Banyak anak muda ingin menjadi polisi. Orang tuanya bahkan sampai menjual sawah. Mereka menganggap menjadi polisi sebagai jalan menuju hidup sejahtera. Sekarang mungkin ada benarnya. Namun, dulu tahun 1950-an, Inspektur Polisi Slamet Sarojo merasa hidup mengabdi kepada negara sebagai polisi tidak sejahtera.
Slamet Sarojo lahir di Solo, Jawa Tengah, 21 November 1930. Anak mantri kehutanan ini menjadi sersan dalam Tentara Pelajar Brigade 17 pada masa revolusi kemerdekaan. Setelah revolusi, ia bersama Anton Sudjarwo masuk Akademi Kepolisian di Sukabumi. Namun, pada pertengahan era 1950-an, Slamet memutuskan keluar dari kepolisian untuk berbisnis agar hidup lebih layak. Sementara Anton Sudjarwo kemudian menjadi Kepala Staf Kapolri (1982-1986).
Mula-mula Slamet menjadi agen rokok kretek Tuton Tapen di Semarang. Pemilik pabrik rokok itu, Liem Giat Thiem merasa berutang budi pada Slamet. Pada 1949, Slamet berhasil menangkap perampok pabrik rokok itu. Persahabatan Slamet dengan Liem menentukan kariernya dalam dunia bisnis.
Selain diajari manajemen bisnis, Slamet juga dimodali oleh Liem. Dengan kerja keras dan berhemat, ia kemudian berhasil memupuk modal. Dan ia mulai berpikir, “kalau mau lebih sukses harus terjun ke dunia industri,” kata Slamet Sarojo dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983–1984. Slamet lalu membangun pabrik Sirlak (campuran pelitur kayu) tahun 1959 di bawah PT Eka Djaja di Semarang. Perlahan-lahan bisnisnya maju.
Baca juga: Surya Darmadi Sebelum Menjadi Pengusaha Sawit
Slamet Sarojo juga terlibat dalam politik. Koran Angkatan Bersenjata, 4 Juli 1966 menyebut Slamet bersama John Lumingkewas dan Menteri Achmadi sebagai kelompok pendukung Sukarno yang menentang Orde Baru.
Slamet Sarojo juga disebut majalah itu menjabat presiden direktur PD Kalimas yang menyerahkan uang Rp200 juta kepada Hartini, istri Sukarno, untuk mengongkosi gerakan politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam Revolusi Belum Selesai, Sukarno menyebut itu fitnah terhadap Hartini.
“Belakangan ada satu pernyataan dari Perusahaan Dagang Kalimas bahwa ia tidak punya seorang presdir bernama Slamet Sarojo,” kata Sukarno yang juga tidak mengenal Slamet Sarojo.
Slamet Sarojo kemudian dipenjarakan sebentar di awal Orde Baru. Setelah dibebaskan, ia kembali ke dunia bisnis.
Baca juga: Berpulangnya Probosutedjo Pengusaha Cendana
Slamet Sarojo rupanya masih terhitung keluarga dengan Soedjarwo (1922–2004), yang sejak muda bekerja di sektor kehutanan dan pernah berjuang dalam Batalyon Wanara. Soedjarwo menjadi menteri kehutanan dari tahun 1964. Namun, pada 1966 Departemen Kehutanan ditiadakan dan dimasukan ke dalam Departemen Pertanian. Soedjarwo menjadi direktur jenderal kehutanan dari 1966 hingga 1983. Setelah itu, ia menjadi menteri hehutanan lagi sampai tahun 1988.
Bisnis Slamet Sarojo lalu merambah ke sektor kayu. Pada 1971, ia mendirikan PT Dwimasjaya Utama dengan modal Rp10 miliar untuk mengelola kayu dari hutan Kalimantan Tengah.
Slamet Sarojo kemudian mendirikan PT Bahana Utama Lines, perusahaan yang menjadi pengangkut kayu gelondongan dan kargo umum. Bisnis kayunya telah menyetor pajak sebesar Rp1 miliar kepada negara. Bisnis-bisnis Slamet Sarojo kemudian berada di bawah bendera Dwima Group.
Baca juga: Bob Hasan, Pengusaha “Raja Hutan" Berpulang
Ketika sudah sukses, Slamet Sarojo tak lupa menolong orang yang senasib dengan dirinya, yakni John Lumingkewas. Seperti Slamet, John juga pernah jadi tahanan, bahkan lebih lama dari Slamet. John Lumingkewas sebelum 1965 adalah pimpinan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang terkait dengan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Kala itu, Slamet berkantor di daerah Cempaka Putih, dekat rumah John. Slamet Sarojo, menurut Peter Kasenda dalam John Lumingkewas Merah Darahku Putih Tulangku Pancasila Jiwaku, pernah menawarkan rumah mewah di Pondok Indah. Namun, setelah berkonsultasi dengan istrinya, Betty Pangemanan, John memilih mentahan saja untuk modal usaha. Slamet memberi cek Rp15 juta.
“Kalau kurang minta lagi,” kata Slamet pada John. Menurut Kasenda, Slemat bersimpati pada perjuangan John Lumingkewas yang berseberangan dengan Orde Baru.*