Setelah pertemuan di Sungai Dareh, Sumatra Barat, pada Januari 1958, Sumitro Djojohadikusumo dan Letkol Ventje Sumual pergi ke Singapura. Ketika sedang makan di sebuah restoran, seorang asing mendekati mereka. Dia menawarkan senjata dengan cuma-cuma.
“Saya dengar Anda sedang mencari senjata,” kata orang asing itu.
“Apa Anda mau jual senjata? Kalau ya mari kita bicara soal harga,” kata Ventje.
“Senjata ini tidak perlu dibeli, gratis,” kata orang asing itu.
“Kalau begitu okelah,” kata Ventje.
“Demikianlah tawaran kemudian diterima dengan catatan tanpa persyaratan dan ikatan apapun. Belakangan baru diketahui, bahwa seseorang tersebut adalah seorang anggota Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA),” tulis Payung Bangun dalam biografi Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.
Baca juga: Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra
Sebelumnya, Kolonel Maludin Simbolon telah bertemu agen CIA, Dean Almy, di Bukittinggi pada 3-4 Oktober 1957. Dia memberikan bantuan pertama CIA berupa uang rupiah senilai 50.000 dolar. Berikutnya, pada Desember 1957, Simbolon ditemani Letkol Sjoeib, bertemu Kepala Kantor CIA di Singapura, James Foster Collins, untuk membicarakan bantuan militer.
Menurut Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, dalam tiga bulan terakhir tahun 1957, para pemberontak berhasil membeli sejumlah senjata dan kendaraan jeep, serta meningkatkan kedudukan militernya terhadap pemerintah pusat. Dananya berasal dari Amerika Serikat, perdagangan yang dilakukan Sumitro, berbagai sumber yang mendukung PRRI di luar negeri, dan penyelundupan kopra, karet, dan produk lainnya oleh para kolonel pembangkang.
Persenjataan itu tentu saja tidak cukup. “Sumitro dan Letkol Ventje Sumual mengadakan perjalanan ke Singapura dalam rangka mencari tambahan persenjataan,” tulis Hendra dan Heru.
Tiga Agen CIA
Persenjataan untuk PRRI disiapkan oleh John Mason, kepala operasi CIA untuk Timur Jauh. Untuk mengatur penerimaan persenjataan itu dikirimlah agen CIA ke Sumatra. Sedangkan persenjataan untuk Permesta di Sulawesi Utara diatur agen CIA di Manila, Filipina.
Tiga agen CIA menggunakan pesawat Catalina mendarat di Danau Singkarak.
“Saya sendiri yang menemui mereka. Mereka mengaku agen spesialis CIA. Mereka memakai nama palsu: Pete, Phil, dan Bill. Maka, diaturlah mengenai penerimaan senjata… Saya sendiri yang mengkoordinasi semuanya. Mulai dari tempatnya, jamnya, semuanya harus tepat,” kata Simbolon dalam Rangkuman Peluncuran Buku Kolonel Maludin Simbolon.
Baca juga: Agen CIA di Medan
Pengiriman pertama melalui jalur laut, yaitu Pelabuhan Teluk Bayur. Senjata didrop di Pulau Mentawai, kemudian dijemput kapal-kapal kecil. Yang kedua lewat udara di Pangkalan Udara Tabing. Sedangkan senjata yang didrop lewat udara di Pangkalan Udara Simpang Tiga Pekanbaru berhasil disita pasukan pemerintah pusat, yaitu RPKAD (Kopassus).
“Ternyata jumlahnya cukup banyak,” kata Simbolon. “Kami jadi bingung sendiri siapa yang akan menggunakannya.”
Baca juga: Agen Lokal CIA di Sumatra
Simbolon menyerahkan kepada Letkol Ahmad Husein untuk mengurusnya. “Secara buru-buru, direkrutlah para pemuda, pelajar, pedagang, segala macam. Diadakanlah latihan kilat selama dua minggu, termasuk cara memakai bazoka,” kata Simbolon.
Agen CIA malah akan menambah lagi senjata itu. Simbolon mencegahnya karena sudah cukup. Jadi, hanya dua kali pengiriman. Selain senjata, mereka juga memberi peralatan komunikasi dan membangun jaringan komunikasi di antara pemimpin PRRI yang terpencar-pencar di berbagai daerah.
Strategi Agen CIA
Simbolon mengaku tak tahu persis bagaimana strategi para agen CIA itu. Namun, ketika pasukan Kolonel Ahmad Yani yang memimpin Operasi 17 Agustus mulai menyerang, agen CIA itu mengatakan kepada Simbolon bahwa pasukan PPRI harus mempertahankan suatu daerah de facto PRRI, minimal Sumatra Barat, supaya ada daerah yang mereka akui sebagai “daerah de facto kekuasaan pemberontak”.
“Begitu rupanya konsep mereka,” kata Simbolon.
Agen CIA itu berjanji akan mendatangkan bomber ke Tabing untuk menghalangi gerak pasukan Yani. Ternyata, bomber yang dijanjikan tidak datang. Setelah berunding dengan Ahmad Husein, Simbolon memutuskan tidak mungkin menghadapi pasukan Yani secara frontal dengan kekuatan dua batalion. Apalagi kedua batalion itu terpisah jauh di Bukittinggi dan Padang.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
“Saya tidak berani mengandalkan pemuda-pemuda yang baru direkrut untuk menghadapi pasukan Yani,” kata Simbolon.
Akhirnya, Simbolon memutuskan untuk perang gerilya dengan harapan bisa bertahan minimal dua tahun. Tujuannya agar Pemilu 1960 tidak akan jadi dilaksanakan dan PKI tidak memegang kekuasaan. Namun, agen CIA itu menentang rencana Simbolon. Maksud mereka memberi senjata bukan untuk bergerilya, tapi untuk mempertahankan daerah pemberontak.
“Bagaimana mau bertahan, you janji mau kirim bomber tapi enggak datang-datang,” kata Simbolon kepada agen CIA itu. “Kelihatan mereka terpukul sekali. Mereka sudah punya firasat misi mereka gagal. Di dunia intel militer, itu berarti akhir dari karier.”
Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI
Para agen CIA itu malah pernah menyarankan agar pasukan PRRI meledakkan kilang minyak Caltex. Maksudnya, agar ada alasan Armada VII Amerika Serikat masuk ke wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan negaranya.
“Tapi, usul itu saya tolak karena kami tidak mau negara ini jadi seperti Korea Selatan atau Vietnam. Bagaimanapun, kami masih memiliki nasionalisme tinggi,” kata Simbolon.
Setelah pasukan Simbolon terdesak sampai di Lubuak Gadang, para agen CIA mendapat perintah untuk pulang. “Ketika mereka akan pulang, uang saku yang mereka miliki sebesar kira-kira Rp1 juta diberikan kepada saya,” kata Simbolon.
Simbolon gagal mempertahankan “daerah de facto kekuasaan pemberontak”. Daerah-daerah yang dikuasai PRRI bahkan ibu kotanya di Bukittinggi berhasil direbut pasukan pemerintah. PRRI yang didukung CIA pun berakhir.