NAMANYA tak banyak diperbincangkan dalam narasi sejarah. Padahal Soekanto Tjokrodiatmodjo adalah kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pertama sekaligus dengan masa jabatan terlama. Dia juga berperan penting dalam meletakan dasar bagi institusi Polri.
Pada 16 Januari 1950, Soekanto resmi diangkat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia Serikat (RIS). Prosesi serah terima Kepolisian dari G. van Nes, kepala Dinas Polisi Umum Hindia Belanda, ke Soekanto berlangsung di Gedung Kementerian Dalam Negeri tiga hari kemudian.
“Saya datang ke sini untuk menerima jabatan saya,” ujar Soekanto.
“Saya juga sudah menerima instruksi untuk menjalankan itu. Saya senang karena pimpinan kepolisian jatuh di tangan orang yang saya kenal. Bila diperlukan saya siap memberikan bantuan,” kata van Nes.
Soekanto menolak tegas seraya berucap, “Saya kira bantuan itu tidak diperlukan.”
RIS terbentuk sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar. RIS terdiri dari beberapa negara bagian, termasuk Republik Indonesia. Karena Soekanto menjabat kepala kepolisian RIS, jabatan kepala kepolisian RI diserahkan kepada R. Soemarto.
Sebagai kepala kepolisian RIS, Soekanto menghadapi kendalam menyatukan kepolisian yang terbagi dua kubu: cooperator (co) dan non-cooperator (non-co). Co adalah polisi di negara-negara bagian (federal) yang dicap pro-Belanda sedangkan non-co mengabdi pada Republik. Gesekan terjadi ketika Soekanto hendak menempatkan pegawai polisi Indonesia di negara-negara bagian. Dinas Polisi Umum Belanda yang masih beroperasi juga tak membantu sepenuhnya.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata
Untuk mengatasi dualisme itu dibentuklah Komisi Kepolisian. Lambat-laun persoalan itu dapat terselesaikan karena kepolisian negara-negara bagian memilih berintegrasi dengan Kepolisian RI. Terlebih setelah RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia di mana Soekanto dipercaya memimpin kepolisian nasional yang diberi nama Djawatan Kepolisian Negara (DKN).
“Peleburan Kepolisian negara-negara bagian ke dalam Kepolisian Indonesia berjalan dengan baik,” tulis Soekanto dalam laporannya kepada negara, 21 Juni 1955, berjudul “Pemandangan Umum R.S. Soekanto tentang 10 Tahun Jawatan Kepolisian Negara Indonesia (1945-1955)” yang dihimpun Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Pada saat itulah pembangunan yang sebenar-benarnya di segala bidang lapangan termasuk Kepolisian, dimulai, yang dimaksudkan untuk mengisi kemerdekaan yang telah kita miliki itu,” kata Soekanto dalam laporannya.
Di awal kepemimpinan Soekanto, kekuatan polisi RI sekira 36.000 personel. Sementara polisi dari daerah federal berkisar 47.000 orang. Karena luasnya bidang dan kerja kepolisian, Soekanto memproyeksikan setiap tahun diperlukan tambahan lebih dari 3.000 personel, mencakup anggota polisi tingkat bawah, brigade polisi, inspektur polisi, dan komisaris polisi. Lagi pula 1.800 anggota polisi harus pensiun setiap tahunnya.
Baca juga: Kapolri Total Mendalami Spiritual
Untuk itulah dibutuhkan lembaga pendidikan yang memadai. Pada 4 Juli 1950, rapat gabungan antara Soekanto dan Dewan Kurator serta Dewan Guru Besar memutuskan mengubah Akademi Polisi –sebelumnya Sekolah Polisi Negara Mertoyudan Bagian Tinggi, Magelang– menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Pertimbangannya, menyelaraskan Akademi Polisi setingkat dengan perguruan tinggi dan memajukan ilmu kepolisian.
PTIK diresmikan pada 1 September 1950 dan berlokasi di Jalan Tambak, Manggarai, Jakarta Pusat. Ia menjadi perguruan tinggi kedinasan pertama di Indonesia. Lulusan PTIK menyandang gelar Doktorandus (Drs.) polisi.
Didirikan pula Sekolah Polisi Negara (SPN) di beberapa daerah seperti Kramatjati (Jakarta), Megamendung dan Tegalega (Jawa Barat), Banyubiru (Jawa Tengah), Surabaya dan Porong (Jawa Timur), Tanjung Kasau (Sumatera Utara), Makassar (Sulawesi), dan Ambon (Maluku). Selain itu beberapa sekolah kejuruan tertentu seperti Sekolah Brigadir Polisi dan Sekolah Polisi Negara Bagian Radio.
Untuk meningkatkan mutu perwira polisi, pada paruh kedua 1950, Soekanto mengirimkan ratusan perwira muda untuk belajar ke Amerika Serikat (AS). Pengiriman ini mendapat bantuan dari AS melalui International Cooperation Administration.
Baca juga: Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita
Menurut Awaloedin Djamin, yang pernah menjadi juru catat Soekanto, para perwira muda itu mendapatkan pelatihan mengenai coast guard, lalulintas, dan FBI-Academy. Program ini dinilai berhasil. Beberapa perwira kelak menjadi petinggi Polri. Antara lain Hoegeng Imam Santoso, Mohamad Hasan, Widodo Budidarmo, dan Awaloedin Djamin sendiri.
“Soekanto-lah yang membangun Polri secara profesional,” ujar Awaloedin Djamin, yang pernah menjabat Kapolri periode 1978-1982. “Tanpa Soekanto tak ada polisi seperti sekarang.”
Untuk menata institusi, Soekanto menghendaki satu alat kepolisian yang terpusat di lapangan administratif maupun organisasi. Pada 5 Januari 1952, dia menetapkan kantor polisi provinsi punya tujuh bagian kelembagaan: Umum, Dewan Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN). Reserse Kriminal (Reskrim), Mobile Brigade (Mobrig), Keuangan, Perlengkapan, dan Organisasi. Menyusul dua hari kemudian, Soekanto menetapkan 10 kepolisian provinsi ditambah kepolisian Kota Jakarta Raya.
Lembaga-lembaga lain yang menunjang kinerja kepolisian pun dibentuk: Polisi Perairan, Polisi Perintis, Laboratorium Kriminal, Biro Anak-anak, hingga Interpol yang masih bertahan hingga kini.
“Soekanto jadi kepala polisi terlama dalam sejarah Republik ini. Dari situlah dia mendapat kesempatan membangun polisi, dari Brimob, Polisi Perairan; beli kapal sampai tonase 500 ton, beli pesawat, memperkuat PTIK, hingga mengirim ratusan perwira keluar negeri termasuk saya. Dia benar-benar bapak polisi kita,” kata Awaloedin Djamin.