KONGRES Pemuda II, 28 Oktober 1928, menetapkan “satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.” Bahasa Indonesia dapat diterima karena tidak mengancam dan tidak eksklusif. “Dan belakangan, bahasa Indonesia menjadi pertanda pertumbuhan keyakinan akan Indonesia,” tulis RE Elson dalam The Idea of Indonesia, “sebagaimana ketika fraksi Thamrin mulai menggunakan bahasa Indonesia untuk kali pertama dalam perdebatan Volksraad pada 1938.”
Muhammad Husni Thamrin, wakil Betawi dan ketua Fraksi Nasional di Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad), mewujudkan tuntutan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo, 25-27 Juni 1938, agar Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia.
Menurut Pitut Suharto dalam Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok, Thamrin mengumumkan pertama kali fraksinya memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya di Volksraad pada 12 Juli 1938.
Alasan Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia karena semua peraturan yang berlaku umum untuk rakyat ditetapkan dalam bahasa Belanda yang tidak di mengerti rakyat, kaum bumiputra terpelajar tidak senang membaca dan menulis pada suratkabar berbahasa Indonesia, dan orang Indonesia pasti kalah dalam perdebatan dengan orang Belanda dalam bahasa Belanda.
“Karena rakyat Indonesia umumnya berbahasa Indonesia, kondisi itu merupakan suatu kerugian bagi rakyat Indonesia yang berjumlah puluhan juta,” tulis Azizah Etek, Mursyid AM, dan Arfan BR dalam Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939.
Pernyataan “buat pertama kalinya” penggunaan bahasa Indonesia di Volksraad perlu dipertanyakan. Thamrin sendiri mengakui bahwa dia berpidato menggunakan bahasa Indonesia baru pada Juli 1938. “Konon, perintis penggunaan bahasa Indonesia, adalah Haji Agus Salim dan Jahja Datoek Kajo sejak 1927,” tulis Azizah, dkk.
Pidato berbahasa Indonesia Haji Agus Salim diprotes tuan voorzitter. “Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda,” kata Salim, “tapi menurut peraturan Dewan saya punya hak mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia.” Salim mengacu pada mosi yang disampaikan anggota Volksraad bumiputra pertama Achmad Djajadiningrat dan kawan-kawannya pada 3 Desember 1918 tetang penggunaan bahasa Indonesia. Ratu Belanda memperbolehkan dengan catatan bahasa Belanda diutamakan.
Berbeda dengan masa persidangan 1927-1928 yang hanya Salim dan Jahja yang berbahasa Indonesia, pada masa 1938-1939 ada enam orang anggota Volksraad bumiputra yang memakai bahasa Indonesia: Thamrin, Soeroso, Abdoel Rasjid, Soangkoepon, Wirjopranoto Iskandar Dinata, dan Datoe Toemenggoeng yang juga memakai bahasa Belanda.
“Mereka itu adalah penyokong Fraksi Nasional yang memperjuangkan bahasa Indonesia digunakan dalam persidangan,” catat Azizah, dkk.
Penggunaan bahasa Indonesia di sidang Volksraad diprotes Piet A Kerstens, wakil Indische Khatolieke Partij, dan Jan Verboom, petinggi Suikersyndicaat (perkumpulan majikan gula) di Surabaya dan pengurus Vaderlandsche Club.
“Kaum kamu nasionalis sekarang berbahasa Indonesia di badan Volksraad akan tetapi sebentar kamu orang minta supaya pengajaran bahasa Belanda diperluaskan,” kata Kerstens, dikutip Pitut Suharto.
Thamrin menjawab: “Lupa mereka (Kerstens), hak (berbahasa Indonesia di Volksraad) itu yang katanya telah diakui dalam wet (undang-undang); lupa pula kehormatannya terhadap wet-nya sendiri sedang orang Indonesia selalu diajarkan untuk menghormati segala aturan undang-undang.”
Di balik serangan balik itu, Thamrin menyadari: “Kami orang baru insyaf sekarang atas kesalahan kami terhadap bahasa sendiri dan oleh karena itu hendak lantas membetulkan kesalahan dan hendak membantu meninggikan dan memuliakan bahasa kita."