Masuk Daftar
My Getplus

Bantuan Paman Sam untuk Polri

Dengan bantuan dari pemerintah Amerika Serikat, dan juga CIA, Soekanto bisa membangun Kepolisian Nasional yang kuat dan profesional. Siap menghadapi kaum komunis.

Oleh: Budi Setiyono | 04 Jul 2019
Angkatan pertama anggota Polri yang akan berangkat tugas belajar ke Michigan State Police di Amerika Serikat berfoto bersama Kapolri Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dalam rangka berpamitan, 1950. (Repro biografi Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo).

PERTENGAHAN Januari 1950. Said Soekanto, kepala Djawatan Kepolisian Nasional (DKN), menemui Merle Cochran, duta besar Amerika untuk Indonesia. Selain menyinggung peralatan-peralatan yang akan diajukan ke pemerintah Amerika sebagai bagian dari bantuan $5 juta bagi kepolisian Indonesia, Soekanto menanyakan kemungkinan pengembangan pelatihan serta beberapa isu lainnya.

Pertemuan dengan Soekanto dibahas Cochran dalam telegramnya kepada Menteri Luar Negeri Dean Acheson, 18 Januari 1950. Soal pengembangan pelatihan bagi polisi, Cochran menjawab ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan konsultasikan dengan Acheon.

Soekanto menanyakan apakah Amerika bisa mengirim tiga atau empat instruktur berkualifikasi tinggi ke Jakarta untuk mengampu kelas polisi. Cochran menganggap lebih baik meneruskan kebijakan untuk melatih beberapa orang Indonesia di Amerika.

Advertising
Advertising

Karena adanya prospek pendirian misi Uni Soviet dan Tiongkok di Indonesia, Soekanto bertanya apakah pemerintah Amerika bisa memberikan seseorang untuk menasihatinya tentang taktik komunis. Cochran menjawab, Jacob D. Beam dan Arturo Campbell, keduanya bekerja di konsulat jenderal Amerika di Jakarta, bisa diajak bicara kapanpun.

Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata

Campbell, yang juga seorang agen Badan Intelijen Amerika (CIA) bukanlah sosok asing bagi Soekanto. Campbell pula yang berperan dalam pengiriman sejumlah perwira Mobile Brigade (Mobrig) ke Amerika untuk mendapat pelatihan. Adakah Soekanto kemudian bicara dengan Beam maupun Campbell? Belum jelas. Namun, pada April 1950, Letkol Louis E. Kubler, seorang agen CIA, tiba di Jakarta dan dipekerjakan sebagai penasihat teknis DKN.

Menurut sejarawan Jeremy Kuzmarov dalam Modernizing Repression: Police Training and Nation-building in the American Century, Kubler memiliki pengalaman sebagai spesialis balistik dan bahan peledak dan petugas patroli Departemen Kepolisian New York dan Kepolisian Negara Bagian New Jersey dan peraih Bronze Star atas keberaniannya sewaktu bekerja dengan CIA sebagai perwira keamanan di Tiongkok.

“Kubler mendirikan kantornya di rumah Soekanto, bekerjasama membuat daftar hitam dan mengembangkan pelatihan tentang persenjataan canggih, kontrapemberontakan, dan spionase,” tulis Jeremy Kuzmarov.

Kebutuhan Pelatihan

Bukan sekali saja Soekanto membicarakan soal pengembangan pelatihan dengan Cochran. Bahkan dia mengajukan memo pada 24 September 1950. Isinya antara lain usulan pelatihan khusus di bidang kriminalitas serta teknik intelijen dan keamanan dalam negeri. Soekanto juga berharap pengiriman tenaga ahli dan penasihat ke Indonesia, terutama di bidang radio, telegrafi, dan pengawasan pantai.

Permintaan Soekanto dibicarakan Cochran dengan William Lacy, direktur Kantor Urusan Filipina dan Asia Tenggara. Dalam telegram tanggal 25 September 1950, Cochran menyebut dia bersedia memberi rekomendasi untuk melanjutkan pelatihan, asalkan pemerintah Indonesia benar-benar menginginkannya dan Soekanto memenuhi persyaratan terkait karakter dan sikap mental para peserta pelatihan, dan secara spesifik mengemukakan jenis pelatihan yang benar-benar dibutuhkan.

Pada 1951, sementara pelatihan angkatan keenam berjalan, Soekanto mendiskusikan program pelatihan untuk tahun berikutnya dengan Cochran. Menindaklanjuti pembicaraan dengan Cochran, pada 15 dan 17 Agustus 1951, Soekanto mengajukan memo berisi usulannya.

Baca juga: Soeharto Meminta Bantuan CIA

Pemerintah Amerika rupanya tak menyetujui proyek pelatihan lanjutan. Dalam suratnya kepada Soekanto pada 14 Desember 1951, Cochran mengatakan pemerintah Amerika menyesalkan program pelatihan tak bisa dilanjutkan dengan dasar yang sama dengan sebelumnya. Namun pemerintas Amerika puas dengan tindakan keras yang diambil pemerintah Indonesia terhadap “unsur-unsur pembangkang”, merujuk pada Razia Agustus. Karenanya, pemerintah Amerika mempertimbangkan pelatihan, secara terbatas dan selama periode tertentu, bagi beberapa perwira terpilih, terutama mengenai keamanan dalam negeri dan teknik intelijen seperti yang diminta Soekanto. Pelatihan ini akan dilaksanakan di Indonesia dan Amerika, tergantung kebutuhan individu dan fasilitas yang tersedia.

Menurut Robert H. Bruce dari Curtin University of Tachnology, Amerika, pada 1952, Amerika memberikan persyaratan baru mengenai bantuan untuk polisi Indonesia –serta militer dan ekonomi. Mutual Security Act (MSA) 1951 mensyaratkan sebuah pernyataan bahwa Indonesia masuk dalam “Dunia Bebas”. Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo menyetujui dan secara diam-diam menandatanganinya. Kesepakatan itu bocor ke pers dan menimbulkan kritikan pedas, dianggap melanggar prinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Dampaknya, Kabinet Sukiman jatuh pada Februari 1952.

Kesepakatan itu bocor ke pers. Menurut Paul F. Gardner, mantan pejabat Dinas Luar Negeri Amerika, dalam Lima Puluh Tahun Hubungan Amerika Serikat-Indonesia, Cochran menyalahkan Samuel Perkins Hayes, direktur ECA di Indonesia, dan wakilnya. Cochran mengemukakan tindakan itu dapat membongkar perjanjian rahasia dengan Mohammad Hatta mengenai bantuan kepada kepolisian Indonesia.

Namun, ketakutan Cochran tak terjadi dan bantuan bagi kepolisian Indonesia tetap berjalan pada 1952, kendati tak ada dana baru yang dianggarkan.

Kapolri Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo didampingin M. Jasin dalam inspeksi pasukan Mobile Brigade di Ciputat, 1953. (Repro Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo).

Bantuan ICA

Sementara Soekanto mengajukan permintaan kepada pemerintah Amerika, secara diam-diam Kepolisian Nasional mendapatkan bantuan pelatihan dan perlengkapan dari Amerika melalui Foreign Operation Administration (FOA).

FOA adalah badan pemerintah Amerika yang bertanggungjawab atas bantuan luar negeri dan program “keamanan nonmiliter”. FOA kemudian ganti nama jadi International Cooperation Administration (ICA) lalu Agency of International Development (AID atau USAID) hingga sekarang.

“Program bantuan polisi diiniasiasi di Indonesia oleh CIA,” tulis Reg Davis dan Harry James dalam The Public Safety Story. “Program ini melibatkan dukungan perlengkapan yang cukup besar, termasuk peralatan komunikasi, kendaraan, pesawat terbang, kapal, dan senjata. Dana kemitraan digunakan untuk mendirikan bangunan kecil untuk stasiun radio kantor pusat, wilayah, dan provinsi.”

Sejauh ini, belum ada laporan lain mengenai program itu selama berada di bawah FOA. Aktivitasnya bersifat rahasia. Namun dari dokumen CIA yang dibuka untuk publik, bantuan itu sudah berjalan. Director’s Log, September-Desember 1951, menyebut seorang agen staff Office of Special Operations (OSO) dari CIA, yang bertindak sebagai penasihat Kepolisian Indonesia, diminta untuk menyusun rencana pelatihan dan operasi. Sumber yang sama juga menyebut pengiriman sejumlah perwira intelijen Indonesia secara diam-diam untuk belajar paramiliter, intelijen, komunikasi, dan keamanan, termasuk di Fort Benning.

Baca juga: Soekanto Kepala Polisi Era Revolusi

Baru di bawah ICA, program bantuan bagi kepolisian Indonesia diperkenalkan secara resmi tahun 1955 dengan nama Public Safety Program. Program ini dijalankan di bawah proyek berkode 1290-d berdasarkan National Security Council (NSC) Action Memorandum tahun 1954.

Program bantuan polisi dimulai dari kunjungan Byron Engle dan Melville “Buck” Fruit ke Indonesia pada 1954 untuk menemui Soekanto. Selain menjalin hubungan baik, pertemuan membahas pemberian bantuan bagi pengembangan Kepolisian Nasional.

Engle mulanya bekerja di Departemen Kepolisian Kansas City. Dia terlibat dalam mengorganisir dan membangun kembali kepolisian Jepang melalui Public Safety Division (PSD). Buck Fruit, seorang mayor polisi udara di Angkatan Udara Amerika, terlibat dalam pemberian asistensi di Korea. Keduanya direkrut CIA.

Menurut Robert H. Bruce dalam “Lessons from Japan: Sources of Ideas for US Police Assistance to Indonesia”, dimuat Asian Profile Vol. 17 No. 5, Oktober 1989, penglaman Engle di Jepang memberi gagasan tentang membangun institusi dan reformasi polisi melalui pelatihan yang kemudian diterapkan di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. “Apa yang kami lakukan di Jepang,” ujar Engle, “berpengaruh pada apa yang kami lakukan di Indonesia.”

Byron Engle kemudian menjabat sebagai kepala Civil Police Administration Division di bawah ICA. Sementara Melville “Buck” Fruit bertugas di Indonesia sebagai kepala penasihat kepolisian Indonesia, sebelum digantikan Robert Lowe pada 1956.

Menurut Jeremy Kuzmarov, popularitas Partai Komunis Indonesia (PKI) mencemaskan pemerintah Amerika. Pada Juni 1955, Menlu Amerika John Foster Dulles meningkatkan anggaran polisi menjadi $6 juta dan memerintahkan penyediaan truk-truk dan alat pengendali massa bagi polisi. ICA menyediakan pelatihan pengendalian huru-hara serta memasok jip, kapal patroli, dan pesawat terbang, dan mendirikan pusat-pusat pelatihan di mana buku-buku petunjuk CIA seperti Covert Paramilitary Training Course (1952) dan The Sabotage Manual (1954) digunakan.

“Para penasihat dengan pengalaman di Yunani, Filipina, dan Korea membangun sebuah pusat komunikasi di Jakarta, sebuah sistem radio teletype, dan sebuah pusat pengiriman pesan dan ruang kode di markas besar Kepolisian Nasional untuk mengatur arus informasi tentang PKI,” tulis Kuzmarow.

Baca juga: Soekanto Peletak Dasar Institusi Polri

Lebih lanjut Kuzmarov menulis, komponen penting dari program ini adalah membangun Mobrig sebagai penyeimbang militer, yang dianggap “disusupi dengan warna pink dan merah”. Fruit melaporkan, setelah bekerja dengan sejumlah pasukan polisi Asia, dia “terkesan melampaui ekspektasinya dengan tingkat pelatihan, semangat kerja, efektivitas [dari Mobrig]” yang “memiliki organisasi intelijen untuk tujuan utama mengidentifikasi komunis” dan “dapat menangani secara efektif percobaan pemberontakan atau kudeta.”

Fruit menyanjung pusat pendidikan Mobrig, didirikan tahun 1954, di Watu Kosek, Porong, Jawa Timur –kini, Pusat Pendidikan Korps Brimob. Tak lupa dia juga memuji Soekanto, yang menurutnya telah “mengatasi berbagai kontroversi untuk mempertahankan posisi yang stabil secara politis.”

Pergantian personel dan perkembangan program disajikan dalam Civil Police Administration Division Newsletter. Pada edisi Juli 1957, newsletter menyebut soal pusat pendidikan Mobrig yang menjalankan pelatihan dengan pola Amerika. Komandannya, yang menghadiri Kursus Lanjutan di Fort Benning tahun 1952-53, dan stafnya melakukan pekerjaan yang sangat baik sejak lahirnya pusat pelatihan itu. Alat bantu dan film yang disediakan telah diterjemahkan dan disesuaikan dengan kondisi setempat oleh staf pusat pelatihan. Newsletter juga menyinggung perkembangan Polisi Laut dan Polisi Udara.

Dalam laporan Operations Coordinating Board (OCB), 6 September 1956, FRUS 1955-1957, disebutkan program pra-1290-d di Indonesia diperluas dengan meningkatkan personel Kelompok Penasihat Polisi dari 6 menjadi 10, dan meningkatkan peserta pelatihan dari sekitar 28 sampai 61 per tahun. Untuk tahun 1957, anggarannya $1.500.000 untuk peralatan yang mencakup senjata, transportasi, komunikasi, dan peralatan laboratorium.

“Ahli-ahli ICA sekarang menasihati polisi mengenai fungsi komunikasi, investigasi, patroli, catatan dan identifikasi, logistik, pelatihan, polisi laut, dan kegiatan paramiliter,” tulis laporan OCB.

Meningkatnya Pengaruh PKI

ICA meningkatkan bantuan kepada Kepolisian Nasional seiring menguatnya pengaruh PKI, terutama ditunjukkan dalam pemilihan umum 1955 dan 1957.

“Kepolisian Negara Republik Indonesia, dibantu ICA sejak 1951, mampu mengatasi masalah hukum dan ketertiban yang lumrah. Namun, hampir tak berdaya menghadapi ancaman utama, potensi kontrol Komunis terhadap pemerintah pusat dengan cara legal melalui pemilihan umum,” tulis ICA dalam “Annual Report of Operations of the Overseas Internal Security Program to the Operations Coordinating Board for the National Security Council, December 1956-November 1957”, direvisi 11 Maret 1958, yang dibuka untuk publik.

Untuk tahun 1958, ICA menganggarkan $1.470.000 untuk kepolisian Indonesia, yang mencakup anggaran untuk ahli-ahli Amerika, pelatihan peserta, dan perlengkapan polisi.

“Ini adalah salah satu program polisi tertua yang dibantu melalui bantuan luar negeri Amerika,” tulis ICA.

Sejak didirikan tahun 1951, ICA dan pendahulunya telah menghabiskan total $7.669.080 sampai tahun 1958. “Pasukan polisi telah diperlengkapi dan dilatih dengan baik. Dengan standar Asia Tenggara, mereka efisien dan disiplin, meski kurang inisiatif. Para perwira dan orang-orang yang terdaftar telah disaring untuk menghilangkan sentimen pro-Komunis.”

Baca juga: Kapolri Pertama Lengser Karena Klenik

Karier Soekanto berhenti di tengah memuncaknya pemberontakan di Sumatra, yang juga didanai CIA. Menurut Kuzmarov, Soekanto membangkitkan kecurigaan Presiden Sukarno saat dia menolak meminjamkan kapal laut ke militer yang dimobilisasi di bawah Jenderal A.H. Nasution untuk menekan pemberontakan. Hal itu, di samping alasan lainnya, mendorong Presiden Sukarno menonaktifkan Soekanto sebagai kepala DKN pada Desember 1959.

Kendati demikian, program dari ICA masih terus dijalankan. Menurut Reg Davis dan Harry James, ada 45 penasehat ditugaskan ke proyek Indonesia selama sembilan tahun sebelum program ini dihentikan tahun 1965. Hasilnya?

“Ya, program Public Safety di Indonesia sukses, mengisi celah ketika negara ini masih muda dan layanan dari konsultan umumnya disambut dan diterima dengan baik. Program ini membantu menstabilkan keamanan publik dan para penasihat sangat membantu dalam membangun hal baru ini,” ujar Bob Brougham, dikutip Reg Davis dan Harry James dalam The Public Safety Story.

“Ada beberapa penyimpangan dalam kinerja polisi di tahun-tahun berikutnya tapi bisa saja lebih banyak lagi bencana. Negara ini akan berada dalam kondisi yang jauh lebih stabil hari ini jika program Public Safety terus berlanjut. Tak ada keraguan bahwa keamanan akan menyebar jauh lebih luas jika ada program Public Safety yang efektif dan kami takkan menghadapi kekacauan di segala bidang.”

“Secara keseluruhan, program kepolisian berkontribusi pada militerisasi masyarakat Indonesia dan tumbuhnya alat pengawasan modern, yang Soeharto gunakan untuk melikuidasi PKI dan ancaman lain terhadap kekuatannya,” tulis Kuzmarov.

TAG

polisi soekanto pahlawan nasional amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Setelah  Jadi ABRI, Polisi Jadi Alat Politik Penguasa Beda Cara Polisi Dulu dan Sekarang dalam Berpolitik Komandan Polisi Istimewa Digebuki Anggota Laskar Naga Terbang Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Kapolri Pertama Itu Bernama Soekanto Soedarsono "Kudeta 3 Juli": Dari Komisaris ke Komisaris Lagi Kapolri Diselamatkan Mobil Mogok Slamet Sarojo, Polisi Jadi Pengusaha Bapaknya Indro Warkop Jenderal Intel