Masuk Daftar
My Getplus

Irian Barat, Arena Percobaan Senjata Uni Soviet

Ketika Indonesia hampir saja mengobarkan perang besar di kawasan Asia Pasifik. Melibatkan dua negara adikuasa.

Oleh: Martin Sitompul | 03 Mar 2022
Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev bersama Presiden Sukarno dan Menteri Luar Negeri Soebandrio dalam acara resepsi yang diadakan pihak Indonesia di Hotel Waldorf-Astoria, New York, 3 Oktober 1960. Foto: Bettmann/Corbis.

Perang antara Rusia dan Ukraina masih menjadi isu panas di kancah global belakangan ini.  Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan dikabarkan telah mengeluarkan perintah untuk menyiagakan senjata nuklir. Instruksi Putin tersebut menyusul sikap negara-negara Barat yang memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia sebagai wujud dukungan kepada Ukraina. Seperti umum diketahui, Rusia memiliki ribuan hulu ledak nuklir aktif yang berpotensi memicu perang yang lebih luas.  

Penggunaan kekuatan bersenjata skala besar antara Rusia dengan negara Blok Barat pernah hampir terjadi di Irian Barat (kini Papua) semasa Perang Dingin. Waktu itu, Rusia masih begian dari Uni Soviet. Sementara itu, wilayah Irian Barat tengah disengketakan antara Indonesia dan Belanda. Uni Soviet mendukung klaim Indonesia atas wilayah Irian Barat. Namun, aliansi Belanda jauh lebih kuat karena tergabung dalam pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Memasuki tahun 1960, Indonesia dan Belanda di ambang perang. Pada bulan Mei, Belanda mengirimkan kapal induk HNLMS Karel Doorman guna memperkuat pertahanannya di Irian Barat. Pawai kekuatan itu diikuti dengan penambahan pengiriman serdadu Belanda. Indonesia balik membalas dengan pemutusan hubungan diplomatik pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1960. Pada akhir tahun, Presiden Sukarno mengutus Menteri Luar Negeri Soebandrio dan Jenderal Abdul Haris Nasution ke Moskow untuk membeli senjata berat buatan Uni Soviet.  

Advertising
Advertising

Janji Khrushchev

Soebandrio seperti disebut Arsip Sekretariat Negara RI 1949—2005, No. 342, koleksi ANRI, berangkat ke Moskow pada minggu terakhir Desember 1960. Moskow sendiri bukan kota yang asing bagi Soebandrio. Pada 1954, ia menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Uni Soviet. Itulah sebabnya, Soebandrio tidak canggung ketika berhadapan dengan Perdana Menteri Nikita Khrushchev dalam bahasa Rusia. 

“Soebandrio bisa berbahasa Rusia dan kami berbicara tanpa bantuan penerjemah. Percakapan kami betul-betul rahasia,” kenang Khrushchev dalam Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3.

Baca juga: Memburu Subandrio

Keduanya bercengkrama di sela acara resepsi yang diselenggarakan Kedutaan Indonesia. Dalam memoarnya, Khrushchev merekam detil pembicaraannya dengan Soebandrio. Situasi di Irian barat, kata Soebandrio, kian menegangkan. Belanda bersikeras menolak penyerahan wilayah Irian Barat sekaligus memusatkan pasukan militernya di sana.

Khrushchev menanyakan, seberapa besar peluang terjadinya kesepakatan dengan Belanda. Di jawab Soebandrio, kecil sekali. Khrushchev kemudian menawarkan solusi.

“Jika Belanda tidak mau berpikiran bijaksana dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang bisa menjadi medan uji coba bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat-pesawat bermisil. Kita akan melihat sehebat apa misil-misil Soviet,” kata Khrushchev.

Baca juga: Jenderal Nas dan Kamerad Khruschev

Khrushchev tidak bercanda dengan ucapannya. Pada 28 Desember 1960, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan alat utama sistem pertahanan dengan Uni Soviet. Dalam kontrak, Uni Soviet menjual kapal perusak, kapal selam, kapal torpedo, dan sejumlah kapal yang dipersenjatai misil penjelajah. Untuk mengimbangi Karel Doorman, Angkatan Laut Indonesia memperoleh kapal penjelajah Ordzhonikidze yang kemudian dinamai KRI Irian 201. Ia menjadi kapal perang terbesar yang ada di belahan bumi bagian selatan pada saat itu.

“Kami juga menjual banyak pesawat tempur dan beberapa bomber Tu-16, termasuk 15 pesawat yang dilengkapi dengan misil jelajah,” kata Khrushchev.

Pada masa itu, kapal perang dan pesawat tempur Uni Soviet dilengkapi dengan teknologi tercanggih. Untuk melatih angkatan perang Indonesia, pemerintah Uni Soviet mengirimkan instruktur militer secara berkesinambungan ke Indonesia. Pun sebaliknya, pilot-pilot AURI juga dikirimkan ke Uni Soviet untuk mengoperasikan pesawat tempur dan bomber Soviet.

Baca juga: Tentara Rusia di Pesawat Tempur Indonesia

Menurut Jenderal Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, semua peralatan tempur itu akan siap digunakan untuk menyerang Belanda sekira akhir tahun 1962.

“Kami, militer ingin menyiapkan kekuatan yang mampu merebut Irian Barat secara operasi militer. Untuk itu dengan hasil-hasil kontrak saya di Moskow harus dibangun kekuatan invasi darat, laut, dan udara,” kata Nasution.

Amerika Menekan Belanda

Memasuki tahun 1962, hubungan Indonesia dan Belanda tidak kunjung membaik. Belanda tetap enggan berunding membicarakan penyelesaian konflik Irian Barat dengan Indonesia. Ketegangan bahkan meningkat setelah terjadi pertempuran di Laut Arafuru pada 15 Januari. Insiden militer itu mengakibatkan tenggelamnya satu kapal motor torpedo ALRI dan gugurnya perwira tinggi Komodor Yos Sudarso di dasar samudra. Atas peristiwa itu, Pemerintah Uni Soviet, seperti diberitakan harian Warta Bakti, 10 Februari 1962, menyatakan tidak akan tinggal diam terhadap provokasi yang dilancarkan kepada Indonesia.

Sementara itu, Presiden Sukarno tidak berusaha menyembunyikan kekuatan angkatan perang Indonesia yang sudah dimodernisasi sedemikian rupa. Setidaknya, dua kali pesawat mata-mata AS memasuki wilayah Indonesia. Hasil intaian itu memperlihatkan kapal-kapal perang Indonesia terserak mengitari pulau Irian siap untuk melancarkan invasi.  

Baca juga: Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi

“Kekuatan tentara kita sedang mengepung Irian dan armada di laut siap untuk menyerang, dan konsentrasi pasukan tinggal menunggu perintah saja untuk bergerak,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang dituturkan kepada Cindy Adams.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyadari bahwa Indonesia telah berpaling ke Moskow untuk mendapatkan senjata yang diperlukan sehubungan dengan masalah Irian Barat. Apabila Indonesia melancarkan serangan, AS wajib memihak Belanda karena terikat pakta pertahanan. Hal ini menyebabkan AS berada pada posisi yang berisiko. Para penasihat khusus Presiden Kennedy menyarankan sang presiden untuk mengambil sikap pragmatis.  

“Rusia mendorong Sukarno ke arah perang. Jika ini yang terjadi, Sukarno akan semakin bergantung kepada Uni Soviet, Partai Komunis Indonesia akan semakin kuat, dan tangan kaum moderat di Indonesia akan sangat melemah,” demikian kesimpulan mereka seperti tersua dalam memo arsip Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII: Southeast Asia, Document 205.

Baca juga: Rahasia Kennedy tentang Sukarno

Presiden Kennedy, menurut Arthur Schlesinger, penulis biografinya yang berjudul A Thousand Days: John F. Kennedy in The White House, tidak mengizinkan persoalan Irian Barat sampai berkembang menjadi titik konfrontasi antara negara-negara besar, dengan Moskow dan Peking mendukung Indonesia, sedangkan AS di belakang Belanda. Alih-alih mendukung, AS kemudian menekan Belanda. Hal ini terjadi setelah Presiden Kennedy menunda izin kapal-kapal perang Belanda melewati Terusan Panama untuk dikirimkan ke perairan Irian Barat. Sikap Kennedy itu membuat Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns jadi emosional.   

“Pada satu pertemuan dengan Presiden, Luns begitu terbawa oleh ketidakadilan itu semua sehingga dia mengacungkan jari telunjuknya yang lembek ke wajah Kennedy. Sebuah gerakan yang diabaikan dengan sopan oleh Kennedy,” tulis Schlesinger.

AS hanya memberikan jaminan untuk membantu evakuasi warga Belanda di Irian Barat bilamana terjadi keadaan darurat perang. Belanda akhirnya melunak begitu menyadari tidak dapat berharap banyak dari sekutunya itu. Tawaran untuk berunding pun diterima.

Baca juga: Ongkos Pembebasan Irian Barat

Pada Maret 1962, Belanda bersedia berunding tanpa prasyarat dengan Indonesia dimediasi oleh AS dan PBB sebagai pihak ketiga. Perundingan yang memakan waktu lama dan sempat macet itu akhirnya mengatur penyerahan Irian Barat kepada Indonesia dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Dengan demikian, perang yang diambang mata itupun urung terjadi.

“Sementara, citra kami di mata orang Indonesia meningkat. Sekali lagi, kami telah menunjukkan bahwa kami adalah sahabat sejati negara-negara yang memperjuangkan kemerdekaannya. Kami telah membantu Indonesia bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata,” kenang Khrushchev.

TAG

irian barat uni soviet nikita khrushchev

ARTIKEL TERKAIT

Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah