Penghormatan setinggi-tingginya ditujukkan untuk seluruh tenaga medis Indonesia. Di tengah semakin mewabahnya virus Covid-19, peran mereka sebagai garda terdepan sangat dibutuhkan. Tanpa kenal lelah, para tenaga medis ini berjuang menyelamatkan nyawa pasien-pasiennya. Meski nyawa mereka juga bisa ikut terancam.
Apresiasi bagi petugas medis ini juga datang dari istana. Diberitakan laman resmi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id, Presiden Joko Widodo menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada seluruh petugas medis yang telah bekerja keras merawat para pasien terpapara virus tersebut.
“Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada para dokter, para perawat dan seluruh jajaran rumah sakit, yang sedang bekerja keras penuh dedikasi dalam melayani dan merawat para pasien yang terinveksi Covid-19,” ucap Presiden.
Kapan dan di mana pun profesi dokter serta tenaga medis akan selalu dibutuhkan. Keberadaan mereka menjadi penjaga keseimbangan suatu negara. Di Indonesia, profesi tersebut telah ada selama lebih dari seratus tahun. Bermula dari masa Hindia-Belanda, pemeran utama dunia kesehatan ini pun akhirnya terlahir. Berikut serba pertama soal dokter di Indonesia.
Dokter Lulusan Belanda Pertama
Namanya mungkin terdengar asing di telinga masyarakat. Mas Asmaoen, merupakan lulusan pertama asal Indonesia yang meraih gelar dokter di Belanda. Dilahirkan pada 1880 di Surakarta, Mas Asmaoen sempat mengenyam pendidikan di STOVIA (sekolah dokter untuk bumiputra) sebelum akhirnya diizinkan menempuh kuliah kedokteran di Belanda.
Kesempatan untuk melanjutkan studi di Belanda tidaklah mudah. Hanya para siswa yang bettul-betul pintar mampu mendapat akses terbatas tersebut. Pada 1904, Menteri Urusan Daerah Jajahan Dirk Fock mengeluarkan izin studi kedokteran di Belanda bagi lulusan STOVIA. Abdul Rivai menjadi yang pertama mendapatkannya.
Mas Asmaoen juga menggunakan kesempatan itu untuk mendaftar. Bersama Mas Boenjamin, Mas Asmaoen mencatatkan namanya di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam. Keduanya merupakan mahasiswa yang cemerlang sejak di STOVIA. Menurut Hans Pols dalam Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies, kendati Abdul Rivai yang pertama masuk Universitas Amsterdam, tetapi Mas Asmaoen yang pertama lulus.
Baca juga: Dokter Indonesia Pertama Lulusan Belanda
“Karena Rivai sibuk menulis untuk majalah Bintang Hindia, Asmaoen menjadi bumiputra pertama yang menerima gelar dokter Belanda,” ungkapnya.
Setelah lulus, Mas Asmaoen sempat beberapa bulan bekerja di Institute of Naval and Tropical Medicine di Hamburg, Jerman. Begitu mendapat kesempatan pulang ke Hindia Belanda, dia bekerja sebagai perwira kesehatan di pasukan kolonial. Mas Asmaoen memperoleh kewarganegaraan Belanda, dan menikahi seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, Adriana Asmaoen-Punt.
“Dia diangkat menjadi perwira kesehatan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Dia menjadi orang Indonesia pertama dalam kedudukan itu,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Para Penjajah.
Karir Mas Asmaoen di KNIL tidak lama. Dia mendapat penolakan dari perwira Belanda karena latar belakangnya sebagai bumiputra. Dia kemudian dipindahkan ke Irian, tapi di sana jatuh sakit. Menurut Poeze, Asmaoen tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi di Indonesia. Terlalu lama tinggal di Belanda membuatnya sulit beradaptasi.
Mas Asmaoen meninggal dunia pada 1916 (sumber lain menyebut tahun 1917).
Dokter Perempuan Pertama
Sejak secara resmi menjalankan fungsinya sebagai sekolah pada 1902, STOVIA tidak menerima murid perempuan. Hanya para murid laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan dokter di sana. Namun peraturannya perlahan berubah semenjak Marie Thomas mendapat izin berstudi di sekolah khusus bumiputra tersebut.
Diterimanya perempuan kelahian Likupang, Manado, tahun 1896 itu tidak lepas dari peran Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Negeri Belanda. Diceritakan sejarawan Belanda Liesbeth Hessleink dalam “Marie Thomas (1896-1966), de eerste vrouwelijke arts in Nederlands-Indie”, dimuat Javapost.nl, kesempatan Marie Thomas datang pada 18 April 1912.
Baca juga: Dokter Perempuan Pertama Indonesia
Itu terjadi saat Aletta Jacobs singgah di Batavia dalam kegiatan tur keliling dunia. Di Hindia Belanda ini Aletta bertemu dengan Gubernur Jenderal AWF Idenburg. Pada pertemuan itu, Aletta menyampaikan keinginan agar perempuan bumiputra memperoleh kesempatan mendapat pendidikan kedokteran. Sehingga tidak hanya laki-laki saja yang berkarir di dunia medis. Tidak berlangsung lama, harapan Aletta berbuah hasil. Peraturan baru segera dikeluarkan pejabat pemerintah Hindia Belanda terkait masalah tersebut.
Melalui beasiswa dari sebuah yayasan yang bergerak mengeluarkan dana pendidikan bagi dokter perempuan, Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Indlandsche Arsten (SOVIA), Marie Thomas mendaftar ke Stovia. Memasuki pertengahan tahun 1912, dirinya tercatat sebagai mahasiswa STOVIA. Lulus tahun 1922, Marie Thomas memulai karirnya di Centraal Burger Ziekenhuis (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Batavia.
Marie Thomas menjadi spesialis Indonesia pertama dalam bidang ginekologi dan kebidanan.
Sekolah Dokter Pertama
Permulaan abad ke-19, epidemi penyakit menular merebak di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pemerintah ketika itu kesulitan menghentikan penyebarannya karena penyakit berkembang di kalangan bumiputra. Sementara rumah sakit yang tersedia hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa saja. Akibatnya penyebaran itu tidak dapat dibendung dan mulai menyerang semua kalangan.
Demi terhindar dari dampak yang lebih buruk, Kepala Dinas Kesehatan Umum Hindia Belanda Williem Bosch melayangkan usulan kepada pemerintah agar kalangan bumiputra diperbolehkan menerima pendidikan menjadi dokter. Para lulusannya akan disebar menekan penyakit di banyak daerah, dan diproyeksikan mengganti peran dukun sebagai tenaga medis tradisional. Usulan itu makin mendesak ketika wilayah Jawa Tengah diserang epidemi penyakit tahun 1847.
Pada 1 Januari 1851, setelah melalui serangkaian perdebatan, usulan Bosch dapat direalisasikan. Pemerintah kemudian membuka sekolah kedokteran pertama di Hindia Belanda dengan nama resmi School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Dikenal luas di masyarakat dengan sebutan Sekolah Dokter Jawa. Gedung untuk pendidikan menempati salah satu bagian rumah sakit militer. Direktur pertamanya dijabat oleh P. Bleeker, seorang iktiologis dengan reputasi interasional.
Baca juga: Candradimuka Dokter Jawa
Di dalam bukunya, Healers on the Colonial Market, sejarawan Liesbeth menyebut tidak ada pelajaran khusus yang ditujukan untuk kondisi umum masyarakat lokal. Sebagian besar pengajarnya bahkan hampir tidak punya pengalaman menangani pasien bumiputra. Tahun pertama, para murid sekolah dokter ini mempelajari dasar-dasar ilmu pengobatan, kimia, geologi, botani, zoologi, anatomi, psikologi, dan otopsi. Tahun berikutnya mereka diajari pembedahan dan operasi pada jenazah.
“Seluruh alumni Sekolah Dokter Jawa, termasuk mereka yang membuka praktik dokter sendiri, disupervisi oleh dokter Eropa yang bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan,” ungkap Liesbeth.
Kehadiran para dokter dari kalangan bumiputra ini terbukti mampu menjaga penularan penyakit secara masif di masyarakat. Mereka juga menjadi agen yang memperkenalkan pengobatan modern Barat kepada masyarakat awam. Atas kesuksesan itu, tahun 1875 program pendidikan dokter Jawa direformasi. Durasinya diperpanjang dari tiga menjadi tujuh tahun. Jumlah siswa yang diterima bertambah dari 50 menjadi 100. Bahasa pengantarnya pun berganti menjadi bahasa Belanda.
Pada 1902, bersamaan dengan kebijakan politik etis, revisi pendidikan ikut mengalami perubahan. Nama sekolah berganti menjadi School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (STOVIA). “Istilah dokter Jawa berubah jadi Inlandsche Arts atau dokter bumiputra. Kemudian pada 1913, sekolah membuka pendaftaran bagi seluruh ras tanpa terkecuali maka gelar tersebut diubah menjadi Indische Arts atau dokter Hindia,” ungkap Liesbeth.