PERINTAH datang dari Mohammad Hatta, wakil presiden yang juga perdana menteri. Said Soekanto selaku kepala Djawatan Kepolisian Negara (DKN) diberi kuasa untuk meninjau dan mempelajari bentuk, susunan, dan perlengkapan kepolisian di luar negeri.
“Tidak ada agenda lain. Tidak ada by design. Dari sisi surat perintah, ya cuma untuk mempelajari polisi di negara lain,” ujar sejarawan Ambar Wulan. Bersama Awaloedin Djamin, Ambar menulis biografi Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Semestinya Soekanto berangkat pada Juli 1948. Namun, karena situas politik, dia baru bisa melaksanakannya pada September. Dia membawa Katik Soeroso, siswa Sekolah Tinggi Polisi Negara angkatan pertama yang sedang ditugaskan di DKN.
Soekanto dan Katik menumpang pesawat dari Lapangan Maguwo (sekarang Adi Sucipto) Yogyakarta, menembus blokade Belanda. Dalam perjalanan mereka sempat mendarat di Palembang, Bangkok, New Delhi, London, hingga akhirnya tiba di New York, Amerika Serikat, pada 8 Oktober 1948.
Tugas resmi Soekanto adalah studi banding. Tapi Soekanto juga membawa misi rahasia: mencari senjata untuk memperkuat pasukan Mobile Brigade (Mobrig) –kini Brimob. Kenapa Mobrig? Hatta sadar bahwa kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi tentara yang dijalankannya menimbulkan ketidakpuasan. Hatta juga mengkhawatirkan keterlibatan tentara dalam politik. Dan yang terpenting, seperti dikatakan Soekanto, Hatta sudah punya pikiran bahwa komunis akan memberontak pada Maret atau April 1949.
Baca juga: Soekanto, Anak Pandu jadi Polisi
Ternyata pemberontakan itu terjadi lebih cepat. Soekanto berada di Bangkok ketika pemberontakan meletus pada 18 September 1948. Soekanto bimbang apakah meneruskan perjalanan atau tidak. Namun Hatta menegaskan agar Soekanto meneruskan perjalanan.
Di New York, Soekanto ditampung Soemitro Djojohadikusumo dan kawan-kawan, yang membuka perwakilan perdagangan Indonesia. Dia juga dikenalkan pada tokoh-tokoh swasta maupun pemerintah Amerika yang bisa melapangkan misinya.
Soekanto juga dihadapkan pada propaganda Belanda yang memojokkan Indonesia; bahwa pemberontakan Madiun dibuat Indonesia sendiri, bukan PKI. Untuk itu, Soekanto menunjukkan foto mayat Muso yang dikirim wakilnya, R. Soemarto. Upaya itu menetralisir propaganda Belanda.
“Amerika, yang semula mendukung Belanda, kemudian memerintahkan Belanda menghentikan agresi militernya. Amerika memandang Indonesia sudah antikomunis,” ujar Ambar.
Rekrutmen
Ada sebuah kisah. Pada 12 Juli 1948, sebuah pertemuan rahasia dihelat di Hotel Huize Hansje di Sarangan, Jawa Timur. Hadir Merle Cochran, wakil Amerika dalam Komisi Tiga Negara, dan Gerard Hopkins, penasehat politik Presiden Harry S. Truman. Sementara dari Indonesia: Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sukiman, Mohammad Roem, dan Soekanto.
Pertemuan menghasilkan apa yang disebut sebagai Red Drive Proposals di mana Indonesia akan mendapat $56 juta untuk “menghancurkan gerakan rakyat demokratis yang anti-imperialis (seperti PKI).”
Kisah itu muncul dalam artikel “Tiga Tahun Provokasi Madiun” karya Mirajadi (nama samaran Sudisman) dan dimuat Bintang Merah, organ PKI, edisi No. 12-13 tahun 1951. Kecuali soal uang, Mirajadi merujuk buku Borobudur, Voyage a Bali, Java et Autres Iles (1951) karya Roger Vailland, penulis-wartawan komunis Prancis.
Sebelumnya, isu yang sama muncul dalam suratkabar De Waarheid, organ Partai Komunis Belanda (CPN), edisi 4 Oktober 1948. Disusul pernyataan Paul de Groot, pemimpin CPN, di depan parlemen Belanda pada 25 Oktober 1948.
Tulisan Mirajadi memuat banyak kerancuan fakta. Menurut sejarawan Harry A. Poeze Madiun 1948: PKI Bergerak, versi PKI ini bermasalah karena Cochran belum datang ke Indonesia sampai 9 Agustus, sedangkan Harry (bukan Gerard) Hopkins tak pernah berada di Indonesia.
Terlepas dari itu, pembicaraan Hatta dan Cochran memang terjadi.
Pada 20 September, siang hari, tepat setelah kabinet membahas pemberontakan Madiun, Merle Cochran, wakil Amerika dalam Komite Jasa-jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Hatta di Kaliurang. Cochran mengatakan akan memberi rekomendasi kepada pemerintahnya mengenai langkah-langkah praktis guna membantu Indonesia memerangi komunis. Sebagai tanggapan, Hatta berharap pemberontakan dipadamkan dalam dua minggu tapi Republik butuh perlengkapan kepolisian, yang sudah dibahasnya dengan seorang “atase Amerika”.
Baca juga: Sebelum Soekanto Jadi Kepala Polisi
Menurut Paul F. Gardner, mantan pejabat Dinas Luar Negeri Amerika, dalam Lima Puluh Tahun Hubungan Amerika Serikat-Indonesia, atase Amerika yang dimaksud pasti Arturo Campbell, yang menyandang jabatan resmi atase konsuler di Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta. Pada kenyataannya, dia agen Badan Intelijen Amerika (CIA), kendati kecil kemungkinan Hatta mengetahuinya.
Cochran kelak mengenang diskusinya bersama Hatta dan Soekanto tentang rencana pelatihan dan pengadaan peralatan bagi Mobrig. “Saya merasa bahwa kami telah membuat pilihan yang tepat untuk mendukung kepolisian mobile,” tulis Cochran, yang sudah menjabat dutabesar Amerika untuk Indonesia, dalam telegramnya kepada Lacy, direktur Kantor Urusan Filipina dan Asia Tenggara, 25 September 1950.
Sebagai tindaklanjut, Cochran mengirim Campbell ke Yogyakarta.
Misi Campbell disinggung George McT. Kahin, Indonesianis terkemuka dari Amerika yang kala itu tengah melakukan penelitian untuk disertasinya. Kahin mengisahkan pertemuannya dengan Campbell dalam makalah berjudul “Kenangan dan Renungan tentang Revolusi Indonesia” untuk konferensi internasional bertema revolusi nasional di Jakarta, Juli 1995, yang kemudian dibukukan dengan judul Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Kisah yang sama disampaikan dalam karya lainnya, terutama Southeast Asia: A Testament.
“Saya hampir tidak dapat menghindari Campbell karena ia tinggal di wisma tamu negara yang mempunyai tiga kamar, di mana Hamid Algadri dan saya juga tinggal ketika itu,” ujar Kahin.
Hamid Algadri waktu itu anggota Partai Sosialis Indonesia yang juga anggota delegasi Indonesia untuk Komisi Jasa-jasa Baik.
“Raden Said Soekanto,” tulis sejarawan Jeremy Kuzmarov dalam Modernizing Repression: Police Training and Nation-building in the American Century, “termasuk di antara mereka yang direkrut. Didorong pandangan antikomunis yang kuat oleh Belanda, dia menjadi ‘aset’ CIA penting, yang disebut dalam laporan intelijen sebagai orang dengan ‘integritas kepribadian yang tinggi’.”
Bersamaan dengan itu, atas bantuan Campbell pula, Soekanto pergi dan tiba di Amerika pada Oktober 1948.
Negosiasi Tanpa Henti
Pada 19 Oktober, tak lama setelah tiba di Amerika, Soekanto mengunjungi Departemen Luar Negeri Amerika. Kepada William Lacey, pejabat desk Indonesia di Deplu Amerika, dia menjelaskan misinya. Soekanto ingin Amerika membekali 5.000 personel dengan sepeda motor, gas air mata, alat angkut senjata, jip, pistol, sten dan bren, serta karabin dan amunisi. Deplu Amerika menolak memenuhi permintaan tersebut.
Dalam artikel berjudul “Supplier ‘Push’ and Recipient ‘Pull’ in The Inception of Arms Transfers to the Third World: A Case Study of Converging Interests”, dimuat International Review of Modern Sociology, Vol. 18, No. 1, tahun 1988, Robert H. Bruce dari Curtin University of Tachnology, Amerika, menyebut Deplu Amerika masih didominasi pandangan yang memihak Belanda. Salah satu alasan penolakan, keamanan Amerika bergantung pada Eropa Barat dan Belanda yang kuat bisa memberikan kontribusi.
Soekanto tak mau bergantung pada bantuan pemerintah Amerika semata. Kebutuhan senjata bagi pasukan Mobrig amat mendesak.
Dalam laporannya kepada Hatta tanggal 7 November 1948, koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Soekanto menyebut sudah berbicara dengan “orang yang tepat” yang sanggup memenuhi pesanan dan mengirimkan ke daerah Republik dengan uang muka $25.000. Namun uang muka itu tak bisa dipenuhi Menteri Keuangan Andries Maramis dan Soemitro, yang lebih memprioritaskan pengiriman tekstil dan kebutuhan lainnya. Akibatnya, “kami tidak dapat bergerak sama sekali.” Soekanto minta agar mendapatkan anggaran sendiri atau kuasa untuk mencari pinjaman.
Dalam surat balasannya tanggal 23 Maret 1949, Hatta mengizinkan pembelian perlengkapan untuk polisi dengan dana pinjaman. Tapi dari mana pinjaman didapat?
Selain mencari senjata, Soekanto membawa misi untuk mempelajari ihwal kepolisian di luar negeri. Karenanya, Soekanto memanfaatkan waktunya untuk meninjau kepolisian di Park District Police Chicago, New York City Police, hingga International Police Academy. Dia juga menimba ilmu di Carabinieri (semacam Mobrig) di Italia.
Baca juga: Soekanto Kepala Polisi Era Revolusi
Perwira Mobrig lainnya yang dipilih Campbell juga menjalani pelatihan. Menurut Jeremy Kuzmarov, enam polisi Indonesia berlatih di kantor pusat Biro Investigasi Federal (FBI) mengenai sidik jari, fotografi, spionase, dan bahan peledak. CIA bahkan, tulisnya, membawa mereka ke rumah bordil untuk memenuhi fantasi mereka tidur dengan perempuan kulit putih.
Pada 17 Mei 1949, Soekanto mendatangi Deplu Amerika lagi. Dia membawa sepucuk surat dari Hatta tertanggal 3 Mei, yang meminta bantuan senjata dan peralatan untuk 10.000 orang. Lagi-lagi permintaannya ditolak. Menurut Bruce, AS enggan memasok senjata yang bisa digunakan pasukan Indonesia melawan Belanda.
James E. Webb, menteri muda luar negeri Amerika, dalam telegram rahasianya kepada Konsulat Jenderal di Jakarta pada 8 Juni membahas permintaan Soekanto. Menurut Webb, pejabat Deplu sudah menjelaskan kepada Soekanto bahwa “Perjanjian 7 Mei”, merujuk penandatanganan Perjanjian Roem-Roijen, tak mengizinkan Amerika mengirimkan senjata ke Indonesia. Amerika hanya akan mempertimbangkan bantuan senjata untuk Negara Indonesia Serikat.
“Soekanto, yang terutama anti-Commie, tampaknya merasa bahwa dia telah menerima jawaban yang responsif namun menyatakan kegelisahannya yang besar karena kekuatan polisi Repubik yang tak memadai untuk menjalankan tugas karena tak cukup peralatan,” tulis Webb. Commie merujuk pada komunis.
Telegram itu juga menyebut informasi rahasia bahwa enam bulan lalu Soekanto telah berunding dengan sejumlah pejabat instansi terkait dari pemerintah Amerika. “Dia berencana pergi ke Italia pada akhir Juni untuk mempelajari operasi anti-Commie di Carabinieri, [lalu] kembali menemui Hatta di Den Haag pada bulan Juli.”
“Pejabat-pejabat Departemen punya penilaian tinggi atas kemampuan, kehandalan, dan tekad Soekanto dalam menghancurkan Commies Indonesia.”
Persetujuan Dicapai
Setelah belajar di Italia, Soekanto bergabung dengan delegasi Indonesia di Den Haag, Belanda, yang dipimpin Hatta. Dia diangkat sebagai penasihat delegasi Indonesia untuk Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Selesai mengikuti KMB, Soekanto diperintahkan Hatta untuk melanjutkan tugasnya kembali ke Amerika dalam mencari senjata untuk kepolisian serta mempelajari struktur organisasi kepolisian.
Dalam permohonan kali ketiga, Indonesia meningkatkan persyaratan minimumnya untuk peralatan bagi 20.000 orang. Hatta juga tak bosan menyampaikan permintaannya. Kuzmarov menyebut Hatta, melalui penghubung CIA bernama Louise Page Morris, meminta bantuan teknis untuk memperkuat kekuasaannya yang digoncang kaum kiri. William Lacey, pejabat desk Indonesia di Departemen Luar Negeri, skeptis, mengatakan kepada Morris bahwa menyediakan senjata tanpa persetujuan Kongres adalah "tidak dapat dijalankan dan tidak dapat dipertahankan".
Baca juga: Jejak Langkah Kapolri Pertama
Menurut Bruce, alih-alih memberikan bantuan untuk Mobrig, Amerika menawarkan bantuan militer untuk tentara Indonesia dalam menghadapi ancaman komunis. Tawaran itu sudah dipertimbangkan pada Juli 1949, menyusul persetujuan Kongres Amerika atas Mutual Defence Assistance Act. Indonesia menolak. Amerika akhirnya mempertimbangkan permintaan Indonesia.
Pemerintah Amerika akhirnya setuju memasok peralatan militer senilai $5.000.000 untuk Mobrig. Kesepakatan itu ditandatangani pada 15 Agustus 1950.
Namun sebelum persetujuan itu keluar, Soekanto sudah kembali ke Indonesia. Pada 11 Desember 1949 dia mendarat di Yogyakarta dan kembali memimpin Kepolisian. Dia mulai mengembangkan gagasan untuk membangun Kepolisian Nasional yang profesional dan modern.