Masuk Daftar
My Getplus

Agen CIA di Medan

Agen ini menyerahkan uang kepada pembangkang di Sumatra sebagai dukungan pertama CIA. Mereka kemudian meminta senjata.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 19 Sep 2019
Kolonel Maludin Simbolon berbincang dengan Kolonel Mollinger dari pihak Belanda, untuk menentukan garis demarkasi dalam rangka gencatan senjata. (Repro biografi Kolonel Maludin Simbolon).

Dean Almy, agen CIA di Konsulat Amerika Serikat di Medan, menerima telegram dari James M. Smith Jr., Kepala Stasiun CIA di Jakarta. Dia diperintahkan untuk menemui Kolonel Maludin Simbolon di Bukittinggi.

Almy berangkat menggunakan mobil melalui jalan-jalan gunung sepanjang 400 mil lebih, beberapa di antaranya tidak lebih dari jalan kampung. Dia harus pintar berbicara untuk melewati pos-pos pemeriksaan tentara yang loyalis pemerintah, netral, dan pemberontak. Di antara pos-pos pemeriksaan terdapat wilayah yang terkenal akan perampoknya. Dan dia sasaran empuk karena membawa uang yang banyak.

Sebelumnya, pada September 1957, Simbolon bersama 300-400 pasukannya, bergerak dari Medan menuju Bukittinggi, untuk menyeberang ke pihak pemberontak. Dia kemudian mengirim beberapa orang untuk menemui Kepala Stasiun CIA di Jakarta, James M. Smith, Jr. Utusan itu membawa pesan Simbolon untuk meminta dukungan keuangan.

Advertising
Advertising

Dari mana kontak ke CIA itu?

Dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin, 1953-1963, sejarawan Baskara T. Wardaya menyebut berkat jalan yang dibukakan oleh Sumitro Djojohadikusumo, mantan Menteri Keuangan, para pemberontak dapat menjalin kontak langsung dengan CIA. Sebagai pejabat hasil didikan Eropa, Sumitro mampu menjadi penghubung antara para pemberontak dengan dunia Barat, terutama Amerika Serikat, sebab dia tahu bangaimana caranya menggunakan sentimen antikomunis untuk memperoleh dukungan Amerika

“Smith meneruskan permintaan ini (utusan Simbolon, red.) kepada Dean Almy, satu-satunya pegawai CIA yang berada di Medan,” tulis Baskara.

Baca juga: Fravel Brown, Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

Dean Johnson Almy Jr. lahir di Orange, New Jersey, Amerika, pada 18 Desember 1926. Dia dibesarkan di Bethesda, Maryland, dan bersekolah di Bethesda-Chevy Chase High School. Dia meninggalkan sekolah pada usia 16 tahun untuk bergabung dengan Marinir selama Perang Dunia II. Dia bertugas di Pasifik Selatan.

Almy meraih gelar sarjana dalam bidang jurnalistik dari Universitas George Washington pada 1951. Dia melanjutkan ke pascasarjana di Universitas Norwich, Universitas Yale, dan Universitas Cornell, untuk studi Asia Tenggara dari tahun 1954-1955. Dia sempat bekerja sebentar di surat kabar di Fredericksburg, Virginia, sebelum bergabung dengan CIA.

Almy ditempatkan sebagai agen CIA di Konsulat Amerika di Medan. Dia menjadi agen yang menyerahkan dukungan pertama CIA kepada para pemberontak.

“Sepanjang saya tahu dan saya hampir pasti ini suatu fakta, dukungan pertama yang diberikan kepada para pembangkang adalah uang rupiah senilai $50.000 yang saya sampaikan kepada Kolonel Simbolon di Bukittinggi pada 3 dan 4 Oktober 1957," kata Almy dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia karya Paul F. Gardner.

Dua Hari Bersama Simbolon

“Saya lega tiba di Bukittinggi. Saya menghabiskan dua hari bersama Simbolon,” kata Almy.

Kepada Almy, Simbolon mengungkapkan tak dapat membayar dan memberi makan pasukannya dari uang yang diterimanya dari komandan pemberontak, Letkol Achmad Husein. Dia menyebut uang itu sebagai uang beras.

Almy merasa heran kepada Simbolon. Ketika dia menunjukkan potret Sukarno yang tergantung di dinding di belakangnya, Simbolon menjawab, “Bagaimana pun juga, dia tetap presiden kita.”

“Almy menganggap loyalitas yang tidak tunggal semacam itu agak aneh,” tulis Baskara.

Baca juga: Allen Pope, Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon

Ketika Almy akan meninggalkan Bukittinggi, pada 5 Oktober 1957 pasukan pemberontak sedang upacara merayakan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Mereka berdiri di bawah bendera Merah Putih sewaktu korps musik memainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

“Saya melaporkan hal itu kepada markas besar,” kata Almy.

Menurut Baskara, Simbolon hanya meminta bantuan uang dan tidak menyinggung bantuan militer karena hingga saat itu para pemberontak tidak memiliki rencana melancarkan perang terbuka melawan Jakarta untuk mendirikan pemerintahan di luar Republik Indonesia. Bahkan, sampai awal Oktober 1957, Simbolon masih menganggap dirinya sebagai bagian dari TNI di bawah komando militer Indonesia dan pemerintah pusat.

“Dalam pertemuannya dengan Dean Almy di Bukittinggi," tulis Baskara, "Simbolon tidak pernah menyinggung masalah bantuan militer Amerika dan tidak pernah mengatakan bahwa tujuannya adalah memisahkan diri dari Republik Indonesia. Simbolon memandang dirinya sebagai seorang anggota TNI dan mengakui Bung Karno sebagai presidennya."

Kenneth Conboy dan James Morrison dalam Feet to Fire: CIA Operations in Indonesia, 1957-1958, menyimpulkan meski Simbolon teguh di dalam tuntutannya akan otonomi daerah, pada saat yang sama dia tetap setia pada Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.

Baca juga: Frank Wisner, Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia

Namun, menurut Baskara, Almy memiliki pandangan berbeda. Meskipun awalnya para pemberontak meminta bantuan ekonomi, dia tetap menganggapnya sebagai jalan menuju aksi militer oleh Amerika. Sebagaimana dalam laporannya ke markas besar CIA, dia melukiskan permintaan Simbolon itu sebagai “jendela” yang terbuka bagi Washington untuk secara diam-diam melibatkan diri dalam pemberontakan militer luar Jawa terhadap pemerintah pusat yang condong ke kiri.

Laporan Almy itu menjadi semakin penting ketika Washington mengetahui bahwa PKI memperoleh suara yang besar dalam Pemilu daerah di Sumatra. Para pejabat CIA pun mulai mengumpulkan dukungan bagi para pemberontak. Sampai akhir November 1957, CIA berhasil mengumpulkan $843.000 dari simpanannya. Sumber lain menyebut Direktur CIA Allen Dulles menyediakan $10 juta untuk mendukung para pemberontak.

Akhirnya Minta Senjata

Pada akhir Desember 1957, Kolonel Simbolon dan Letnan Kolonel Sjoeib, bertemu Kepala Kantor CIA Singapura James Foster Collins, untuk membicarakan bantuan militer Amerika kepada para pemberontak. Almy hadir dalam pertemuan itu.

“Saya diperintahkan pergi ke Singapura guna bertemu dengan Simbolon, yang telah tiba di sana dengan kapal laut melalui rute penyelundupan di Kepulauan Riau,” kata Almy.

Baca juga: James Foster Collins, Teman Lama Ternyata CIA

Collins dan para pejabat CIA lain menyatakan dukungannya kepada para pemberontak untuk melawan pemerintah pusat. “Berdasarkan perintah dari markas besar, kami menjanjikan kepadanya senjata-senjata dan mengurus supaya beberapa perwiranya dapat dilatih dalam bidang komunikasi agar kami dapat memelihara hubungan. Simbolon nampaknya senang sewaktu dia meninggalkan Singapura,” kata Almy.

Menurut Baskara, merasa yakin didukung Amerika, para pemimpin pemberontak mengadakan pertemuan untuk mematangkan rencana pemberontakan. Mereka mengultimatum pemerintah pusat agar Kabinet Djuanda dibubarkan, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX ditunjuk untuk membentuk kabinet baru; dan Sukarno kembali pada posisi konstitusionalnya dan mendukung kabinet baru. Pemerintah pusat menolak ultimatum itu.

Pada 15 Februari 1958, para pemimpin pemberontak mendeklarasikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Permesta mendukung dan menjadi bagian dari PRRI. Sehingga, sejarah mencatat sebagai PRRI/Permesta.

“Tidak lama setelah itu, senjata untuk 8.000 orang dikirimkan ke Sumatra Tengah,” kata Almy.

CIA mengirim persenjataan lewat laut dan udara. Pemerintah pusat menggelar operasi militer dan berhasil memadamkan pemberontakan. Operasi CIA gagal dan pemerintah Amerika mengubah haluan kebijakannya.

Baca juga: Arthur Campbell, Agen CIA Pertama di Indonesia

Sementara itu, Almy menikahi Barbara A. Ingham di Boston pada 19 Februari 1958, empat hari setelah deklarasi PRRI. Mereka dikaruniai dua anak: Alexandra dan Dean Johnson.

Nampaknya Almy tak melajutkan tugasnya di Indonesia, apalagi operasi CIA gagal di Sumatra. Setelah itu, dia bertugas di Filipina dan Vietnam. Pada 1980, dia menjadi Kepala Stasiun CIA di New York.

Almy bekerja sebagai agen CIA selama 33 tahun. CIA memberinya penghargaan Intelligence Medal of Merit. Setelah pensiun pada 1984, dia pindah ke Bath, Maine, Amerika, di mana dia aktif dalam politik lokal sebagai anggota Dewan Kota.

Setelah tinggal selama 16 tahun di Bath, pada 2000 Almy pindah ke Scottsdale, Arizona. Tak lama kemudian, dia meninggal dunia pada 13 Juni 2001.

TAG

intelijen cia prri

ARTIKEL TERKAIT

Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Peredaran Rupiah Palsu di Taiwan George Benson Kawan Yani Kisah Jenderal Gorontalo Juragan Besi Tua Asal Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Drama Tapol PRRI dan Tapol PKI dalam Penjara Petualangan Nawawi Sukarno, Jones, dan Green Yusman Sudah Komando Sebelum Sekolah Perwira