DENGAN berpakaian preman, Soekanto kerap mengunjungi tempat-tempat yang dianggap rawan. Tengah malam, sebelum pulang ke rumah, dia singgah ke kantornya.
Di ruang penjagaan, dia menemukan komandan jaga, seorang inspektur berkebangsaan Belanda, tidur terlelap. Soekanto ingin memberi pelajaran. Dia merogoh saku sang inspektur dan mengambil revolver. Soekanto juga melaporkan peristiwa itu ke atasannya agar memberikan sanksi. Yang terjadi, petugas itu dipecat dari kepolisian.
Selama menjadi polisi, Soekanto dikenal disiplin tanpa ampun. “Pak Kanto itu sangat disiplin, bahkan untuk hal-hal kecil seperti kebersihan dia teliti,” ujar Supardi (75 tahun), keponakan Soekanto, kepada Historia.
Semarang menjadi tempat dinas pertama Soekanto sebagai polisi. Dia mendapat penugasan di bagian yang berbeda-beda, dari lalulintas, reserse, hingga dinas intelijen polisi (PID). Yang disenanginya adalah tugas-tugas reserse. Salah satu yang sukses diungkap adalah kasus pembunuhan seorang pria Belanda bernama Borg oleh istrinya dengan motif mendapatkan warisan.
Baca juga: Soekanto, Anak Pandu jadi Polisi
“Atas keberhasilannya, Hoofd Commisaris memberikan penghargaan kepada Soekanto sebagai polisi yang cekatan dalam melaksanakan tugas,” tulis Ensiklopedia Polisi: Jenderal Polisi R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Pada November 1934, setelah setahun di Semarang, Soekanto dipindahtugaskan ke Purwokerto. Di kota ini, dia berdinas di bagian pengawasan terhadap kegiatan kantor-kantor polisi di sekitar Keresidenan Purwokerto. Tak ada peristiwa istimewa yang dialaminya. Empat tahun kemudian dia kembali bertugas di Semarang. Pangkatnya naik setingkat menjadi Komisaris Klass II dan menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi IV di Candi. Selain masalah kriminalitas, Soekanto ditugaskan menangkap orang-orang Jerman dan Jepang yang dicurigai sebagai mata-mata.
Memasuki tahun 1940, Soekanto diangkat sebagai Ajunct Technisch Leider der Veldpolitie kemudian menjabat wakil kepala polisi di Residensi Kalimantan Timur yang bermarkas di Banjarmasin. Dia juga naik pangkat menjadi Komisaris Klass I, yang disandangnya hingga Jepang datang.
Pendudukan Jepang
Pada 10 Januari 1942, invasi Jepang ke Hindia Belanda dimulai dengan menduduki kota minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, menyusul kemudian Banjarmasin dan kota-kota lainnya. Kepanikan melanda. C.H. Groen, kepala polisi Banjarmasin, memerintahkan evakuasi dengan prioritas perempuan dan anak-anak.
Soekanto belum pernah bertemu atasannya. Ketika mengantar istrinya ke kapal evakuasi, barulah dia jumpa; Groen rupanya ikut kapal itu. Apa boleh buat, Soekanto tetap tinggal di Banjarmasin dalam situasi genting. Oleh komandan militer setempat, dia diperintahkan mengumpulkan informasi terkait keadaan kota Banjarmasin dan senjata-senjata. Dia kemudian diajak ke Jawa.
Di Bandung, Soekanto memberi kesaksian mengenai situasi Banjarmasin di hadapan pimpinan militer Belanda. Setelah menemui keluarganya di Bogor, dia menghadap direktur Binnelands Bestuur di Batavia (Jakarta). Namun Batavia telah dikuasai Jepang. Seluruh susunan Algemene Politie - kecuali warga Belanda - dijadikan susunan polisi pendudukan Jepang.
Menurut Peter Post dalam “Policing Society”, dimuat The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War, sebagai kekuatan pendudukan, pemerintah militer Jepang membutuhkan polisi untuk mendisiplinkan dan mengendalikan rakyat dan memastikan gerakan anti-Jepang tak mengganggu strategi militer. Tugas itu diserahkan kepada polisi sipil reguler (Keisatsu) dan polisi militer (Kenpeitai). Alokasi tugas keduanya tak dibatasi secara jelas, seringkali tumpang-tindih.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata
Suatu hari, dia kedatangan tamu seorang komandan Kenpeitai (polisi militer) yang mengajaknya bergabung dalam kepolisian pendudukan. Soekanto bersedia. Dia diberi pangkat Itto Keishi (Komisaris Tingkat I) dan jadi kepala kepolisian karesidenan Jakarta. Salah satu tugasnya membentuk polisi sipil reguler di Jakarta yang akhirnya terealisasi dengan markas di Cililitan Besar (depan Rumah Sakit R.S. Soekanto sekarang).
Soekanto tak lama di Jakarta. Ada isu santer, dia anak Belanda. Perawakan Soekanto memang tak seperti orang Indonesia kebanyakan. Postur tinggi besar, kulit kuning langsat, dan hidung mancung. Pihak Jepang termakan desas-desus. Soekanto dipindahkan ke Sukabumi sebagai instruktur pada Koto Kaisatsu Gakko, nama yang dipakai untuk Sekolah Tinggi Polisi, di bawah pimpinan Nagatomo. Nyatanya, hingga akhir pendudukan Jepang, Soekanto tak pernah mengajar karena latar belakangnya sebagai pejabat polisi pemerintah Hindia Belanda.
“Maka waktu luang sedapat mungkin saya pergunakan menumbuhkan dan memantapkan semangat nasional berdasarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928,“ tulis Soekanto dalam Mengenang Sjahrir suntingan Rosihan Anwar.
Dihadapkan Presiden
Kabar proklamasi kemerdekaan sampai di Sukabumi beberapa minggu kemudian. Di Sekolah Tinggi Polisi, para instruktur bumiputra menuntut pengibaran bendera Merah Putih.
“Desakan yang diwarnai ketegangan menyebabkan Nagatomo mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih, di samping bendera Jepang, Hinomaru,” ujar Soekanto dalam wawancara yang dihimpun ANRI, 18 Agustus 1982.
Pada September 1945, Soekanto mendatangi Departemen Keamanan-Pemerintahan Militer Jepang di Jakarta agar menyerahkan Sekolah Polisi Sukabumi kepada Republik Indonesia. Usaha itu gagal. Keimubucho (kepala polisi) menyatakan bahwa Jepang tak punya otoritas mengalihkan kekuasaannya selain kepada Sekutu.
Baca juga: Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara
Soekanto akhirnya menemui Mr. Sartono, mantan seniornya di Sekolah Tinggi Hukum, di kediamannya di Jakarta untuk meminta masukan. Rupanya di sana ada Iwa Kusuma Sumantri dan beberapa pemuda tengah berembug soal perintah Sukarno untuk mencari sosok yang layak memimpin kepolisian negara. R. Soemarto, yang waktu itu menjabat kepala polisi Keresidenan Pekalongan, ditunjuk namun pada waktu yang telah ditentukan tak bisa hadir karena ditawan Gerakan Tiga Daerah.
Atas perantaraan Mr. Sartono dan Iwa, Soekanto hadir dalam rapat kabinet pertama pada 29 September 1945. Di sanalah untuk kali pertama Soekanto bertemu dengan Presiden Sukarno, bahkan dilantik sebagai kepala kepolisian negara.
“Perkoncoan inilah yang mengantarkan Soekanto tampil ke muka. Meski begitu, dia memang orang yang tepat dan diperlukan dalam kepolisian,” ujar Ambar Wulan kepada Historia.
Dimulailah masa yang panjang sebagai kepala polisi.