Masuk Daftar
My Getplus

Perlawanan Lewat Bahasa

Pasca-Sumpah Pemuda, para pemuda berusaha menggunakan bahasa Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.

Oleh: Nur Janti | 16 Okt 2018

SEKEMBALINYA dari Belanda tahun 1931, Maria Ullfah bertekad mematuhi Sumpah Pemuda dengan cara menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, bersama Soegiarti (kemudian jadi istri Sutan Takdir Alisyahbana) sahabat karibnya Maria mencari seseorang yang bisa mengajari bahasa Indonesia. Upaya itu berhasil. Pujangga Amir Hamzah bersedia menjadi guru les mereka.

Namun, Amir rupanya tak cocok menjadi guru Maria Ullfah dan Soegiarti. Kosakata yang diajarkan Amir terlalu mendayu-dayu dan sangat sastrawi, sementara kebutuhan Maria dan Soegiarti bukan itu.

Maria lalu berterus terang pada Amir. “Maaf, Saudara Amir Hamzah. Bahasa Indonesia yang Saudara ajarkan pada kami adalah bahasa pujangga. Kami memerlukan bahasa Indonesia yang biasa untuk berpidato dan bercakap-cakap, bukan untuk menjadi sastrawan,” kata Maria seperti ditulis Gadis Rasyid dalam biografi Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya.

Advertising
Advertising

Sejak itu, Amir tak lagi mengajar mereka. Sebagai gantinya, mereka meminta rekan dari Sekolah Muhammadiyah bernama Sutopo untuk mengajari bahasa Indonesia.

Kesulitan menggunakan bahasa Indonesia tidak hanya dialami Maria Ullfah dan Soegiarti. Tokoh pendidik perempuan Kajatoen Wasito pun merasakannya. “Bahasa Indonesia belum banyak aku kuasai secaram mendalam, terlebih dalam hal pidato,” kata Kayatoen, yang ikut Jong Java –yang kemudian melebur jadi Indonesia Muda (IM)– kala usianya masih 20-an. Dalam pertemuan-pertemuan IM, dia selalu kagum pada rekan-rekannya yang pandai berpidato dalam bahasa Indonesia.

“Waktu itu mayoritas orang pakai bahasa daerah atau bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menjadi hal yang tidak mudah pada waktu itu. Tapi melihat usaha para pemuda juga perempuan untuk menggunakannya, betapa keinginan untuk bersatu sangat kuat dan alatnya adalah bahasa Indonesia,” kata Yerry Wirawan, sejarawan Universitas Sanata Dharma, pada Historia.

Kongres Perempuan Indonesia sebagai federasi organisasi perempuan pun turut memenuhi Sumpah Pemuda dengan mewajibkan terbitannya, Isteri, menggunakan bahasa Indonesia. Aturan itu merupakan keputusan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPII) di Surabaya pada 1930.

Usaha menggunakan bahasa Indonesia terus dilakukan, bahkan dalam rapat organisasi perempuan. Dalam kumpulan memoar perempuan di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi, Kayatin Sahirntihardjo mengisahkan bagaimana dia dan rekan-rekan Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda berusaha keras berbahasa Indonesia.

“Nona Burdah yang Sunda, Nona Moni Tumbel dari Minahasa, dan Rusmali yang Minang kesulitan berbahasa Indonesia. Bila kami tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik, diwajibkan membayar denda satu kwartje atau dua puluh lima sen,” ujar Kayatin. Tak ayal, rapat menjadi penuh tawa ketika ada yang kena denda. Uang denda itu dimasukkan ke dalam kas pengurus.

Anekdot dari masa perjuangan menggunakan bahasa Indonesia juga dialami Theo Pangemanan, kakak ipar tokoh perempuan Partindo Dina Pantow. Theo kala itu aktif di kepanduan Indonesie Padvinders Organisatie (INPO). Ketika INPO merayakan tercetusnya Sumpah Pemuda, Theo berpidato penuh semangat menggunakan bahasa Indonesia yang belum dia kuasai benar. Sampai di rumah, dia malah ditertawakan oleh saudara-saudaranya, termasuk Dina. Tapi setelah itu, Leen Pantow, istri Theo, harus bersedih karena mendapat ancaman dikeluarkan dari pekerjaannya di Laboratorium dr. Peverelli jika suaminya tak keluar dari INPO.

Dari kesaksian Dina, para mahasiswa Indonesia juga diancam dikeluarkan dari perguruan tinggi bila ketahuan ikut Kongres Pemuda. Para pemuda disuruh memilih, tetap teguh pada perjuangan kemerdekaan tapi dikeluarkan dari sekolah atau tetap bersekolah tapi meninggalkan perjuangan.

Menurut Yerry, usaha-usaha para pemuda di tahun 1930-an bahkan sampai 1950-an untuk menggunakan bahasa Indonesia menjadi satu hal yang amat politis di tengah penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa yang dominan. “Bahasa menjadi simbol nasionalisme dan perlawanan pada penjajah. Penggunaannya pada dekade 1930-an amat politis sebagai wujud nasionalisme. Ia dijadikan alat pemersatu yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan suku yang berbeda,” kata Yerry.

TAG

Perempuan Sumpah-Pemuda

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang