HARI ini, 90 tahun lalu, para pemuda berkumpul untuk mengadakan Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Pemiliknya seorang Tionghoa, Sie Kong Liong, yang menyewakan rumah itu kepada para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting, seperti Amir Sjarifuddin (perdana menteri), Muhammad Yamin (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan), dan Mr. Assat (pejabat presiden Republik Indonesia).
Mengingat jasanya memfasilitasi Kongres Pemuda II, Sie Kong Liong pernah diusulkan mendapatkan penghargaan. “Ada informasi tambahan dari Remy Silado (sastrawan, red.), salah satu peserta Sumpah Pemuda Jo Masdani dari Minahasa mengusulkan pada Sukarno pada 1959 supaya memberikan penghargaan pada Sie Kong Liong,” kata Didi Kwartanada, sejarawan yang menekuni sejarah Tionghoa, ketika ditemui di kantornya, Yayasan Nabil, Jakarta.
Selain Sie Kong Liong, empat pemuda peranakan Tionghoa juga menghadiri Kongres Pemuda II. Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) kelahiran Palembang. Pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) berusia belasan itu mengajak sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Mereka aktif sebagai anggota kepanduan.
Baca juga: Kisah rumah tempat lahirnya Sumpah Pemuda
Sebagai anggota kepanduan, kata Didi, selain mengajarkan keterampilan di luar ruangan, mereka juga biasanya mengajarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. “Sayangnya, mereka hanya tercatat nama saja. Bagaimana riwayatnya sekarang, keluarganya di mana belum ada yang menemukan,” ujar Didi.
Namun, menurut Didi, berdasarkan wawancara Kwee dengan Kompas 25 Oktober 1978, tak ada yang memandang aneh keterlibatan Kwee dan teman-temannya. Dia yang kemudian berganti nama menjadi Daud Budiman merasa tidak melihat ada yang kurang senang dengan adanya pemuda etnis Tionghoa.
“Keterlibatannya dalam nasionalisme Indonesia ini dipengaruhi oleh pidato H.O.S Tjokroaminoto dan Sukarno,” kata Didi.
Di luar Kongres Pemuda II, suratkabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang pertama kali memuat lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu dan notasi Indonesia Raya muncul di mingguan itu pada edisi No. 293 tanggal 10 November 1928.
Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, menyebutkan hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa, terutama Sin Po, memang sangat baik. “Bukan cuma kebetulan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang dan dibikin lagu oleh tuan Wage Rudolf Soepratman dimuat pertama kali bersama notnya dalam weekblad Sin Po.”
Baca juga: Dari Timbul lahirlah Indonesia Raya
Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia Raya melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Kendati begitu, ada juga pengusaha Tionghoa yang berani mencetak Indonesia Raya dengan terang-terangan. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya.
Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam yang menjadi primadona di kalangan terpelajar. Dia menawarkan kepada perusahaan asal Eropa dan Tio Tek Hong, pengusaha di Pasar Baru yang memiliki perusahaan rekaman, namun ditolak. Dia kemudian meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam.
Titik Tolak
Sumpah Pemuda bisa dikatakan titik tolak dari sikap Indonesia yang etnonasionalis menjadi melebur menjadi satu. Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda memisahkan masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan. Selain masyarakat Eropa, lainnya dimasukkan dalam golongan timur asing dan inlander (pribumi). Hal itu pun berdampak pada pergerakan politik masing-masing kelompok etnis.
“Jadi, memang awal abad 20 masyarakat Indonesia terbagi berdasarkan garis warna dalam masyarakat kolonial,” jelas Didi.
Hal itu bisa dilihat pada 1908 ketika Budi Utomo berdiri hanya untuk orang Jawa. Kemudian ada banyak organisasi pemuda daerah, seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Celebes, yang hanya mewakili etnis tertentu.
Baca juga: Perempuan dalam Kongres Pemuda
Menurut Didi masyarakat golongan timur asing pun tersingkir dalam orientasi politiknya. Misalnya dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan yang lahir pada 1900 sebelum Budi Utomo. “Jadi yang muncul pada awal abad 20 itu organisasi etnosentris, etnonasionalisme, bukan nasionalisme dalam arti modern, persamaan nasib, persamaan cita-cita dan sebagainya. Jadi masih sangat tersegregasi,” lanjut Didi.
Ironisnya, Didi melanjutkan, partai yang dipimpin Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), hanya menerima etnis Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hal itu pun dimasukkan dalam AD/ART partai. “Partai ini hanya menerima golongan pribumi kala itu,” tambahnya.
Menurut Didi, justru yang menjadi pelopor kesetaraan dalam organisasi politik adalah Indische Partij. Sayangnya, partai ini tak bertahan lama. Berdiri Desember 1912, partai ini sudah bubar pada 1913.
“Indische Partij itu sebenarnya embrio dari sikap Indonesia untuk keluar dari sikap etnonasionalisme. Hindia untuk orang Hindia. Siapa orang HIndia itu? Bumiputra, Tionghoa, Indo, Arab bisa jadi anggotanya,” jelas Didi.
Baca juga: Kata pemuda zaman kolonial tentang Sumpah Pemuda
Pada 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri dan terbuka dalam menerima keanggotaan. Begitu pula dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 1937 yang mengakomodasi seluruh etnis di Indonesia.
Menurut Didi, pemberontakan PKI pada 1926 membuat pemerintah kolonial makin bersikap keras. Hal ini memunculkan perasaan senasib sebagai sesama masyarakat terjajah. Hingga akhirnya melebur dalam Kongres Pemuda II.
“Sumpah Pemuda,” kata Didi, “bisa dikatakan sebagai penggorengan yang pertama. Tonggak pergerakan nasional yang ada sebelumnya belum secara inklusif merangkul seluruh etnis yang ada. Sumpah Pemuda representasi kebhinekaan Indonesia saat itu.”