TAHUN 1959 adalah tahun terberat bagi Raden Said Soekanto dalam kedudukannya sebagai Menteri Muda/Kepala Kepolisian Negara. Kepentingan partai politik menyusup di antara perwira-perwira polisi.
Salah satunya AKBP Soetarto, kepala Bagian Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Komisariat Jawa Tengah yang bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Soetarto pula, sebagai ketua umum Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), yang mendesak Soekanto untuk mengadakan konferensi kepala-kepala polisi seluruh provinsi di Indonesia.
Menanggapi desakan itu, Soekanto menghelat Konferensi Dinas Kepolisian Negara pada 19-20 Oktober 1959. Dalam Konferensi, Soekanto menjelaskan dasar pelaksanaan Dekrit Presiden dan perlunya herordering (penataan ulang) dan retooling (pembersihan) di lapangan organisasi, pelaksanaan tugas, cara bekerja, dan orang-orangnya dengan menentukan syarat-syarat tertentu.
Di tengah Konferensi, tiba-tiba Soetarto dan kawan-kawannya mengajukan mosi tidak percaya kepada Soekanto. Tujuannya agar Soekanto mengundurkan diri.
Baca juga: Soekanto Anak Pandu Jadi Polisi
Komisaris Besar Polisi Moehammad Jasin yang memimpin Korps Mobile Brigade (Mobrig) bereaksi keras. Dia menolak mosi itu dan menyatakan tetap mendukung Soekanto. Sikap ini diikuti kepala-kepala polisi provinsi lainnya.
“Dengan demikian, usaha Soetarto untuk menjatuhkan Soekanto dari jabatannya gagal,” kata Jasin dalam memoarnya Sang Polisi Pejuang.
Konferensi menghasilkan Manifest Kepolisian untuk menindaklanjuti pelaksanaan Manipol di Kepolisian. Sebagai tindak lanjut dibentuklah Tim Perencana Manifes Kepolisian atau lebih dikenal sebagai Tim Sepuluh yang dipimpin Komisaris Besar Polisi I Soekarno Djojonagoro, kepala polisi Komisariat Jawa Timur.
“Soekanto membentuk Tim Sepuluh untuk menyeleksi pejabat mana yang bisa menyesuaikan dengan derap revolusi ala Bung Karno. Namun, keputusan terakhir tetap di tangan Soekanto,” kata sejarawan Ambar Wulan kepada Historia.
Upaya Melengserkan
Menurut Muradi dalam Politics and Governance in Indonesia: The Police in the Era Reformasi, tugas Tim Sepuluh mendiskusikan lima isu utama: status Kepolisian, kebijakan keamanan, promosi dan pemecatan di tubuh Kepolisian, sistem pendidikan Kepolisian, dan pengawasan terhadap korupsi. “Diskusi berjalan dengan baik sampai muncul masalah ketika Tim Sepuluh mengusulkan tiga anggotanya... ditunjuk untuk posisi penting di Kepolisian,” tulis Muradi.
Tim Sepuluh merekomendasikan tiga nama untuk menjadi pejabat teras polisi: Komisaris Besar Polisi I Soelaiman Effendi (Kepala Bagian DRK Direktorat Kepolisian Negara), Komisaris Besar Polisi I Jen Mohammad Soerjopranoto (Kepala Polisi Komisariat Jakarta), dan Soekarno Djojonagoro. Sementara Soekanto punya pikiran lain dan memilih Soekarno Djojonagoro, M. Jasin, dan Komisaris Besar Polisi I R. Saleh Sastranegara.
Muradi menyebut ada tiga motiif utama yang mendasari perbedaan pendapat itu: profesional, personal, dan politik. Pertama, sejumlah anggota Tim Sepuluh ingin kepemimpinan baru, termasuk mengganti orang-orang yang mendapat didikan Belanda dan memegang posisi senior selama beberapa tahun. Kedua, ada perwira-perwira tinggi yang punya ambisi pribadi untuk menggantikan Soekanto sebagai kepala polisi. Ketiga, sejumlah anggota Tim Sepuluh disetir PKI dan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang tak suka Soekanto karena kedekatannya dengan elit-elit Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Baca juga: Sebelum Soekanto Jadi Kepala Polisi
Karena keputusan berada di tangannya, Soekanto menolak rekomendasi Tim Sepuluh. Konflik internal pun kian meruncing.
Pada 23 November 1959, Komisariat Polisi Jakarta Raya melayangkan surat pernyataan kepada Soekanto, dengan tembusan kepada Ketua Tim Sepuluh Soekarno Djojonagoro. Isinya, mendesak agar konsepsi Tim Sepuluh dilaksanakan. Jika tidak, Kepolisian Jakarta Raya dan sekitarnya mendesak Tim Sepuluh untuk menyerahkan persoalan ini kepada Presiden Sukarno. Surat pernyataan ini ditandatangani oleh semua kepala bagian, kepala dinas, kepala seksi, tapi tanpa Jen Mohammad. Soekanto tak menggubris surat itu.
“Tim Sepuluh mengancam terkait keputusan ada di tangan Soekanto. Sukanto tidak takut, sebab ini urusan internal organisasi polisi,” kata Ambar.
Jalan lain ditempuh. Selain melayangkan surat pernyataan itu, Soetarto bersama enam perwira polisi, yaitu Enoch Danoebrata, Soemeru, Soeparto, Soekandar, Soetjipto Danoekoesoemo, dan Poerwata, menghadap Menko Hankam/KSAB Jenderal TNI A.H. Nasution. Mereka meminta agar Soekanto diganti.
“Soekanto mengetahui nama-nama perwira yang menghadap Nasution setelah menerima telepon dari Nasution,” kata Ambar.
Baca juga: Soekanto Kepala Polisi Era Revolusi
Nasution menyarankan agar menyelesaikan masalah itu di internal kepolisian. Namun, alih-alih melaksanakan saran Nasution, ketujuh perwira itu menghadap Presiden Sukarno. Kepada presiden, Soetjipto Danoekoesoemo, komandan Brimob Komisariat Polisi Jawa Tengah, menyampaikan retooling perlu dilakukan terhadap pejabat kepolisian produk pendidikan Belanda. Selain itu, ada ketidakpuasan dari berbagai pihak terhadap sikap Kepolisian yang dinilai tak tegas ketika menghadapi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat pada Februari 1958.
Soekanto tak tinggal diam. Dia memanggil ketujuh perwira yang menghadap Nasution dan Sukarno, tapi tak satu pun yang datang.
Pada 13 Desember 1959, Soekanto dipanggil presiden ke Istana Bogor. Dia datang ditemani M. Jasin dan Soebroto Brotodiredjo, Sekretaris Departemen Kepolisian. Dalam pembicaraan empat mata, presiden menjelaskan maksud kedatangan ketujuh perwira polisi tentang pergantian kepemimpinan dalam tubuh Kepolisian. Presiden juga meminta Soekanto tak mengambil tindakan terhadap tujuh perwira itu.
Soekanto tetap pada pendiriannya; ketujuh perwira itu melanggar disiplin organisasi. Sore harinya, sekembalinya dari Istana Bogor, dia memerintahkan Soebroto Brotodiredjo untuk mengeluarkan surat skorsing kepada tujuh perwira itu. Lalu, keesokan harinya, dalam pidato di RRI, Soekanto menyebut adanya kelompok kecil pejabat Kepolisian yang tidak tertib, berusaha menghentikan Manifes Kepolisian, dan menanamkan benih-benih ketidakpuaan terhadap Kepolisian Negara.
Baca juga: Soekanto Peletak Dasar Institusi Polri
Presiden bereaksi atas tindakan Soekanto yang dianggap melanggar perintahnya.
Pada pagi hari, 15 Desember 1959, Brigjen Moh. Sabur, ajudan presiden, datang membawa surat skorsing terhadap Soekanto. Soekanto tak menduga sama sekali.
“Soekanto mensinyalir komunis ikut mendalangi semua itu melalui beberapa oknum polisi di Kepolisian,” tulis Awaloedin dan Ambar dalam biografi Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Sebagai gantinya, presiden menunjuk Soekarno Djojonagoro, “seorang tokoh kepolisian yang disenangi oleh PKI,” tulis Jasin. “Ia adalah keponakan Soetarto, sekjen BPI pimpinan Dr. Soebandrio, waperdam I.” BPI singkatan dari Badan Pusat Intelijen.
Dalih Pencopotan
Apa yang melatarbelakangi keputusan presiden melengserkan Soekanto?
Ketujuh perwira polisi menyoal ketidaktegaskan Soekanto dalam menghadapi PRRI. Bahkan muncul isu Soekanto ikut dalam salah satu rapat persiapan PRRI. “Isu itu dari Harian Rakjat milik PKI, karena Soekanto sangat anti-PKI sehingga menimbulkan sentiment PKI terhadap Kepolisian khususnya Soekanto,” kata Ambar.
Isu PRRI dibawa-bawa karena mendapat perhatian presiden. Untuk melancarkan operasi penumpasan PRRI, Sukarno ingin mengintegrasikan tentara dan Kepolisian di bawah satu wadah. Rencana ini ditolak Soekanto. Bahkan, tulis sejarawan Jeremy Kuzmarov dalam Modernizing Repression: Police Training and Nation Building in the American, “Soekanto membangkitkan kecurigaan Sukarno ketika dia menolak meminjamkan kapal-kapal laut untuk tentara Indonesia yang dimobilisasi di bawah Jenderal A.H. Nasution untuk menumpas pemberontakan.”
PRRI juga menjadi persoalan internal Kepolisian. Sejumlah perwira terlibat. Untuk itu, sebagai dikisahkan Hoegeng Imam Santoso dalam otobiografinya Polisi Idaman dan Kenyataan, Soekanto memerintahkan kepada Wakapolda Sumatra Utara (Sumut) Kombes Tahya untuk menangkap Kapolda Sumut Kombes Mohamad Insa, Kepala DKPN Polda Sumut, dan Komando Brimob karena terlibat dalam PRRI.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata ke Amerika
Hoegeng sendiri terkena imbasnya. Pada 1960, alih-alih diangkat sebagai direktur Reskrim Polda Metro Jakarta, dia “diparkir” di Direktorat II Markas Besar Kepolisian dan tak diberi tugas apa-apa oleh Kapolri yang baru Soekarno Djojonegoro. Belakangan Hoegeng tahu alasannya: dia dianggap bagian dari PSI, partai yang dibubarkan presiden karena dianggap mendalangi PRRI.
Ada alasan lain di balik pencopotan Soekanto. Menurut Ambar dan Awaloedin Djamin menyebut Soekanto menentang Nasakom karena PKI telah memberontak di Madiun pada 1948. Selain itu, Hadidjah Lena Mokoginta, istri Soekanto, sebagai tokoh Bhayangkari ikut demonstrasi menentang perkawinan Sukarno dan Hartini pada Juli 1953.
Hoegeng menyebut penyebab lain: “Para perwira tinggi polisi melihat Soekanto lebih mementingkan kebatinan daripada urusan kepolisian.” Dalam upaya menjatuhkan Soekanto, Hoegeng bilang dia “tidak terlibat, tidak dilibatkan dan tidak melibatkan diri di dalamnya.”
Selain kebatinan, Soekanto disebut bergabung dengan gerakan Freemason, bahkan diangkat menjadi Suhu Agung Loji Timur Agung. Laku kebatinan Soekanto dapat dilihat dari Pataka Polri, bendera lambang Polri.
M. Jasin termasuk yang kecewa dengan pencopotan Soekanto. Makanya, ketika dia dipanggil presiden dan diangkay sebagai wakil Soekarno Djojonagoro, Jasin menolak.
“Saya berterima kasih atas kepercayaan Bung Karno kadap saya, tetapi saya lebih baik dikembalikan ke daerah jika Bung Karno mengangkat Soekarno Djojonagoro sebagai pemimpin Kepolisian Negara karena dia diarahkan oleh PKI,” kata Jasin yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 2015.
Baca juga: Soekanto Meminta Bantuan Amerika untuk Polri
Bahkan, Jasin meminta kepada Sukarno meninjau kembali pengangkatan Soekarno Djojonagoro. “Siapa saja yang Bung Karno inginkan untuk jabatan itu saya tidak keberatan asal figur bersangkutan tidak ada sangkut pautnya dengan PKI,” kata Jasin.
Jasin juga memohon kepada Sukarno agar membatalkan pemberhentian secara tidak hormat terhadap Soekanto. “Jika Bung Karno tidak menyukai beliau, hendaknya dipensiunkan, dilepas dengan upacara militer. Bagaimanpun kekurangan pribadinya, kita tahu, dia sangat berjasa bagi Negara dan bangsa,” kata Jasin.
Sukarno bergeming dan tetap pada keputusannya. Akibat menolak permintaan Sukarno, Jasin ditempatkan sebagai minister counselor pada Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Jerman Barat.
Menjadi Sipil
Pada 16 Desember 1959, Soekanto terakhir kali masuk kantor. Dia memilih-milih bukunya untuk dibawa pulang dan memeriksa dana yang ada di kas Kepala Kepolisian Negara. Sorenya, Komisaris Polisi I Katik Soeroso yang diutus AH Nasution datang menyampaikan pesan bahwa serah terima Kepala Kepolisian Negara akan dilaksanakan esok hari, 17 Desember 1959. Soekanto menolak serah terima jabatan karena bukan Kepala Kepolisian Negara lagi. Katik membujuk Soekanto dan berjanji akan menjemputnya.
Pada 17 Desember 1959, ketika menjemput, Katik kaget melihat Soekanto memakai pakaian sipil. Soekanto tidak memakai pakaian polisi karena merasa telah diberhentikan tidak hormat oleh presiden. Tanpa sepatah kata pun, mereka dengan seorang sopir, berangkat menuju gedung Departemen Kepolisian Negara.
“Saya mengantar ke acara serah terima jabatan. Dia pakai baju sipil karena menganggap sudah menjadi seorang sipil,” kata Supardi, keponakan Soekanto, kepada Historia.
Baca juga: Jejak Langkah Kapolri Pertama
Di pintu masuk, M. Jasin siap mengantar menuju tempat pelaksanaan serah terima jabatan. Soekanto tidak mau menandatangani berita acara serah terima jabatan karena masih tertera Menteri Muda Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara. Dia ingin ditambahi tulisan “bekas”. Nasution memaklumi keinginan Soekanto. Soebroto Brotodiredjo membubuhkan kata “bekas” pada tulisan Menteri Muda Kepolisian/Kepala Kepolisian Negara.
Setelah menandatangi berita acara serah terima jabatan, Soekanto memberikan sambutan singkat: “teguhkan dalam iman, dan bangunkan kembali Korps Kepolisian seperti sedia kala.”