Seorang perwira AURI beranekdot tentang legenda rakyat. Di Jawa Barat, sebelum ayam berkokok, Sangkuriang harus sudah membuat perahu dan telaga. Di Jawa Tengah, sebelum ayam berkokok, Bandung Bondowoso harus menyelesaikan candi dengan seribu arca.
“Akhirnya, di Indonesia Timur, sebelum ayam berkokok, Irian Barat harus kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” tutur Boediardjo, si perwira AURI itu dalam otobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi.
Dua kisah pertama adalah legenda belaka. Lain halnya dengan Irian Barat. Janji itu memang pernah diijabkan oleh Presiden Sukarno ketika berpidato di Palembang, 10 April 1962. “Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun ini juga,” demikian judul pidatonya.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Tidak hanya sekali, Sukarno dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan seruan agar panji dwiwarna Merah Putih berkibar di Irian Barat sebelum tahun 1962 berakhir. Berpaut pada komitmen tersebut, Sukarno sedia melakukan apa saja. Berapapun biayanya ditebus demi Irian Barat masuk ke pelukan bumi pertiwi.
Serba Uni Soviet
Dalam operasional kampanye militer pembebasan Irian Barat, dibentuklah tim logistik bersama. Kolonel Donald Isac Pandjaitan dan Brigjen Soeprapto dari Angkatan Darat. Brigjen Ali Sadikin dari Angkatan Laut. Kolonel Boediardjo dari Angkatan Udara. Kombes Mohamad Hasan dan Kombes Suparno dari Kepolisian.
Boediardjo mengenang AURI harus menampung ratusan tenaga teknisi Uni Soviet. Pada saat itu, hanya Uni Soviet yang bersedia memasok senjata berat termutakhir bagi Indonesia. Dari Uni Soviet, angkatan perang Indonesia memperoleh kapal penjelajah raksasa kelas Sverdlov yang dinamai "KRI Irian" dan pesawat bomber jarak jauh Tupolev-16. Senjata inilah yang akan diandalkan untuk mengimbangi bahkan menggempur Belanda di Irian Barat.
Sebagai deputi Panglima AURI bagian logistik, Boediardjo bertugas menyiapkan kebutuhan operasional Angkatan Udara. Mulai dari membeli persenjataan, pesawat tempur, peluru hingga membuat lapangan-lapangan udara darurat dan menyiapkan bahan bakar untuk pesawat tempur. Selain urusan tempur, logistik AURI juga menyiapkan makanan bagi ratusan instruktur asing. Untuk itu, bagian logistik AURI mendirikan pabrik roti Rusia yang menjadi konsumsi sehari-hari para teknisi Uni Soviet.
Penyiapan logistik untuk pembebasan Irian Barat cukup luar biasa. Dalam waktu 24 jam, tim logistik harus mampu menyiapkan gudang peralatan perang di pelosok hutan mana pun . Untuk itu disediakan tekonologi Arcon dari Inggris seharga US$ 5 juta dalam penyediaan mesin dan alat konstruksi. Pendaratan pesawat jet tempur MIG-17, memakai sistem steel matting. Sementara itu dalam penyediaan bahan bakar, disiapkan tangki-tangki terapung sistem floating camels dari Jerman.
“Semua cepat, semua jadi. Yang istimewa: uang selalu ada,” kata Boediardjo. Beberapa nama pengusaha nasional disebut Boediardjo sebagai penopang logistik baik secara materi maupun finansial. Mereka antara lain Dasaad, Kurwet, T.D. Pardede, Hasjim Ning, Bakrie, dan lainnya.
Baca juga: T.D. Pardede, Raja Tekstil dari Medan
Aristides Katoppo, wartawan Sinar Harapan yang juga kontributor New York Times memperoleh data besaran bantuan Uni Soviet untuk angkapan perang Indonesia. Bila ditotal, nilanya sebesar US$ 2 milyar, anggaran yang sangat besar pada masa itu. Namun menurut Boediardjo angka itu mungkin tidak besar untuk suatu proyek uji kemampuan pesawat dan persenjataan Uni Soviet. Apalagi dilakukan di wilayah tropis untuk menghadapi kekuatan Barat.
Selesai Tanpa Berperang
Pada Juni 1962, persiapan operasi militer besar-besaran sudah rampung. Operasi itu diberi sandi: “Jayawijaya”. AURI telah siap dengan pesawar bomber strategis TU-16 dan TU-16 KS. Juga dengan pesawat tempur Ilyushin 28 dan MIG-17. Sementara itu, Angkatan Laut telah menggerakan 120 kapal yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amphibi 17 (ATA-17). Di bawah pimpinan Komodor Soedomo, ATA-17 siap ke garis depan mendaratkan pasukan ke Irian Barat.
Di dalam ATA-17, terdapat Satuan Pendarat 45 (Saprat-45) dengan kekuatan 10.000 anggota marinir Korps Komando AL (KKo AL) di bawah pimpinan Kolonel Suwadji. Selain itu, pasukan pendarat bantuan berkekuatan 20.000 prajurit Angkatan Darat di bawah pimpinan Brigjen U. Rukman tinggal menunggu “lampu hijau” diberangkatkan ke garis depan.
Dalam keterangan Ali Sadikin kepada pers, seperti dicatat Rosihan Anwar, saat-saat kritis bagi Komando ATA-17 ialah sekitar tanggal 12-13 Agustus 1962. Untuk memberi makan 30.000 pasukan yang tergabung dalam ATA-17 dikeluarkan biaya Rp 4 juta dan dibutuhkan 40.000 kaleng makan setiap hari. Perang terbuka hanya menanti persetujuan Sukarno selaku panglima tertinggi.
Apa yang terjadi kemudian telah banyak diketahui. Invasi ke Irian Barat untuk menyerbu Belanda urung terlaksana. Sengketa Irian Barat berakhir secara politis di meja diplomasi bukan lewat operasi militer. Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962 menutup babak konflik Indonesia dan Belanda.
Baca juga: Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Dengan batalnya eksekusi Operasi Jayawiijaya, angkatan perang Indonesia menyimpan kekuatan potensial sekaligus memikul beban. Menurut Pandjaitan, administrasi logistik tampak kurang sempurna selama kegiatan operasi pembebasan Irian Barat. Hal ini disebabkan karena selama Trikora pelaksanaan operasi sangat diutamakan.
“Keadaan ekonomi negara memburuk dan inflasi melonjak sebagai akibat konfrontasi dalam masalah Irian Barat yang cukup lama,” tulis Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam biografi suaminya D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Meski demikian, setidaknya perlengkapan angkatan perang Indonesia tetap utuh serta terhindar dari jatuhnya korban yang lebih banyak. Dalam tempo pendek, Indonesia tampil sebagai kekuatan militer terkuat di Asia Tenggara. AURI pun disebut-sebut sebagai angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan.
Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1965 mencatat, Indonesia menjadi salah negara dari tiga negara Asia selain Tiongkok dan Jepang yang memiliki kapal-kapal selam berkekuatan perusak sangat dahsyat. Dengan dimilikinya “Komando Flotila”, maka Indonesia adalah negara pertama di belahan bumi selatan yang memiliki kapal-kapal berpeluru kendali.
Pada akhirnya, Papua jatuh ke tangan Indonesia tanpa harus berperang dengan Belanda. Sebagai gantinya, unjuk kekuatan angkatan perang diahlihkan pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1962 dalam wujud parade militer. Pada saat itulah publik dapat menyaksikan Angkatan Perang Indonesia berjaya.