektor UI pertama yang merangkap jabatan. Sebelum Ari, ada Soemantri Brodjonegoro dan Nugroho Notosusanto.

Soemantri menjadi rektor UI pada 1964–1973. Saat bersamaan dia juga sempat menjadi Menteri Pertambangan Oktober 1967–Maret 1973. Dia lalu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Maret 1973–Desember 1973.

Advertising
Advertising

Netral dan Egaliter

Saat menjadi rektor, Soemantri menghadapi situasi kampus yang panas. Mahasiswa UI sedang gencar mengkritik pemerintahan Sukarno. Kampus juga terbelah menjadi dua kekuatan besar: anti-Sukarno dan pro-Sukarno. Pembelahan tak hanya terjadi di kalangan mahasiswa, tapi juga dosen-dosennya.

Saat mahasiswa menggelar demonstrasi anti-Sukarno, dosen pun berbeda pendapat. “Di kalangan dosen juga terjadi gejolak. Sebagian dosen mengambil sikap tidak mau ikut terlibat. Sebagian dosen tetap setia pada Bung Karno,” tulis Nizam Yunus dalam Soemantri Brodjonegoro, Teguh di Jalan Lurus.  

Soemantri memilih bersikap netral. Tapi bukan berarti dia tak peduli pada situasi terkini dan gerakan mahasiswa. “Setiap hari mahasiswa berhubungan dengannya. Setiap permintaan mahasiswa selalu dipenuhi,” lanjut Nizam.

Baca juga: Kritik Soe Hok Gie kepada Rektor UI

Selama menjadi rektor, Soemantri enggan menggunakan pendekatan kekuasaan dan ancaman kepada bawahan atau mahasiswa. “Sikapnya terhadap para karyawan di kantor rektor tidaklah seperti bos.” Dia juga kurang suka dengan protokoler ketat.

Soemantri berusaha tegas dalam urusan pekerjaan dengan pendekatan contoh. Misalnya soal berhemat, dia sering mengetik di balik kertas bekas. Dengan begitu, karyawan di kantor dan mahasiswa menghormatinya lebih dari hubungan formal dan menganggapnya sebagai pribadi yang menyenangkan.

Ketika menjadi Menteri Pertambangan, Soemantri mencoba meningkatkan kemampuan staf pertambangan. Dia juga memperbaiki tata kelola perusahaan tambang negara. Selain itu, dia mengubah sistem kerja sama dengan pemodal asing. “Sistem konsesi mulai ditinggalkan, diganti dengan sistem kontrak karya,” urai Nizam.

Baca juga: Rektor Tak Lulus Kuliah

Soemantri sebenarnya dinilai berhasil selama enam tahun menjadi Menteri Pertambangan. Tapi Soeharto menghendakinya menjabat Menteri P dan K. Soemantri menerima tugas ini dan langsung mengupayakan perbaikan nasib guru.

“Yang pertama kali akan dilakukannya adalah pergi ke daerah-daerah, ingin bertemu guru-guru,” lanjut Nizam. Tapi dia keburu sakit berkepanjangan hingga napasnya habis pada 18 Desember 1973, sebelum jabatannya finis.

Kritik Mahar Mardjono

Posisi Soemantri sebagai rektor UI diganti oleh Mahar Mardjono, menjabat 1973–1982. Mahar sempat berpendapat bahwa rektor UI sebaiknya tidak rangkap jabatan. “Tugas sebagai rektor itu merupakan suatu tugas full time, yang sulit untuk dirangkap dengan jabatan lain,” kata Mahar dalam Mahar Pejuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang.

Mahar juga mengatakan sangat mungkin jika rektor rangkap jabatan sebagai menteri akan penuh konflik kepentingan. “Tidak bisa seorang menteri datang setiap hari ke kampus sebagai menteri. UI tidak akan bisa berkembang. Apalagi kalau Menteri P dan K dan sekaligus rektor dari salah satu universitas,” kata Mahar.

Baca juga: Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan

Tapi pendapat ini tak berlaku bagi Nugroho Notosusanto. Dia naik jadi rektor menggantikan Mahar pada 1982 lalu menjadi Menteri P dan K menggantikan Daoed Joesoef. Saat dia naik, program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) usulan Daoed Joesof telah menancap kuat di banyak universitas.

NKK/BKK merupakan program untuk membatasi kegiatan politik praktis mahasiswa di dalam kampus dan mengurangi kemungkinan kegiatan di luar kuliah. Protes keras datang dari mahasiswa. Tapi program tersebut tetap berjalan di banyak kampus, termasuk kampus UI.

Peluang Rangkap Jabatan

Nugroho memandang posisi rangkap jabatannya sebagai rektor dan Menteri P dan K bukan sesuatu yang bermasalah. Dia malah mengungkapkan bahwa posisi rangkap itu sebagai peluang menjadikan UI sebagai pilot project untuk setiap masalah di jenjang pendidikan tinggi di Indonesia.

Kebijakan Nugroho sebagai Menteri P dan K selalu berkaitan dengan kebijakannya di dalam kampus UI. Misalnya ketika dia membatasi kegiatan politik mahasiswa di kampus dan beraktivitas di organisasi ekstra universitas. Ini sangat sejalan dengan kebijakannya di lingkup nasional sebagai menteri yang juga melarang politik di dalam kampus dan organisasi ekstra universitas masuk ke kampus.

Baca juga: Warisan Daoed Joesoef dalam Pendidikan

Bagi Nugroho, universitas bukan suatu lembaga politik dan kampus bukan pula masyarakat politik. “Hakekat sesuatu universitas adalah sesuatu lembaga ilmiah, sedangkan hakekat kampus yang merupakan lingkungan tempat para sivitas akademika bergiat, adalah sesuatu masyarakat ilmiah,” kata Nugroho dalam “Identitas Universitas Indonesia”, pidato kepada orangtua mahasiswa baru UI pada 1982.

Nugroho juga terlihat ingin menghubungkan kebijakannya di UI ke universitas lainnya. Di UI, dia berusaha menanamkan tiga program besarnya: institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi.

Institusionalisasi menyangkut upaya memperteguh fungsi tridarma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian.

“Termasuk di dalam bidang-bidang yang harus diinstitusionalisasi adalah tata nilai. Karena jika tata nilai yang kita anggap negatif belum berubah, maka pergantian personalia dalam pelbagai jabatan tidak menjamin timbulnya perbaikan,” kata Nugroho dalam pidato “Institusionalisasi dan Profesionalisasi melalui Transpolitisasi” pada 12 Februari 1982.

Baca juga: Iskandar Alisjahbana, Rektor yang Diteror

Institusionalisasi nilai ke dalam kampus juga menyasar pula ke bidang profesi tiap lulusan universitas. Menurut Nugroho, profesionalisasi berkaitan dengan apa yang diharapkan perguruan tinggi dari para lulusannya. Setidaknya ada tiga hal yang diinginkan: keahlian, tanggung jawab, dan kesejawatan. Tiga hal ini perlu diisi oleh nilai-nilai khusus yang diberikan dari kampus.

Terakhir adalah transpolitisasi. Nugroho menyebut dua praktik sebelumnya tak akan berguna tanpa adanya transpolitisasi atau pemindahan kegiatan politik praktis dari kampus ke luar kampus. Nugroho memandang sudah tak zamannya lagi kampus didikte kekuatan dari luar kampus.

Nugroho ingin kampus bebas dari kekuatan di luar kampus. “Universitas bukan pasar loak bagi gagasan-gagasan usang dari luar dinding-dindingnya,” kata Nugroho. Dia juga menyebut praktik mahasiswa selama 1970-an adalah buah dari “kebebasan yang berayun terlalu jauh”.   

Baca juga: Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus

“Di beberapa kampus, libertarianisme ini sempat menimbulkan rezim anarkistik di kalangan suatu segmen mahasiswa yang relatif kecil tetapi vokal. Di kampus UI, gejala anarkisme ini pada awal 1980-an telah mencapai proporsi destruktif,” kata Nugroho dalam pidato “Senat Mahasiswa mengabdi Alma Mater”.

Karena itulah, Nugroho meneruskan program NKK/BKK dan mengupayakan segala kebijakan pendidikan tinggi nasional seperti apa yang dia pikirkan dan terapkan di UI. Sebab dia percaya NKK/BKK sangat ampuh untuk menahan kekuatan dari luar kampus untuk masuk ke kampus.

Tapi Nugroho belum mampu mewujudkan semua rencananya. Seperti Soemantri, napasnya lebih dulu habis sebelum masa jabatannya menyentuh garis finis. Dia wafat pada 3 Juni 1985. Soemantri dan Nugroho sama-sama wafat ketika merangkap jabatan.

Baca juga: Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia

TAG

soemantri brodjonegoro nugroho notosusanto mahar mardjono universitas indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno