MEMASUKI sidang ketiga Kongres Pemuda II, polisi rahasia Belanda makin siaga. Takut-takut kalau para pemuda mengadakan gerakan. Tetiba Ketua Panitia Kongres Sugondo Djojopuspito dihampiri Wage Rudolf Supratman, peserta kongres merangkap wartawan Sin Po.
“Bung Gondo, apakah saya dapat memperdengarkannya sekarang,” tanya Supratman yang menenteng kotak biola dan menggenggam secarik naskah lagu.
Sugondo membaca naskah lagu itu. Kalimat “Indonesia Raya” dalam lirik lagu membuatnya cemas. Dia menyerahkan naskah lagu itu kepada petinggi pemerintah kolonial yang hadir, Charles van der Plas. Van der Plas malah menyarankan supaya meminta izin kepada perwira polisi Belanda. Sugondo tak bersedia. Supratman lantas meyakinkan kawannya itu.
“Saya hanya mau memperdengarkan dengan permainan biola,” kata Supratman dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya karya B. Sularto.
Sidang akan kembali digelar dengan agenda penetapan hasil keputusan kongres. Sebelum dimulai, Supratman mendapat kesempatan memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biola. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya.
“Sekalipun hanya mendengar alunan instrumentalia tanpa lirik, lagu berjudul Indonesia Raya itu tampak mendatangkan rasa hikmat dan khusuk pada hadirin,” tulis Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia.
Ketika Supratman mengakhiri permainan biolanya, seluruh hadirin takjub. Tepuk tangan yang gemuruh masih terdengar mengiringi kepergian Supratman kembali ke tempat duduknya. Setelah kongres ditutup dengan ikrar Sumpah Pemuda, lagu itu kembali diperdengarkan.
“Saya ingat, rapat penutupan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 waktu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kali. Lagu itu dinyanyikan bersama-sama oleh hadirin,” kenang Soegondo Djojopoespito dalam tulisan ”Beberapa Cerita yang Kurang Tepat dalam Beberapa Karangan tentang Sumpah Pemuda” termuat dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda.
Seorang gadis remaja bernama Dolly Salim, putri Haji Agus Salim menjadi pemandu lagu itu. Lagu itu segera mengkhalayak di mana-mana. Di beberapa forum resmi, bahkan lagu itu dikumandangkan dengan sikap hormat.
“Sejak itu lagu tersebut sangat terkenal di kalangan para pemuda perkotaan,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan.
Menurut Sularto, pemerintah kolonial secara diam-diam memerintahkan tenaga ahlinya untuk meneliti peranan lagu Indonesia Raya. Mereka sepakat, lagu Indonesia Raya dapat mengancam pemerintah. Menyanyikan lagu ini bahkan menggumamkannya dianggap dapat mengancam ketenangan dan ketertiban umum.
“Lagu gubahan Supratman yang sangat puitis akan mendorong lahirnya kesadaran baru bangsa Indonesia,” tulis Hering.
Pemerintah kolonial Belanda meresponnya secara represif. Untuk beberapa waktu lamanya lagu Indonesia Raya dilarang diperdengarkan.