SEJAK menduduki jabatan sebagai CEO PSM Makassar pada 2016, Munafri Arifuddin alias Appi menelurkan sejumlah gebrakan. Ia punya visi yang terang soal bagaimana sepakbola modern dikelola. Hal itu dia ungkapkan secara bernas pada Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai kemenangan timnya atas Arema FC pada laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu, 16 Oktober 2019.
Pria kelahiran Majene (kini Sulawesi Barat) 44 tahun lampau itu punya visi untuk tidak hanya membawa PSM kembali disegani di persepakbolaan Indonesia, namun juga kancah internasional.
“Ini tim yang punya nama besar. Tim yang sangat legendaris, didukung oleh suporter yang begitu fanatik dan punya cerita panjang dalam persepakbolaan. Makanya jadi tantangan buat saya bagaimana membawa PSM kembali ke level yang harus disegani dan memberikan prestasi,” imbuhnya.
Pasang-Surut Juku Eja
Klub yang baru berdirgahayu ke-104 pada 2 November lalu itu terakhir mencicipi gelar hampir dua dasawarsa lewat, yakni juara Liga Indonesia VI (1999-2000). Juara liga itu jadi yang keenam buat PSM setelah bernaung di bawah PSSI sejak 1951. Sebelumnya, PSM jadi kampiun Perserikatan pada musim 1956-1957, 1957-1959, 1964-1965, dan 1991-1992.
Hingga sekarang, prestasi 19 tahun lalu itu belum bisa diulangi tim berjuluk “Juku Eja” itu. Padahal, sejak 1991 PSM sudah ditopang sederet pengusaha. Artinya, dari segi finansial PSM tak punya masalah lantaran juga masih mendapat suntikan APBD.
Baca juga: Persija dan PSMS Berbagi Trofi Juara
Saat juara liga terakhir itu, PSM dipegang pengusaha agen perjalanan dan umrah Ande Latief. Kala itu, PSM disebutkan bisa juara karena beruntung lantaran lolos ke putaran enam besar hanya lewat keunggulan selisih gol. Keunggulan itu didapat setelah Persegres Gresik kalah 0-1 dari Persema Malang. Kompas 1 Maret 1992 menggambarkan kemenangan PSM atas PSMS Medan di final kompetisi Perserikatan 1991/1992 itu sebagai “foto kopi sebuah keberhasilan patriotisme atas idealisme.”
“Persib Bandung yang secara teknik lebih unggul disingkirkan di semifinal. Kemudian Medan yang memilih bermain cantik dan menghilangkan ciri khas permainan kerasnya, disikat pula. Keduanya, Persib dan PSMS, dihantam PSM dengan skor yang sama 2-1,” ungkap Kompas.
Meski tetap berlayar dengan gagah hingga partai puncak Perserikatan 1993, PSM dikaramkan Persib 0-2. Memasuki 1994, PSM dipegang Nurdin Halid. Untuk mengembangkan layar PSM di Liga Indonesia 1995, Nurdin menghadiahi tiga pemain asing: Marcio Novo, Jacksen F. Tiago, dan Luciano Leandro. Hasilnya? Tidak sesuai harapan.
Harapan besar sempat muncul di musim 1997-1998. Namun sial, huru-hara Mei 1998 mengguncang negeri. “Ketika itu kita ada di posisi pertama (Divisi Timur). Tapi kompetisi stop karena ada masalah (kerusuhan) 1998 itu,” kenang Luciano.
Baca juga: Luciano Leandro Melabuhkan Cinta di Makassar
Sementara di pentas Asia, PSM yang ikut Piala Winners Asia 1997/1998 babak belur. Bahkan, mengalami kekalahan terburuk dibantai wakil Korea Selatan Suwon Samsung Bluewings 12 gol tanpa balas.
Setelah kondisi negeri pulih dan kompetisi bergulir, di musim 1999/2000 PSM melaju kencang. PSM yang kala itu diperkuat banyak pemain timnas, tak terbendung.
Selain juara, hebatnya PSM hanya dua kali kalah dari total 31 laga yang dimainkan sejak babak penyisihan Wilayah Timur hingga final. Masa keemasan PSM itu mencapai klimaks dengan menjuarai Ho Chi Minh City Cup 2001. Di final, laskar ayam jantan dari Timur itu mengandaskan tim tuan rumah, Ho Chi Minh XI, 1-0.
Baca juga: Persipura Mengalah di Vietnam
Di Liga Champions Asia 2001, PSM berhasil mencapai babak perempatfinal. Sebetulnya, PSM punya kesempatan mentas lagi Champions Asia 2004 sebagai runner-up Liga Indonesia. Namun, manajemen klub memilih menolak kesempatan itu karena alasan finansial.
“Padahal PSM tak perlu melalui kualifikasi, langsung masuk babak penyisihan grup yang diikuti 32 klub elit Asia. PSM mengaku pihaknya dilanda kesulitan finansial. Sponsor utama tim, PT Semen Bosowa, mengurangi jatah pendanaan PSM. Mungkin menurut pemikiran PSM turun di Asia adalah sesuatu yang sia-sia, sekadar formalitas,” ungkap Eko Nurhuda dalam Sepakbola Itu Lucu: Kumpulan Kejadian-Kejadian Menggelikan dalam Sepakbola.
Kala itu PSM baru setahun dipegang Bosowa Corp. sebagai sponsor utama, menggantikan Reza Ali. Kebijakan pengurangan dana oleh manajemen tak hanya membuat PSM gagal ikut Liga Champions Asia, tapi juga menunggak gaji pemain beberapa bulan.
PSSI turun tangan. PSM “dipaksa” tetap tampil. Akibatnya, PSM “setengah hati” dengan menurunkan tim kelas duanya di event itu. Alhasil, PSM jadi juru kunci Grup F di bawah Krung Thai Bank (Thailand), Hoang Anh Gia Lai (Vietnam), dan Dalian Shide (Cina).
Di Bawah Panji Bosowa
Seiring keluarnya kebijakan bahwa klub tak lagi disuntik dana APBD untuk tata kelola klub yang lebih baik, PSSI mempersyaratkan agar klub peserta Liga Super Indonesia 2008 harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Aturan itu mendorong PSM per 2008 membentuk (PT).
Mengutip Antara, 27 Januari 2008, pembahasannya digodok sebuah forum bernama “Tim Lima” yang berisi sejumlah pengusaha dan pejabat daerah. Mulanya ada tiga opsi untuk pengelola PSM, yakni perusahaan daerah, yayasan, atau PT.
“Kami memilih PT sekaligus mengadopsi pengelolaan klub-klub profesional di Liga Eropa yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi PSM pada setiap pergantian musim kompetisi,” tutur Ketua Harian PSM Kadir Halid. Lantas disepakati, PT dengan modal awal Rp10 miliar dari KONI Makassar itu dinamakan PT Paggalona Sulawesi Mandiri (PT PSM).
Baca juga: PSM Makassar dalam Anging Sejarah
Namun, carut-marut kondisi persepakbolaan nasional yang bersumber dari kisruh di tubuh PSSI membuat PSM membelot dari Liga Super. PSM memilih ikut ke kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia (LPI). Alasannya PSM hanya ingin berlaga di kompetisi yang lebih bersih dan profesional.
Meski sejak 2005 diponsori PT Semen Bosowa (Bosowa Corp.), manajemen PSM baru benar-benar dipegang perusahaan raksasa Sulawesi Selatan itu 10 dekade berselang. Tepatnya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) klub, 23 Januari 2015. Bosowa melalui Bosowa Sport Indonesia mengambilalih saham mayoritas PT PSM, 51 persen, sekaligus mengubah susunan dewan komisaris dengan mengisi sejumlah petinggi Bosowa seperti Sadikin Aksa, Solihin J. Jalla, dan Andi Suruji.
Posisi CEO kala itu masih dipegang Rully Habibie. Orang Bosowa, Munafri Arifuddin, baru menggantikannya pada RUPS 29 Januari 2016.
Tugas berat langsung menanti Appi. Kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC), kompetisi pengganti yang diadakan karena PSSI tengah disanksi FIFA, jadi yang pertama. Setelah itu, dia mesti membenahi klub agar memenuhi persyaratan standar internasional.
“Setelah liga diadakan lagi habis tak lagi disanksi FIFA, kami berhasil dapat jatah Asia lagi. Tapi saat itu seluruh aspek yang menyangkut Club Licensing AFC kami di-reject. Dari pelajaran itu kami mendapat gambaran yang jelas, seperti apa seharusnya tatanan pengelolaan sepakbola yang benar,” terang Appi.
Ada sekitar enam pilar pembangunan yang digulirkan Appi. Antara lain, akademi muda, pembinaan sepakbola putri, dan pembenahan stadion. Untuk itulah klub rela merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk memasang sendiri rumput dan lampu penerangan berstandar internasional.
Di tahun keduanya, Appi mengganti nama PT dan logo klub. “Saya mencoba merombak tim dan manajemen. Di tahun kedua, setelah melalui banyak diskusi hingga perdebatan dengan para senior dan pemain-pemain legenda PSM, saya melakukan perubahan yang revolusioner. Saya mengganti nama PT (Paggolona Sulawesi Mandiri menjadi Persaudaraan Sepakbola Makassar),” tambah Appi.
Sejak 1959, PSM memakai logo Pemerintah Kota Makassar. Logo baru dibuat agar, menurut Appi, membawa PSM keluar dari kesan milik pemda. Hanya gambar kapal phinisi dan warna merah yang masih dipertahankan dalam logo baru itu. Logo baru itu sendiri merupakan penyempurnaan dari logo pemenang sayembara yang diadakan manajemen pada 2015.
Dengan sejumlah gebrakan itu, Appi berharap PSM bisa menyemai prestasi yang lebih bergengsi ketimbang Piala Indonesia pada Agustus 2019. Di bawah Appi, PSM berhasil menuntaskan puasa gelar 19 tahunnya dengan menjuarai Piala Indonesia pada 6 Agustus lalu di Stadion Andi Mattalatta. PSM menang 2-0 atas Persija di final leg kedua, sekaligus memutar agregat 2-1 setelah di leg pertama di Jakarta kalah 0-1.
Baca juga: Persija dari Masa ke Masa
Prestasi itu jelas baru awal dari jalan panjang yang mesti dilalui PSM. Butuh modal besar, tekad kuat, dan waktu yang panjang untuk bisa memapankan diri dalam industri sepakbola modern.
“Saya cuma mau membangun kembali kekuatan sepakbola, menata kembali sistem sepakbola yang lebih profesional. Kalau tidak dimulai, itu tidak akan pernah bergerak dari pakemnya, tetap ada di bottom. Harus digerakkan. Kalaupun rugi mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun. Pada suatu saat nanti, kalau nanti, di ujungnya akan menjadi industri sepakbola yang baik,” ujar Appi.
Appi mencontohkan, Bali United sudah melalui proses semestinya sebagai sebuah klub dalam industri sepakbola modern. “Klub asal Pulau Dewata itu mencatatkan diri sebagai klub sepakbola pertama yang turun ke lantai bursa saham. Artinya ada harapan besar terhadap sepakbola di Indonesia.”