Masuk Daftar
My Getplus

Indonees Indonees bukan Indonesia Raya

Oleh: Remy Sylado | 29 Des 2017
Film "Wage" (2017).

LAGI, pada pekan-pekan kemarin ini masyarakat Indonesia menyaksikan film yang berangkat dari bagian sejarah panjang kebangsaannya. Biaya pembuatan film ini 12 milyar. Sutradaranya John de Rantau. Judulnya Wage. Ini cerita tentang Wage Rudolf Supratman –selanjutnya disingkat WRS– pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Dalam diskusi film untuk para wartawan, yang dilangsungkan di Perpustakaan Kemendikbud, Senayan, dengan menghadirkan pembicara-pembicara John de Rantau, Bre Redana, dan saya, yang dipandu oleh moderator Wina A. Sukardi, saya memuji film Wage karena di satu pihak khazanah sinematografisnya dan kepandaian akting aktornya khususnya Teuku Rifnu Wikana terbilang bagus; tapi di lain pihak saya mengkritik juga hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, terutama pada bagian-bagian fokus dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di mana lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan secara unisono. Dimulai dari situ saya melihat penanganan sutradara tampak tidak cermat menyimak ikatan sejarah yang justru menjadi premis terpadu film ini. Adalah ketidakcermatan ini yang membuat film yang bagus ini menjadi: nila setitik merusak susu sebelanga.

Nila lain terlihat pada adegan pembacaan hasil kongres di gedung milik Sie Kok Liong, Jl. Kramat 106. Yang membacakan hasil kongres tersebut, tentang “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”, adalah seorang laki-laki. Menurut John de Rantau, lakilaki itu adalah Mohammad Yamin. Padahal, sebenarnya dalam catatan resmi kongres, yang membacakan hasil Sumpah Pemuda itu adalah seorang gadis berumur 17 tahun dari Jong Minahasa Bond yang kemudian menjadi Jong Celebes, bernama Johanna Tumbuan, dan akrab dipanggil Jo Masdani.

Advertising
Advertising

Ketika Jo Masdani berusia 48 tahun, usai pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1959 yang berjudul Manifesto Politik dan ditetapkan oleh DPA sebagai GBHN di tahun berikutnya – ia menyaran kepada Presiden untuk memberi semacam tanda jasa kepada Sie Kok Liong, pemilik rumah di Jl. Kramat 106 itu, yang dijadikan tempat berkongres oleh para pemuda sampai dicetuskannya Sumpah Pemuda dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Pada saat itu Jo Masdani duduk sebagai anggota Dewan Harian Angkatan 45 di samping dosen di Fakultas Kedokteran UI.

Ketidakcermatan –untuk mengganti metafora nila– dalam film Wage itu, adalah kata-kata dan judul lagu kebangsaan kita tersebut sebenarnya bukan yang dikenal pada 1928. Pada 1928 lagu kebangsaan ini adalah “Indonees Indonees”, bukan “Indonesia Raya”. Maka, ketika WRS sendiri pun menyanyikannya dalam rekaman yang dibuat 1927, jadi setahun sebelum Sumpah Pemuda, kata-katanya memang “Indonees Indonees”. Baru pada 1944, jadi setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, pas tanggal 8 September Bung Karno membentuk sebuah panitia yang dipimpinnya sendiri dengan anggota Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Soedibjo, Darmawidjaja, Koesbini, K.H.M. Mansjoer, Mr Mohammas Yamin, Mr Sastromoeljono, Sanoesi Pane, Cornel Simandjoentak, Mr Achmad Soemarjo, dan Mr Oetojo, mengganti "Indonees Indones" menjadi “Indonesia Raya”.

Melalui panitia itu pula diputuskan empat ketentuan menyangkut cara menyanyikan “Indonesia Raya”, masing-masing terdiri dari (1) Apabila lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga uplet, maka ulangannya dilagukan satu kali, tetapi pada kuplet yang ketiga ulangannya dilagukan dua kali; (2) Ketika menaikkan bendera merah-putih, maka lagu kebangsaan “Indonesia Raya” harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Ketika sedang berbaris, maka dipakailah menurut keperluan cepat 1-2-120; (3) Perkataan ‘semua’ diganti dengan perkataan ‘sem’wanya’. Not ditambah ‘do’; (4) Perkataan ‘refrain’ diganti dengan perkataan ‘ulangan’.

Memang, rekaman berupa fonograf piringan-hitam dengan suara asli WRS yang menyanyikan “Indonees Indonees” itu telah dibuat pada pra-Sumpah Pemuda oleh perusahaan plat gramafon milik Yo Kim Tjan. Pada 1957rekaman itu dihadiahkan dan diserahkan sendiri oleh Yo Kim Tjan untuk arsip sejarah kepada Djawatan Kebudajaan Kementrian PP&K, tapi pada setahun kemudian rekaman dalam bentuk plat gramafon itu, dinyatakan hilang. Berita itu diungkap oleh majalah Star Weekly pada 1957 dan disiarkan lagi oleh majalah Musika No. 12 Th. I, Agustus di tahun yang sama. Catatan lain terbaca juga dalam buku karya orang dekat keluarga WRS, Oerip Kasansengari, yaitu Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja, Grafika Karya, Surabya, 1967, halaman 34, mengatakan bahwa “Indonees Indonees” direkam oleh perusahaan fonograf milik Tio Tek Hong. Kita tahu bahwa nama Tio Tek Hong merupakan perintis dunia rekaman paling terkenal di Jakarta. Semua plat gramofonnya yang berukuran singel 78 RPM selalu dimulai dengan suara sang tauke sendiri mengucapkan pernyataan “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia.”

Nila lain lagi yang terlihat dalam film Wage adalah peran Frits –tak diterangkan ini siapa, sebut saja “Londo ireng”– ajeg tampil dandy dengan stelan jas plus vest berwarna pejal antara biru, coklat, hitam, persis kostum orang bulek di Eropa sana. Ini aneh, sebab pada zaman kolonial, Belanda-Belanda tahu betul bahwa bahan jas yang berwarna putih itu membias panas matahari khatulistiwa, dengan begitu pakaian tuan-tuan Belanda –sebagaimana yang bisa terlihat dalam foto-foto lama– terbuat dari jenis katun berwarna putih.

Selain itu, dalam beberapa scene, tampak WRS bercengkerama dengan seorang perempuan. Menurut John de Rantau, itu adalah sosok imaginatif. Kata dia, “Itu untuk menunjukkan bahwa Wage bukan seorang homo. Ia bahkan banyak kali tidur dengan perempuan-perempuan Belanda.” Simpai ini sangat mengejutkan, entah dari mana sumber bacaannya. Kata saya, “Kenapa tidak dengan piranti imaginasi itu ditampilkan saja sosok perempuan bernama Salamah?”

Pada 1950-an tercatat peristiwa heboh tentang Salamah. Perempuan ini mengaku sebagai istri WRS dan hidup bersamanya selama 17 tahun. Maka, atas pengakuannya itu Negara menganugrahkan Bintang Mahaputra Anumerta III mewakili WRS. Karuan, pada 25 Januari 1951 Ny. Roekijem Soepratijah, Ny. Roekimah Soepratirah, Ny. Ngadini Soepratini, dan Ny. Gijem Soepratinah selaku saudara kandung WRS mengirim surat kepada Mentri P&K, Prof. Dr. Prijono yang isinya mempermasalahakan perempuan bernama Salamah tersebut. Surat kepada sang menteri dilampiri dengan surat keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 12 Agustus 1958 yang menyatakan bahwa ahliwaris WRS adalah saudara-saudaranya tersebut. Dengan surat keputusan itu pula maka melalui Berita Acara Departemen Kesejahteraan Sosial tertanggal 23 November 1961, dinyatakan bahwa Salamah bukan istri WRS karena perempuan ini pun tidak berhasil menunjukkan surat kawinnya yang sah, dan dengan demikian harus mengembalikan Bintang Mahaputra Anumerta III kepada Departemen Kesejahteraan Sosial.

Kembali ke soal film Wage. Akhirnya memang harus diakui –dialas apresiasi tapi sekaligus juga aprehensi– bahwa membuat film yang berangkat dari pegangan sejarah kebangsaan, yang otomatis premisnya berpihak, tidaklah sesederhana membikin film-film kelas hiburan tentang hantu, setan, kuntilanak, dan sebangsanya, yang telah menjadi ilham klise perfilman Indonesia.

TAG

1001

ARTIKEL TERKAIT

Antara Bebek dan Kartu-Truf Gambar Tikus di Miras Manado Happy Birthday & Potong Kuenya Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Merekatkan Sejarah Lakban Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Kisah Tukang Daging yang Menipu Bangsawan Inggris Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk