RAMAI, semarak, berisik, kadang juga jenaka meski cenderung nyeleneh bahkan “ngaco” merupakan kesan yang ditinggalkan Valentino Simanjuntak kala menjadi komentator laga Bali United vs PSS Sleman di ajang Piala Menpora 2021, Senin (12/4/2021) malam di sebuah stasiun tv swasta nasional. Kosakata yang diucapkannya sering hiperbolis dan tak edukatif.
Di kanal Youtube-nya pada tahun lalu, komentator yang sohor dengan jargon “Jebret!” itu memang mengakui gayanya sengaja dibuat ramai dan “ngaco” sejak debutnya pada 2013. Semata demi hiburan.
Namun, kali ini gayanya membawakan siaran sepakbola berujung pada kemunculan kampanye #GerakanMuteMassal. Kampanye itu dipicu oleh kicauan akun resmi Twitter @BaliUtd pada Minggu (11/4/2021): “rikues besok jangan terlalu hiperbola.”
Para haters pun memanfaatkan momen untuk menggaungkan tagar #GerakanMuteMassal. Dari beragam komentar di linimasa, ada yang mengomentari Valentino sebagai komentator yang polutif, mencari sensasi semata, hingga tak edukatif.
Baca juga: Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
Sebagaimana disitat Kumparan, Senin (12/4/2021), Valentino mengakui bahwa itu merupakan kreasi gimmick dari perpaduan inisiatifnya sendiri dan permintaan industri televisi. Dia menyanggah tudingan bahwa komentar-komentarnya tak edukatif.
“Saya kan juga host yang harus mencari sensasi supaya penonton semakin banyak. Penonton yang dimaksud TV itu kan bukan hanya penonton bola, tetapi penonton di luar bola yang sekarang larinya ke (sinetron) Ikatan Cinta. Soal edukasi, saya sudah lakukan, misalnya dalam 90 menit pesepakbola rata-rata berlari 8-11 km tapi enggak ada yang merespon apa-apa. Saya keluarin semua catatan saya yang tebal banget tapi enggak ada yang diomongin orang,” ujar Valentino.
Edukatif dan Deskriptif
Edukatif dan deskriptif selalu jadi poin penting bagi setiap komentator untuk menyampaikan aksi-aksi detail sebuah pertandingan kepada audiensnya. Dengan demikian, berkomentar baik dalam laga yang ditayangkan via layar kaca maupun gelombang radio, bukan pekerjaan gampang.
“Orang-orang berpikir Anda sekadar berkomentar secara sederhana di luar kepala. Saya pastikan tidak sama sekali. Anda harus tahu bahwa itu adalah salah satu bentuk seni, itu adalah skill. Di radio, Anda harus mencari kosakata yang lebih banyak karena Anda harus deskriptif sembari mengikuti pertandingan. Tapi televisi bisa jadi tricky juga karena Anda harus melengkapi gambar yang ditonton orang dengan cara-cara tertentu. Di TV Anda harus lebih disiplin dalam seni (berkomentar) dan bisa sangat tricky untuk Anda sempurnakan,” terang komentator kawakan BBC dan kemudian Fox Sports, Simon Hill, dikutip Medium, 13 Desember 2017.
Hadirnya komentator sepakbola tak lepas dari perkembangan pesat siaran radio. Demi bisa dihayati para pendengarnya yang tak kesampaian datang langsung ke stadion, para komentator di radio mesti menggambarkan suasana dan jalannya pertandingan secara mendetail dan deskriptif. Syarat-syarat itulah yang dilakoni Kapten Henry Blythe Thornhill ‘Teddy’ Wakelam, veteran Perang Dunia I yang tercatat jadi komentator sepakbola pertama via siaran radio BBC.
Baca juga: Hakim Garis Azerbaijan Pujaan Publik Inggris
Menurut sejarawan Dick Booth dalam Talking of Sport: The Story of Radio Commentary, Wakelam adalah pemain rugby di tim Harlequin FC. Sebelum jadi komentator sepakbola, Wakelam lebih dulu jadi komentator pertandingan rugby antara Inggris kontra Wales di Stadion Twickenham, 15 Januari 1927 yang disiarkan BBC. Momen tersebut jadi momen pertama BBC meliput pertandingan rugby dilengkapi komentator, yang gagasannya datang dari bos BBC John Reith.
“Reith punya visinya sendiri tentang betapa berharganya transmisi (radio). Dia bukan pecinta olahraga, namun dia ingin BBC menyiarkan ajang-ajang besar di era kontemporer. Reith paham keunikan kualitas radio saat dia membandingkan alat-alat komunikasi lain, di mana radio bisa menjangkau langsung ke hati masyarakat di rumah masing-masing,” tulis Booth.
Menindaklanjuti gagasan Reith, produser BBC Lance Sieveking lantas mengontak Wakelam, yang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi setelah pensiun dari ketentaraan, untuk dijadikan komentator laga rubgy Inggris-Wales itu.
“Pada suatu hari di Januari, saat saya sedang mengerjakan suatu detail tender (konstruksi), datang sebuah panggilan telepon. Sosok yang belum saya kenal di ujung telepon bertanya apakah saya Wakelam yang sama yang pernah bermain untuk (tim) Harlequins, dan saya bilang: ‘Ya.’ Dia menginformasikan bahwa dia utusan dari BBC yang ingin bertemu untuk membicarakan urusan penting,” ungkap Wakelam dalam otobiografinya, Half Time: The Mike and Me.
Baca juga: Wasit Berlisensi FIFA Pertama Asal Indonesia
Saat bertemu Wakelam, Sieveking menyampaikan keinginannya agar Wakelam jadi komentator rugby untuk BBC.
“Tentu saya akan mencobanya, Pak Tua,” kata Wakelam mengiyakan permintaan Sieveking.
Sieveking kemudian menguji Wakelam dengan menjadikannya komentator sebuah pertandingan tingkat sekolah. Sieveking terkesan dengan Wakelam yang sebagai pembicara di depan mikrofon, amat natural dengan keragaman kosakata apik namun tidak “journalese” atau hiperbolis.
Wakelam pun jadi komentator radio pertama, yakni di pertandingan rugby antara Inggris kontra Wales. Wakelam hadir di Stadion Twickenham dan bekerja dari sebuah gubuk panggung kayu di bagian tenggara stadion yang mirip sarang burung. Bermodalkan buku catatan, pulpen, mikrofon, dan sebuah binokular, ia dengan lancar menyampaikan informasi jalannya pertandingan yang berkesudahan 11-9 untuk kemenangan Inggris itu.
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian I)
Dari laga rugby, BBC kemudian meminta Wakelam untuk mengomentari pertandingan sepakbola antara Arsenal kontra Sheffield United di Stadion Highbury, London, 22 Januari 1927.
“Saya ingat orang dari BBC memperingatkan agar saya tak mengeluarkan kata-kata sumpah-serapah,” imbuh Wakelam.
Tuntutan untuk selalu edukatif dan deskriptif membuat Wakelam meminjam istilah rugby dalam mengomentari pertandingan sepakbola itu. Peminjaman itu dimaksudkannya agar pendengar bisa lebih paham tentang detail permainan dan posisi bola.
“Seminggu setelah pertandingan rugby (Inggris vs Wales), Wakelam jadi komentator pertandingan sepakbola pertama di radio Inggris: Arsenal v. Sheffield. Dipercaya istilah ‘back to square one’ asalnya dari sini, karena Radio Times ikut mencetak diagram lapangan yang dibagi delapan bidang agar pendengar bisa lebih paham tentang posisi bola. ‘Back to square one’ artinya pertandingan dimulai lagi dengan tendangan gawang,” singkap Martin Kelner dalam Sit Down and Cheer: A History of Sport on TV.
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian II – Habis)
Dalam laga sepakbola itu, Wakelam tak sendirian jadi komentator di “sarang burung”. Ia ditemani Cecil Arthur Lewis, veteran Perang Dunia I berpangkat mayor Udara yang kemudian menjadi penulis merangkap produser untuk BBC.
“Perannya (Lewis) di laga Arsenal lebih kepada sebagai cameo. Dia bertindak sebagai penanggap nomor dua yang menyampaikan posisi bola ada di bidang nomor berapa,” kata Roger Domeneghetti dalam From the Back Page to the Front Room.
Setelah itu Wakelam makin laris diminta jadi komentator sepakbola. Termasuk di laga puncak FA Cup yang mempertemukan Cardiff City kontra Arsenal di Stadion Wembley, 23 April 1927.
Baca juga: Bola-Bola Piala Dunia (Bagian I)
Hanya saja, pihak yang kontra terhadap makin meluasnya penyiaran dan maraknya komentator sepakbola tetap ada. Hingga awal 1931, lebih dari 100 laga Football League sudah di-cover BBC lengkap dengan para komentatornya.
Hal itu turut berimbas pada pemasukan klub yang memburuk sejak diterpa Depresi Ekonomi 1930. Pendapatan klub dari tiket menukik tajam. Publik yang biasanya memadati stadion, memilih berhemat dengan menikmati pertandingan via radio.
Akibatnya, sejumlah petinggi klub menekan Football League untuk melarang ratusan laga sepakbola disiarkan BBC. Larangan ini baru dicabut pasca-Perang Dunia II. Bersamaan dengan pencabutan larangan ini, komentator sepakbola kembali jadi penyambung lidah tak hanya via radio melainkan juga televisi di seluruh dunia.
Di Indonesia, kemunculan komentator sepakbola secara masif berjalan seiring dengan menjamurnya stasiun tv swasta pada awal 1990-an yang membeli hak siar laga-laga sepakbola nasional maupun liga-liga Eropa. Komentator merangkap presenter yang memandu jalannya pertandingan pun bermunculan. Mulai dari Sambas Mangundikarta, Andi Darussalam Tabussala, Rayana Djakasurya, Edi Sofyan hingga generasi selanjutnya macam Ricky Johanes dan M. Kusnaeni, dan generasi Valentino Simanjuntak si “Jebret” yang juga diramaikan Hadi Gunawan dengan jargon “Ahay”-nya.
Perubahan gaya gimmick komentator menjadi lebih kreatif sekaligus menghibur, diakui Valentino, tak lepas dari permintaan stasiun TV.
“I’m not born with this, but I made by and created, ini semua hingga menjadi sebuah tampilan. Saya pikir bukan hanya karena kebutuhan pihak TV, itu hanya salah satu tetapi lebih kepada pemirsa bola kok lagi adem aja ya? Kok bola ini enggak jadi bahan pembicaraan asyik masyarakat. Kalau bawakan kayak zaman 90-an, bisa. Saya akan bawakan juga dengan gaya begitu, why not? Karena saya muncul tahun 2013 dengan gaya begini pun itu kan transformasi dari gaya saya sebelumnya yang tidak begini,” pungkasnya.
Baca juga: Bola-Bola Piala Dunia (Bagian II – Habis)