SEORANG pengendara sepeda melaju di Jalan Kawi, tak jauh dari asrama pelajar STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda) —sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat No 106—di Batavia. Usia pengendara masih remaja belasan tahun. Dia memasang kain berwarna merah-putih di bagian depan sepeda. Polisi menghentikan si remaja dan menurunkan kain itu dari depan sepeda.
“Demikianlah nasib ‘anak-anak nakal’ yang merasa dirinya terpanggil untuk setia kepada Sang Merah-Putih,” kenang Frits K.N. Harahap dalam “Bersifat Temporerkah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?” termuat di 45 Tahun Sumpah Pemuda. Dia ingat peristiwa itu terjadi menjelang Ikrar pemuda di asrama pelajar STOVIA pada 28 Oktober 1928.
Baca juga: Sejarah kepanduan hingga Pramuka
Frits mendengar bahwa sekelompok pemuda akan menggelar rapat untuk membentuk organisasi kepanduan nasional di asrama pelajar Stovia. Dia dan teman-temannya telah bergabung di sebuah organisasi kepanduan bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Tapi mereka merasa kurang puas dengan aktivitas di organisasi tersebut sehingga memutuskan datang ke lokasi rapat.
“Kami pandu-pandu menjadi ‘pengawal’, yang menjaga ‘keamanan dan ketertiban’ di pekarangan gedung keramat Jalan Kramat, tempat diselenggarakan Kongres Pemuda,” tulis Frits, yang saat itu menjadi pandu termuda di sana. Tiga hari rapat, pemuda-pemuda itu tak hanya membicarakan organisasi kepanduan, tetapi juga merumuskan soal-soal kebangsaan terkait tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Baca juga: Indonees, Indonees, bukan Indonesia Raya
Frits ingat kawan-kawan pandu menyambut hasil rapat itu dengan gembira. Ketika mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang dari biola Wage Rudolf Soepratman, jantung Frits berdebar. Perasaannya campur aduk. Antara khawatir polisi bertindak membubarkan rapat sekaligus takzim terhadap gesekan Soepratman.
Mitologisasi Sumpah Pemuda?
Pengakuan Frits menjelaskan sepotong pengaruh Sumpah Pemuda dalam kehidupan banyak pemuda di Hindia Belanda. Bertahun-tahun lalu muncul pertimbangan ulang tentang makna dan peran Sumpah Pemuda yang semakin termitologisasi atau lebih banyak bumbunya ketimbang kenyataan sebenarnya.
Pertimbangan itu muncul antara lain dari tulisan Taufik Abdullah dalam “Selamat Tinggal (?) Sumpah Pemuda” termuat di Tempo, 28 Oktober 1978; Riyadhi Gunawan dalam “Sumpah Pemuda: Diantara Pemuda, Peristiwa, dan Kesadaran Sejarah” termuat di Kedaulatan Rakyat, 27 Oktober 1978, dan seorang penulis tak bernama menulis “Yongelingen Yang Abrnormal” dalam majalah Matahari, 16—31 Oktober 1978.
Tiga artikel tersebut mencoba mendudukkan Sumpah Pemuda secara apa adanya. Tapi artikel tersebut tak memuat kesaksian dari pemuda sezaman ketika Sumpah Pemuda terjadi. Beberapa terbitan lain berupaya mengungkap apa peran dan makna Sumpah Pemuda bagi para pemuda sezaman.
Baca juga: Kisah rumah tempat lahirnya Sumpah Pemuda
Seorang pemuda bernama Machfoeld, misalnya, turut mengalami hal serupa Frits. “Penulis kini masih ingat jelas betapa hening sahdu dan indahnya suasana dalam Gedung IC (Indonesische Clubhuis —nama lain asrama pelajar STOVIA) Kramat 106 Jakarta, di kala itu. Banyak pasang mata tampak berkedip-kedip basah. Banyak pasang bibir tampak berkomat-kamit syukur berterimakasih kepada Tuhan YME,” tulis Machfoeld dalam “Sumpah Pemuda: Sebelum, Semasa, Sesudah Lahirnya.”
Redakan Pertikaian
Machfoeld terkenang hari-hari sebelum pemuda mengucap ikrar untuk bersatu. Para pemuda dari beragam daerah Hindia Belanda kerap kali bersitegang di Kutoarjo, kota di mana Machfoeld menempuh pendidikan menengahnya. Dia mengalami masa-masa perkelahian antarpemuda dari Pasundan, Ambon, Minahasa, dan Jawa. Sebabnya hanya karena senggolan.
“Perkara demikian itu, biasanya belum cukup diselesaikan di tempat itu. Kadangkala masih disambung dengan perbuatan kenakalan-kenakalan pada lain-lain hari terhadap dia atau mereka yang dianggapnya ‘bersalah’,” tulis Machfoeld.
Sumpah Pemuda mengubah pertikaian antarpemuda menjadi gagasan dan semangat untuk bersatu secara perlahan. “Tetapi Sumpah Pemuda yang didengungkan di Jakarta (Betawi di waktu itu), juga terdengar di pelosok-pelosok daerah. Semangat pemuda-pemudi dan orang-orang tua mereka, pegawai-pegawai negeri, guru-guru dibangkitkan oleh pers secara diam-diam,” ungkap Limbak Tjahaja, seorang gadis muda di Sawah Lunto pada waktu Sumpah Pemuda terlaksana, dalam “Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional” termuat di Bunga Rampai Soempah Pemoeda 50 Tahun.
Baca juga: Perempuan yang hadir di Kongres Pemuda
Gaung Sumpah Pemuda juga sampai ke gadis muda bernama Sujatin di kota Yogyakarta. Dia aktif dalam organisasi Jong Java dan memperoleh kabar tentang Sumpah Pemuda melalui surat kawan-kawannya dari Jakarta.
“Dapat dibayangkan betapa berdebar-debar hati saya dan kawan-kawan ketika ‘Sumpah Pemuda’ telah dicetuskan dan kami bersama Angkatan Muda semua mempunyai bendera Merah Putih dalam buku kami, pun lagu Indonesia Raya mulai di kalangan pemuda dinyanyikan,” ungkap Sujatin Kartowijono dalam “Apa Arti Sumpah Pemuda Bagi Diriku”.
Baca juga: Sujatin Kartowijono, penerus RA Kartini dalam perjuangan kaum perempuan
Sujatin menambahkan pengaruh Sumpah Pemuda terasa pula pada pergerakan wanita. “Setelah Sumpah Pemuda didengungkan maka kami merasa pula bahwa kaum wanita harus dibangkitkan dari keadaan yang masih agak pasif dan diberi semangat nasional,” lanjut Sujatin. Kelak usaha Sujatin dan kawan-kawannya berbuah Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928.
Humor Pemuda
Cerita S.K. Trimurti, menteri perburuhan pertama Indonesia, tentang keadaan pemuda setelah Sumpah Pemuda lain lagi. Usia Trimurti 16 tahun ketika Sumpah Pemuda berlangsung di Batavia. Dia masih bersekolah di Surakarta dan hanya mendengar sayup-sayup kabar Sumpah Pemuda. Dia merasakan Sumpah Pemuda mempunyai pengaruh dalam kehidupan para pemuda di kota lainnya beberapa tahun kemudian.
Baca juga: Kenali SK Trimurti, menteri perburuhan pertama Indonesia
Trimurti mengungkap cerita humor sekitar kehidupan pemuda setelah Sumpah Pemuda. Menurut dia, kehidupan pemuda masa itu tidaklah melulu berisi keseriusan dan ketegangan. “Tetapi pemuda-pemuda yang selalu ada unsur ‘humornya’ dalam diri masing-masing. Muka-muka mereka bukanlah muka-muka yang seram, yang kelihatan selalu ‘tegang’,” terang dia dalam “Sikap Humor dalam ‘Keseriusan’ Pejuang-Pejuang Muda”.
Baca juga: Kiprah SK Trimurti, menteri buruh bersandal jepit
Trimurti menyatakan aktivitas organisasi pergerakan nasional semakin berkurang setelah Sumpah Pemuda. Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pertemuan anggota partai, organisasi pemuda, dan organisasi wanita yang memiliki cita-cita Indonesia merdeka dan menentang pemerintah.
“Apakah dengan itu kegiatan politik lantas berhenti?” tanya Trimurti. Pemuda selalu mempunyai cara untuk menghadapi situasi sulit dan beban berat. Misalnya untuk menyiasati larangan rapat, pemuda mengadakan rapat sembari berjalan di dalam gang. Cara ini berhasil mengelabui anggota Politiek Inlichtingen Dienst (PID—semacam dinas intelijen pemerintah).
Baca juga: PID mengawasi kaum pergerakan
Cara lain pemuda untuk mengelabui anggota PID adalah dengan menyaru sebagai pasangan sejoli ketika menggelar rapat. “Kalau terjadi begini, bukan PID yang ribut, akan tetapi orang-orang tua itu. Mereka mengira, bahwa anak-anaknya benar-benar pacaran,” lanjut Trimurti.
Trimurti mengakui pengaruh Sumpah Pemuda 1928 dalam kehidupan anak muda pada zamannya. “Banyak sekali. Yang jelas tekad untuk mewujudukan Indonesia Raya yang satu, berdaulat, meresap sungguh-sungguh di hati sanubari pejuang-pejuang muda ketika zaman penjajahan.”
Begitulah pengaruh Sumpah Pemuda menurut pemuda-pemuda sezaman.
Baca juga: Indonesia Raya setelah Sumpah Pemuda