Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020) diwarnai aksi walk out salah satu fraksi partai. Melalui perwakilannya di DPR, Benny K. Harman, Partai Demokrat memutuskan keluar dari rapat paripurna. Benny juga mengatakan jika partainya tidak bertanggung jawab atas keputusan rapat tersebut.
Aksi walk out Benny merupakan buntut kekecewaan atas sikap pimpinan rapat Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang tidak memberinya kesempatan berbicara. Terlebih mikrofon yang digunakannya untuk berbicara diduga dimatikan secara sengaja. Dilansir laman Kompas, Partai Demokrat merupakan salah satu partai yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja pada sesi akhir rapat paripurna.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
Menurut Marwan Cik Hasan, anggota Fraksi Partai Demokrat, pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara tergesa-gesa. Mengingat pasal-pasal di dalamnya berdampak luas pada aspek kehidupan di masyarakat, seharusnya pembahasan dilakukan lebih mendalam. Melalui Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yodhoyono (AHY), fraksi itu secara resmi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
“Saya mohon maaf pada masyarakat Indonesia, khususnya buruh dan pekerja, karena kami belum cukup suara untuk bisa memperjuangkan kepentingan rakyat. Insya Allah kita terus memperjuangkan harapat rakyat,” ucapnya seperti dilansir Kompas. “Kita (Partai Demokrat) harus berkoalisi dengan rakyat, No one is left behind. Bersama kita kuat, bersatu kita bangkit. Tuhan bersama kita.”
Aksi menolak keputusan yang dianggap merugikan kepentingan publik juga sering dilakukan Cipto Mangunkusumo ketika memangku jabatan di Volksraad (Dewan Rakyat). Tradisi mengkritik telah menjadi makanan sehari-hari sang dokter lulusan STOVIA (sekolah dokter Jawa) tersebut. Sikap kerasnya itu dilakukan semata demi perjuangan menemukan keadilan bagi rakyat yang terkungkung penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sang Pembangkang
Pada 18 Mei 1918, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum mengesahkan secara resmi lembaga legislatif Volksraad. Dewan rakyat itu menjadi perwakilan seluruh elemen masyarakat di Hindia Belanda, yang memiliki hak berbicara di depan pemerintah Belanda. Volksraad beranggotakan orang-orang pribumi, perwakilan golongan Timur Jauh, serta orang Belanda dan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Baca juga: Volksraad, DPR ala Hindia Belanda
Mulanya, kalangan pribumi diwakili 15 anggota DEwan Rakyat. Sepuluh orang dipilih melalui pemilihan, sementara lima sisanya dipilih berdasarkan penunjukkan. Cipto ada di antara orang-orang yang ditunjuk langsung oleh Gubernur Stirum. Menurut Gamal Komandoko dalam Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa, bersama Cokroaminoto, Cipto dipilih karena sikap kerasnya. Pemerintah HIndia Belanda berharap dengan masuknya kedua tokoh itu di Volksraad, perlawanan mereka akan melunak.
“Namun rupanya semangatnya yang revolusioner tetap tak mampu dipadamkan oleh pemerintah (Hindia) Belanda yang pada mulanya mengharap bahwa tokoh-tokoh yang dianggap revolusioner akan menjadi lembut ketika mereka diangkat bersama sebagai anggota lembaga itu,” tulis Sulandjari dalam Pembentukan Kesadaran Nasionalisme Indonesia: Kilas Balik Ide-Ide Pemikiran dr. Cipto Mangunkusumo.
Cipto bukannya tidak sadar akan niat pemerintah HIndia Belanda menjadikannya anggota Volksraad. Dia tahu betul jika itu dilakukan untuk mengawasi dan mengendalikannya. Namun baginya itu juga merupakan kesempatan untuk menyampaikan kritik lebih dekat serta resmi. Jadi dia tidak perlu khawatir dengan akibat yang ditumbulkan dari tindakannya mengkritisi pemerintah Belanda.
Baca juga: Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis
Seperti ketika Cipto mendesak pemerintah bersikap adil saat banyak tanah pertanian rakyat dipakai untuk keperluan perkebunan. Diceritakan Soegeng Reksodihardjo dalam Dr. Cipto Mangunkusumo, Cipto melihat banyak rakyat yang mengalami kekurangan produksi pangan pokok. Kelaparan pun mulai terjadi di sejumlah tempat. Hal itu bisa mengancam kehidupan rakyat banyak.
“Tekanan-tekanan itu baik yang datangnya dari kaum kapitalis yang mengusahakan perkebunan-perkebunan, maupun dari kaum bangsawan yang dengan hak-hak yang dipunyainya sering menekan rakyat. Merekalah yang merupakan biang keladi tekanan-tekanan terhadap rakyat melalui perkebunan yang kian menjepit sawah-sawah hingga perut ‘Si Kromo’ mulai diikat erat menahan lapar,” tulis Soegeng.
Mengeritik Volksraad
Meski Cipto ada di dalam Volksraad, bukan berarti dia tidak bisa mengkritik lembaga legislatif bentukan pemerintah Hindia Belanda itu. Melalui sebuah tulisan di majalah De Indische Beweging, Cipto melayangkan kritikan kepada Volksraad atas sistem pemilihannya, juga tindakan-tindakan lembaga itu yang malah menyuburkan praktek kapitalisme di Hindia Belanda.
“… bahwa dewan yang pertama ini belum memenuhi keinginan kita, cukup jelas, dan hal itu menurut saya adalah kesalahan pemerintah,” tegas Cipto.
Baca juga: Kiprah Dokter di Dunia Pergerakan
Dia menyebut bahwa pemilihan anggota Volksraad yang didominasi pendukung kaum kapitalis telah mempermudah industri-industri besar merebut lahan milik rakyat. Hal itu dilakukan semata untuk kepentingan para kaum kapitalis saja. Meski para pribumi juga berperan dalam pemilihan anggota Volksraad, Cipto tidak bisa menyalahkannya karena sistem dari pemerintah kolonial yang memaksa rakyat tidak banyak bisa memilih.
“Sistem pemilihan tersebut memang dibuat agar rakyat tidak dapat membela kepentingan mereka sendiri, rakyat hanya boleh mengamini apa yang dikehendaki tuan-tuan saja,” kata dia.
“Oleh karena itu maka bagian perwakilan rakyat ini saya terima dengan rasa yang tidak terlalu serius, sebab saya melihat di dalamnya ada suatu permainan dari otokrasi untuk memperpanjang kekuasaannya setahun atau lebih dengan berkedok demokrasi,” lanjutnya.
Baca juga: Yang Pertama dari Kedokteran Indonesia
Akibat kritik-kritiknya terhadap pemerintah, meski sudah berada di bawah Volksraad, Cipto masih dianggap terlalu berbahaya. Jika dibiarkan, dia bisa memengaruhi anggota Dewan Rakyat lain untuk melakukan pembangkangan dan melancarkan kritik. Untuk itu pada 1920, Cipto diasingkan ke Bandung. Dia dilarang keluar kota itu secara bebas. Dengan kata lain, Cipto dijadikan tahanan kota oleh pemerintah Hindia Belanda.
“Sifat Cipto yang terus terang dan berani membeberkan kesalahan pemerintah dan menunjuk adanya kepincangan-kepincangan, ketidakadilan dalam masyarakat, tidak peduli apapun konsekuensinya…,” tulis Soegeng.