HARI-hari belakangan ini, publik diramaikan dengan wacana #2019GantiPresiden. Di sana-sini, kampanye gencar dilakukan. Bahkan, di tingkat akar rumput masyarakat ada yang berujung intimidasi. Era reformasi memang membuka keran kebebasan sebesar-besarnya dalam menyatakan pendapat.
Kontras dengan keadaan di masa lalu. Di zaman Orde Baru (Orba), menyatakan pendapat adalah kemewahan tak ternilai. Kritik bisa berujung bui hingga nyawa. Mahasiswa generasi tahun 1970-an pernah merasakan betapa ganasnya aparat Soeharto memperlakukan mereka.
Jurnalis kawakan Jopie Lasut mencatat pada 9 Februari 1978, kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung oleh tentara. Kesatuan-kesatuan dari Kostrad, Koppasandha, dan CPM menduduki kampus. Bentrokan tak terhindarkan. Puluhan mahasiswa yang berada dalam kampus cedera dalam penyerbuan.
“Sedangkan dua orang mahasiswa terpaksa harus dirawat intensif di rumahsakit. Dua mahasiswa itu adalah Budi Santoso dan Peter Simanjuntak,” tulis Jopie Lasut dalam Kesaksian Seorang Jurnalis Anti Orba: Malari Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orang. Apa yang menyebabkan laku beringas tentara terhadap mahasiswa?
Menolak Soeharto
Sempat vakum pasca Insiden 15 januari 1974 (Malari), gerakan mahasiswa kembali menggeliat di paruh kedua 1970. Awal 1977, gerakan protes mahasiswa bermunculan di beberapa kota di Indonesia. Meningkatnya kesadaran kritis mahasiswa bersamaan dengan situasi politik yang mulai menghangat menjelang pemilu 1977.
Isu-isu sensitif dilontarkan berkaitan dengan penyeleggaraan negara. Mahasiswa mulai menyoroti terjadinya banyak penyelewengan terhadap dana pembangunan yang berasal dari luar negeri. Begitu juga dengan maraknya manipulasi dan korupsi di berbagai lini. Di Bandung, Dewan Mahasiswa (DM) ITB menggiatkan kelompok diskusi Gerakan Anti Kebodohan (GAK) yang digagas oleh Rizal Ramli. Aksi dan kajian yang kurang lebih serupa juga dilakukan di UI, IPB, UGM, dan universitas lainnya.
Gerakan mahasiswa kian padu setelah menggelar pertemuan Dewan dan Senat Mahasiswa se-Indonesia pada Oktober 1977. Hasil pertemuan menghasilkan ikrar: mendesak MPR mengadakan Sidang Istimewa dan menginginkan agar Soeharto tak menerima lagi pencalonan dirinya sebagai Presiden. Alih-alih ditanggapi, pemerintah malah memberi sinyal ancaman. Harian Pelita, 16 Desember 1977 mewartakan pernyataan penting ABRI, yang menegaskan bahwa ABRI akan mengambil tindakan keras kepada siapa saja yang mengancam kepemimpinan nasional.
“Karena tidak ditanggapi, gerakan mahasiswa itu bergulir menjadi penolakan pencalonan Soeharto sebagai Presiden RI periode 1978-1983,” tulis Indra Jaya Piliang dalam skripsinya di Universitas Indonesia ‘Koreksi demi Koreksi: Pergerakan Mahasiswa Indonesia Pasca Malari sampai Penolakan NKK/BKK’.
Tentara Menjawab
Pada 15 Januari 1978, DM ITB menyatakan sikap: menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Mereka menerbitkan buku putih berisi kritik tajam terhadap kebijakan sosial, politik, dan ekonomi di bawah Orde Baru. Menyusul aksi serupa, UGM menggelar mimbar bebas yang memprotes pencalonan presiden dan wakil presiden dalam versi calon tunggal. Di UI, koran kampus Salemba menjadi media kampus paling berani mengumbar calon alternatif soal pemilihan presiden.
Suara radikal mahasiswa semakin bikin panas telinga pemerintah. Tanggal 20 Januari, Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Soedomo memerintahkan penangkapan para pimpinan Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia. Tak hanya memburu pentolan mahasiswa, operasi intelijen digelar untuk menduduki kampus-kampus yang menjadi basis kritik mahasiswa.
“Bahwa operasi penyerangan itu memang perintah langsung Soedomo. Akan tetapi ide untuk memberikan pukulan keras terhadap mahasiswa itu diyakini datang dari Benny Moerdani (Asisten I Intelijen Hankam),” tulis Jopie.
Dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia, Muchtar Effendi Harahap dan Andris Basril mengurai rupa-rupa tindak represif pemerintah melalui aparat tentara. Pada minggu ketiga bulan Februari sekira 143 orang dan 15 orang tokoh non-kampus ditangkap. Diperkirakan, lebih dari 200 mahasiswa ditahan, beberapa Kampus di Jawa diduduki oleh pasukan militer dengan senjata lengkap sampai berakhirnya Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1978. Para aktivis mahasiswa yang terciduk antara lain: Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Tjahyono (ITB) dan Dipo Alam, Muhyar Jara (UI).
Pendudukan kampus dikecam keras oleh Ketua DM ITB Heri Akhmadi. Menurutnya, sebagaimana dikutip Jopie, kejadian pendudukan kampus bahkan tak pernah dilakukan sekalipun oleh rezim Orde Lama. Kendati demikian, penangkapan dan pendudukan universitas masih belum menghentikan upaya membungkam suara kritis dari kampus. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) memungkasi pukulan telak dari pemerintah.
“Kebijakan-kebijakan ini memperluas jangkauan depolitisasi dan kebijakan korporat ke universitas. Dewan mahasiswa secara permanen dibekukan dan digantikan oleh badan-badan baru yang anggotanya ditunjuk oleh administrator kampus dan tunduk pada hak veto mereka,” tulis Edward Aspinall dalam Opposing Suharto.
Untuk sekian waktu lamanya gerakan kritis mahasiswa mati suri. Ruang lingkup kegiatan mahasiswa secara efektif didomestifikasi sebatas dalam kampus. Ia baru terbangun kembali ketika lonceng reformasi berdentang pada akhir 1990-an yang menandai runtuhnya rezim Soeharto.
Baca juga:
Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Langsung Ditangkap Polisi
Warisan Daoed Joesoef
Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI
Pers Mahasiswa Menggugat Orde Baru