Masuk Daftar
My Getplus

Melabuhkan Cinta di Makassar

Makassar jadi kota pertama Luciano Leandro mengadu nasib di luar negeri. Jatuh hatinya dia buktikan dengan membuka Hotel Makassar di kampung halamannya.

Oleh: Randy Wirayudha | 18 Okt 2019
Luciano Gomes Leandro membuktikan kecintaannya pada Makassar dengan mendirikan "Hotel Makassar" di kampung halamannya, Macaé, Rio de Janeiro (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

KETIKA mengingat Kota Makassar, Luciano Leandro sesekali terdiam sebelum bertutur. Ia mesti memilih momen saking banyaknya pengalaman berkesan di kota terbesar Indonesia Timur itu.

Makassar merupakan kota pertama dari kiprahnya dalam persepakbolaan Indonesia. Ia merantau dari Brasil ke Indonesia pada 1995, dibawa agen bola Angel Ionita. PSM Makassar jadi klub pertamanya bareng sesama jogador (pesepakbola) senegaranya, Marcio Novo.

Sebelum itu, ia tak kenal Indonesia apalagi Makassar. Ia sempat mengalami culture shock. “Karena sesuatu yang baru, friend. Semua beda. Lain juga kita melihat sesuatu yang belum pernah lihat di hidup kita. Aku di Brasil, hidup kita lain. Waktu datang ke sini kita kaget karena ada beberapa hal lain yang kita hidup di Brasil, itu beda,” kata Luciano mengenang.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Luciano Leandro Adu Nasib Lintas Benua

Perbedaan di luar lapangan, misalnya. Kendala bahasa membuatnya tidak mudah berbaur dengan para pemain lokal. Belajar bahasa Indonesia pun otodidak. Tak jarang ia mesti mengalihbahasakan maksudnya dengan bahasa “Tarzan”.

“Ya komunikasi sama pemain-pemain dengan (isyarat) apa saja yang bisa kita bikin untuk mereka bisa mengerti. Misalnya soal makan. Saya suka seafood. Tapi di Makassar selalu (makan) ikan…ikan. Saya ingin makan ayam. Tapi untuk saya bicara, aku harus begini…’Hey, ini’,” cetusnya sambil memeragakan gestur ayam yang diingatnya saat itu, bikin rekan-rekan setimnya ngakak berjamaah.

Luciano Gomes Leandro belajar bahasa Indonesia secara otodidak (Foto: Fernando Randy/HISTORIA)

Di lapangan, ia juga kaget soal banyak hal. Mulai dari permainan keras menjurus kasar pemain lokal tim lawan, hingga kelakuan barbar suporter. Utamanya suporter tim lawan.

“Awalnya saya merasa pertandingan di sini terlalu berat. Kadang-kadang kasar. Kalau main di tempat lawan sulit sekali ke mana-mana. Gara-gara penonton (brutal),” lanjutnya.

Baca juga: Prahara 1998 Bikin Kacau Sepakbola

Hal serupa juga masih dirasakannya kala pindah ke Persija Jakarta pada 2000. Sebelum ke Persija, ia sempat pulang ke Brasil dari Makassar pada 1998 gara-gara terjadi huru-hara Mei 1998 yang berimbas ke sepakbola nasional musim 1997-1998.

“Padahal saat itu kita ada di posisi satu (Divisi Timur). Tapi distop gara-gara ada masalah (kerusuhan) 1998. Kita tetap harus selesaikan kontrak, baru setelah itu aku pulang ke Brasil,” kata Luci, sapaan akrab Luciano.

Bukti Cinta pada Makassar

Saat di Brasil, Luci tak mengetahui masa depannya dalam persepakbolaan Indonesia sampai sesuatu yang tak diduganya ujug-ujug menghampiri. “Waktu 1999 ada telefon dari Persija, dari ibu Diza Rasyid Ali, menawarkan apakah saya mau main di Persija, di Jakarta,” sambungnya.

Luci menerima tawaran itu. Mulai tahun 2000, ia berkostum Persija. Sekalipun begitu, Makassar tetap terpatri di hatinya. Selain karena PSM Makassar klub perdananya di Indonesia, ia takkan pernah lupa sambutan hangat masyarakat kota itu kala pertamakali berkiprah.

“Dengan suporter Makassar, semua baik. Saya senang melihat dukungan di sana, friend. Saya pun menikah di sana dengan pacar saya, Denise Miranda. Anak saya yang pertama, Jasmine, lahir di sana. Apa saja masyarakat Makassar lakukan bantu ikut. Saya melihat di Makassar seperti di dalam keluarga besar,” tambahnya.

Baca juga: Persija dari Masa ke Masa

Masyarakat Makassar menerima Luci tak hanya karena Luci rendah hati dan hangat. Menurut Mustafa Amri, sekjen The Macz Man (suporter PSM Makassar), keramahan suporter Makassar disebabkan oleh performa apik Luci di lapangan.

“Saya pernah bicara sama dia. Dia bilang yang tak bisa dilupakan adalah keramahan orang Makassar. Pernah ada penjual buah di Mappanyuki, saat dia (Luci) lewat, tiba-tiba disodori buah. Andai jalan lagi macet, pasti ada saja yang buka jalan buat dia,” ujar Mustafa kepada Historia.

Hotel Makassar milik Luciano Leandro di Macae, Rio de Janeiro (Foto: Facebook Hotel Makassar Macae)

Kecintaan Luci pada Makassar lantas dibuktikannya dengan menamakan hotelnya di Macaé, Rio de Janeiro, Brasil dengan Hotel Makassar. “Jadi waktu saya pulang ke Brasil, saya bikin hotel di sana. Saya rasa harus terimakasih pada Kota Makassar, apa saja yang saya dapat di sana. Saya mulai bisnis hotel itu tahun 2003,” tutur Luci.

Tidak hanya menamai Hotel Makassar, Luci juga banyak menghiasi interior hotelnya dengan foto-foto dan ornamen-ornamen berbau Makassar. Tak lupa, ia memajang kostum Makassar yang pernah dikenakannya selama sepakterjangnya di PSM.

Mustafa turut angkat jempol buat bukti kecintaan Luci pada Makassar meski Luci pernah gagal melatih PSM Makassar pada 2016.

“Itulah. Kayaknya sudah sebagian diri dia terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau Makassar. Dia buktikan kata-kata bahwa dia tak bisa lupa Makassar. Sayang saat jadi pelatih gagal. Tapi enggak bakalan terhapus kenangannya. Saat jadi pemain, dia tetap diakui legenda oleh orang Makassar,” pungkas Mustafa.

TAG

psm-makassar brasil

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Perlawanan Dandara Garrincha dari Pabrik Tekstil ke Pentas Dunia Pasukan Ekspedisi Brasil Datang, Jerman Lari Tunggang Langgang Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé Dinho Oh Dinho... Eksotiknya Akar Sejarah Karnaval Rio Mimpi Juara Luciano Leandro Diraih di Ibukota PSM Makassar, Wajah Sepakbola Indonesia Timur Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar