Di Hindia Belanda, layanan kesehatan untuk masyarakat umum telah ada sejak awal abad ke-19. Itu pun awalnya hanya disediakan oleh pihak militer. Ketika Belanda menguasai kembali wilayah Hindia Belanda pada 1816 bagian medis militer menyediakan juga layanan kesehatan untuk sipil.
Dokter sipil pada saat itu sangat sedikit dan terbatas hanya di kota-kota penting. Warga desa yang tak terjangkau oleh layanan kesehatan itu umumnya bergantung pada dukun. Tentu saja para dukun ini menggunakan metode pengobatan tradisional, lewat ramuan herbal dan mantra tertentu.
Antoine Keyser dalam Teaching and Tiution of Neurology and Neurosurgery in Indonesia During One Century 1850-1950 menyatakan bahwa akibat keterbatasan itu, epidemi penyakit menular mencapai skala cukup besar. “Sebelum mendapat perhatian pihak berwenang, hal tersebut menjadi penyebab tingginya angka kematian.”
Demi keluar dari situasi tersebut, Dokter Willem Bosch, kepala Dinas Kesehatan Umum Hindia Belanda, mengusulkan kepada pemerintah kolonial untuk membolehkan para bumiputra dididik menjadi dokter. Usulan itu semakin mendesak ketika terjadi epidemi penyakit di Jawa Tengah pada 1847. Menurut Bosch, para dokter bumiputra ini akan bisa menjadi tenaga kesehatan dan vaksinator di daerahnya masing-masing. Pun lulusannya nanti, yang kelak disebut sebagai dokter jawa, dapat menggantikan peran tradisional dukun.
Setelah melalui perdebatan di tingkat elit pemerintahan kolonial, rencana Dokter Bosch akhirnya terealisasi pada 1 Januari 1851. Pemerintah kolonial membuka sekolah kedokteran pertama di Hindia Belanda dengan nama resmi School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Awam kemudian lebih sering menyebutnya Sekolah Dokter Jawa. Gedung untuk pendidikan menempati salah satu bagian rumah sakit militer Jakarta. Direktur pertamanya adalah P. Bleeker, seorang iktiologis dengan reputasi internasional.
Di awal pembukaannya, siswa Sekolah Dokter Jawa diprogramkan menempuh pendidikan selama dua tahun. Di tahun pertama mereka mempelajari dasar-dasar ilmu pengobatan, kimia, geologi, botani dan zoologi, anatomi dan psikologi, serta otopsi. Pada tahun kedua, kurikulumnya mencakup pembedahan dan operasi pada jenazah, patologi, anatomi penyakit dan terapinya, teori vaksin dan penyakit kulit, obat-obatan, serta praktik klinis.
Dalam Healers on the Colonial Market sejarawan Liesbeth Hesselink menyebutkan tidak ada pelajaran khusus yang ditujukan untuk kondisi umum masyarakat lokal. Sebagian besar pengajarnya pun hampir tak punya pengalaman dengan pasien pribumi. “Tetapi, dalam pelajaran materia medica mereka mempelajari ramuan obat herbal asli tanah Hindia. Pada 1850 rumah sakit militer pun mulai mendirikan kebun botani untuk mendukung pelajaran ini,” ungkap Liesbeth.
Liesbeth pun mencatat selama periode 1851-1863, terdapat 76 lulusan Sekolah Dokter Jawa di tanah koloni. Tigapuluh di antaranya dipekerjakan sebagai vaksinator dan 11 lainnya bekerja di klinik. Sebagian lagi bertugas dalam lingkungan Dinas Kesehatan di daerah asalnya masing-masing. Untuk memastikan para dokter jawa ini bertugas dengan baik, mereka tetap mendapat pengawasan dari Dinas Kesehatan.
”Seluruh alumni Sekolah Dokter Jawa, termasuk mereka yang membuka praktik dokter sendiri, disupervisi oleh dokter Eropa yang bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan,” tulis Liesbeth.
Kehadiran para dokter jawa terbukti sangat berguna bagi masyarakat secara luas. Di tempatnya bertugas, mereka ikut andil dalam pencegahan meluasnya epidemi penyakit menular. Tak hanya itu, para dokter jawa juga menjadi “juru bicara” dalam memperkenalkan pengobatan modern Barat di tengah masyarakat awam.
Atas kesuksesan itu, pada 1875 program pendidikan dokter jawa direformasi. Program pelatihan dimodifikasi secara radikal. Durasinya diperpanjang dari tiga menjadi tujuh tahun. Dua tahun pertama sebagai masa persiapan dan pendidikan dasar lalu lima tahun masa pendidikan dokter. Jumlah siswa yang diterima meningkat dari 50 menjadi 100. Bahasa pengantarnya pun berganti menjadi bahasa Belanda.
Berkat peningkatan itu, para dokter jawa kini dipercaya mengemban lebih banyak tugas. Sejak itulah mereka tidak sekadar menjadi asisten dokter atau mantri cacar, tetapi dapat berpraktik sebagai dokter primer.
Pada 1902, bersamaan dengan mekarnya politik etis, revisi pendidikan pun dilakukan. Reformasi ini menyebabkan nama sekolah berganti jadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen alias STOVIA.
“Istilah dokter jawa pun berubah jadi Inlandsche Arts alias dokter bumiputra. Kemudian pada 1913, sekolah membuka pendaftaran bagi seluruh ras tanpa terkecuali maka gelar tersebut diubah menjadi Indische Arts atau dokter hindia. Tapi toh istilah dokter jawa tetap umum digunakan sampai abad 20,” ungkap Liesbeth Hesselink.
Di STOVIA durasi belajar pada fase persiapan diperpanjang lagi sampai tiga tahun dan fase pendidikan kedokteran menjadi enam tahun. Lalu ada pula tahun tambahan untuk mata pelajaran obstetrik dan forensik modern. Perubahan ini juga mensyaratkan adanya ujian penerimaan.