GERBANG perjuangan bangsa Indonesia telah terbuka sejak dekade pertama abad ke-20. Melalui berbagai organisasi, tokoh-tokoh nasionalis di negeri ini telah berupaya menghapuskan praktek ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Pergerakan mereka yang sebelumnya terpisah pun berhasil disatukan dalam satu wadah yang sama, yakni Volksraad (Dewan Rakyat).
Nama-nama besar seperti Muhammad Husni Thamrin, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Otto Iskandardinata, pernah menduduki kursi Volksraad. Mereka adalah perwakilan rakyat Indonesia di depan parlemen Belanda. Umumnya para anggota dewan dipilih mewakili partainya masing-masing, namun tidak sedikit yang menjadi wakil dari daerah.
Salah seorang tokoh Volksraad yang cukup banyak diperbincangkan kala itu adalah Muhammad Yamin. Dalam buku Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan karya Restu Gunawan, Yamin dikenal sebagai sosok yang keras oleh sesama anggota dewan.
“Selama di Volksraad, Yamin merupakan tokoh yang sangat radikal dalam menanggapi berbagai masalah,” ucap Restu.
Baca juga: Bahasa Indonesia di Dewan Rakyat Hindia Belanda
Yamin sendiri bergabung bukan mewakili partainya, melainkan dari perwakilan daerah. Ia merasa partainya, Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), selalu kalah dari partai lain. Oleh karena itu demi memuluskan jalannya menduduki kursi dewan, Yamin memutuskan mendekati pejabat daerah Minangkabau.
Proses untuk mengikuti pemilihan anggota Volksraad ini bukan perkara mudah bagi Yamin. Pemerintah Hindia Belanda telah sejak lama memantau aktivitasnya. Ia dan beberapa anggota partai Gerindo masuk ke dalam daftar orang-orang yang diawasi.
“Muhamamd Yamin dilarang (pemerintah Hindia) Belanda untuk pulang ke Padang mendekati anggota gemeente yang akan memilih perwakilannya di Volksraad, karena Yamin dianggap merah oleh (Hindia) Belanda,” tulis Restu.
Dalam Chairul Saleh: Tokoh Kontroversial, Irna H.N. Hadi Soewito menyebut pemerintah Hindia Belanda hanya melakukan usaha yang sia-sia untuk menghalangi Yamin. Karena mayoritas suara di daerah Minangkabau tetap memilih dirinya. Namun terpilihnya Yamin di kursi dewan ini berdampak kepada posisinya di dalam partai. Mayoritas anggota Gerindo tidak setuju dengan keputusan Yamin. Ia akhirnya dipecat.
Pemikiran-pemikiran Yamin terkadang memang tidak dapat dipahami. Ia kerap kali melakukan perdebatan dengan sesama anggota dewan dari Fraksi Nasional pimpinan Thamrin. Seperti saat ia terlibat debat panas dengan Soetardjo Kartohadikoesoemo, salah seorang anggota Fraksi Nasional yang nantinya menjadi gubernur pertama Jawa Barat.
Baca juga: Perempuan Pertama dalam Dewan Rakyat Hindia Belanda
Pada Juli 1936, Soetardjo mengajukan sebuah petisi guna mengatur hubungan baik antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda melalui sebuah konferensi. Diberitakan Surat Kabar Pembangoenan 18 September 1936, Soetardjo menginginkan adanya keterbukaan dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Ia merasa wakil-wakil pribumi harus dilibatkan dalam menjalankan pemerintahan. Sehingga Soetardjo meminta diberikan zelfstandigheid (kemandirian) di daerah-daerah.
Petisi Soetardjo itu mendapat beragam reaksi. Umumnya mendukung gagasan yang dianggap berani dari seorang pegawai Hindia Belanda. Namun tidak bagi Yamin. Ia merasa isi Petisi Soetardjo itu terlalu kabur dan hanya mewakili pribadinya. Yamin tidak menangkap batas dari kemandirian yang diminta Soetardjo. Ia khawatir hal itu akan berdampak buruk bagi rakyat Indonesia. “Langkah dan taktik Soetardjo ini boleh dipuji tetapi sebenarnya tidak ada isi dan tujuannya.”
Meski begitu, pada 28 September 1936, Volksraad menerima Petisi Soetardjo. Lebih dari setengah anggota dewan ini setuju dengan usulan tersebut. Akibatnya Fraksi Nasional terpecah. Ada kubu yang mendukung Petisi Soetardjo, dan kubu yang menolaknya seperti Yamin.
Menanggapi permasalahan di fraksinya, secara pribadi Thamrin berharap Petisi Soetardjo dapat dikaji dengan penjelasan yang lebih rinci. Namun ia juga merasa langkah ini baik bagi terbukanya konferensi antara Belanda dan Indonesia agar perwakilan rakyat dapat mengutarakan langsung pemikirannya di depan parlemen Belanda. Dan pada 1938 pertemuan kedua negara itu pun dapat terwujud
”Selama menjadi anggota Volksraad, Yamin dijuluki sebagai ‘pemecah belah abadi’, mengingat Yamin pulalah yang dipandang sebagai biang keladi terjadinya perpecahan dalam Fraksi Nasional,” tulis Restu.
Baca juga: Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola
Pada 1939 di dalam suatu sidang, Yamin mengutarakan sebuah konsepsi hasil buah pikirnya. Sutrisno Kutoyo dalam Prof. Mohamad Yamin S.H, menyebut Yamin ingin Fraksi Nasional memiliki program tersendiri di samping kegiatan Volksraad. Ia juga mengusulkan agar fraksi terbesar di Dewan Rakyat itu lebih memperhatikan kepentingan luar Pulau Jawa, jangan hanya terpusat di Jawa saja.
Namun konsepsi Yamin itu kurang mendapat tanggapan. Fraksi Nasional merasa ada ketidaksesuaian dengan tujuan yang selama ini mereka bangun. Akhirnya pada 10 Juli 1939, Yamin memutuskan keluar dari Fraksi Nasional.
Yamin kemudian mendirikan Golongan Nasional Indonesia (GNI), yang merupakan wadah bagi wakil-wakil utusan daerah. Kepentingan yang dibawa bukan sebatas anggota partai saja, tetapi jauh lebih luas. Tokoh-tokoh yang ikut dalam fraksi Yamin ini di antaranya, Mangaraja Suangkupon (Sumatera Utara), Dr. Abdul Rasjid, dan Mr. Tadjudin Noor (Kalimantan).
Meski terpecah, Yamin dan Thamrin memiliki pandangan yang sama tentang kemerdekaan dan persatuan Indonesia. Seperti terlihat saat keduanya sepakat untuk menentang kedudukan Belanda di Indonesia ketika kekuatan hukum negeri itu hancur akibar serangan Jerman pada 10 Mei 1940. Belanda yang mengungsikan pemerintahannya ke Inggris dianggap melanggar peraturan.
“Jadi perbedaan dalam prinsip dan pemikiran boleh saja terjadi, tetapi ketika sampai pada tujuan yaitu Indonesia yang merdeka para tokoh selalu pada satu kata,” ucap Restu.
Baca juga: Suara Roestam di Parlemen Belanda