Gempa tektonik M,56 mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada Selasa, 21 November 2022. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata hingga 23 November 2022 korban meninggal dunia 271 orang, luka-luka 2.043 orang, dan mengungsi 61.908 orang.
Sementara kerugian materil sebanyak 56.320 rumah mengalami kerusakan dengan rincian: 22.241 rumah rusak berat, 11.641 rumah rusak sedang, dan 22.090 rumah rusak ringan. Fasilitas umum lainnya yang terdampak antara lain 31 sekolah, 124 tempat ibadah, tiga fasilitas kesehatan, dan 13 gedung perkantoran.
Sejarah mencatat, gempa yang merusak Cianjur telah terjadi sejak tahun 1834 dan 1844. Bahkan, gempa akibat letusan Gunung Gede pada 1864 menyebabkan ibu kota Keresidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung. Sekitar 15 tahun kemudian, gempa kembali terjadi di Cianjur.
“Pada tanggal 28 Maret 1879 di Cianjur terjadi gempa bumi besar yang banyak menelan korban jiwa,” tulis buku Abstract of Javanese Literature/Sari Literatur Jawa.
Baca juga: Gempa Bumi Mengguncang Cianjur
Menurut Oman Abdurrahman dalam Hidup di Atas Tiga Lempeng: Gunung Api dan Bencana Geologi, sejarah gempa besar yang pernah terjadi di Jawa Barat dengan kawasan yang menerima kehancuran sangat besar, terjadi di tengah zona patahan Palabuanratu–Padalarang. Kawasan yang mengalami kerusakan itu termasuk wilayah administratif Sukabumi. “Tiga kali guncangan gempa di kawasan yang sama, terjadi pada tanggal 5 Januari 1699, 28 Maret 1879, dan 14 Januari 1900,” tulis Oman.
Gempa 28 Maret 1879 mengakibatkan rumah dan bangunan rusak parah dan menelan banyak korban jiwa. Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720–1870, menyebut gempa tahun 1879 mengakibatkan keraton bupati Cianjur yang berfungsi sebagai kediaman sekaligus kantor hancur sama sekali.
Sumber koran The Bombay Guardian, 5 Mei 1879, yang diposting Rendra Agusta, filolog Sraddha Institute, di akun twitter-nya, @KangRendra, melaporkan bahwa gempa mengakibatkan dua orang yang sedang berjaga di tempat asisten residen bagian perbendaharaan tewas tertimpa batu dari reruntuhan tiang. Di dalam masjid, lima orang mati termasuk imam atau ulama. Di Cianjur, hampir semua bangunan, termasuk gedung keresidenan, kantor pos, dan penjara terancam ambruk. Hampir seluruh penduduk Cianjur hidup di ruang terbuka di dalam gubuk-gubuk bambu.
Masjid yang dimaksud adalah Masjid Agung Cianjur yang kini terletak di pusat kota Cianjur. Masjid ini dibangun pada 1810 di atas tanah wakaf dari Nyai Raden Bodedar binti Kangjeng Dalem Sabiruddin, bupati Cianjur keempat dengan gelar Raden Adipati Wiratanudatar IV.
Baca juga: Gempa Besar bagi Bupati Cianjur
Semula ukuran masjid ini sangat kecil. Sekitar tahun 1820, masjid ini pertama kali diperbaiki dan diperluas, sehingga ukurannya menjadi 20x20 meter persegi atau seluas 400 meter persegi. Perbaikan dan perluasan ini dilakukan oleh Penghulu Agung pertama, Raden Muhammad Hoesein bin Syekh Abdullah Rifai. Masjid ini kemudian kena musibah bencana alam. Satu sumber menyebut letusan Gunung Gede telah memicu gempa yang menghancurkan.
“Saat Gunung Gede meletus tahun 1879, Mesjid Agung Cianjur mengalami kerusakan,” tulis buku Visualisasi Tinggalan Sejarah Islam di Tatar Sunda, 1600–1942, Edisi Priangan. Bahkan, seorang ulama terkemuka, R.H. Idris bin R.H. Muhyi, ayah dari ulama besar Cianjur, K.R.H. Muhammad Nuh, meninggal dunia.
Setahun kemudian pada 1880, Masjid Agung Cianjur dibangun kembali oleh Penghulu Agung, R.H. Soelaeman dan R.H. Ma’mun bin R.H. Hoesein yang lebih dikenal dengan panggilan Juragan Guru Waas, dibantu oleh masyarakat Cianjur. Mesjid ini mengalami perubahan bentuk dan dilakukan kembali perluasan bangunan sehingga luasnya mencapai 1.030 meter persegi. Kini, luasnya mencapai 2.500 meter persegi yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi.
Baca juga: Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung
Perbaikan dan perluasan kembali dilakukan pada 1912 oleh R.H. Moch Said, Isa al-Cholid, R.H. Tolhah bin R.H. Ein al-Cholid, dan H. Akiya bin Darham. Memasuki masa kemerdekaan, meskipun beberapa kali mengalami perbaikan sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1974, bentuk arsitekturnya hampir tetap sama, yaitu bentuk atap segi empat. Di tengah-tengah bagian atas atapnya terdapat satu menara besar tunggal atau kubah yang dilapisi seng besi dengan cat putih. Di atas kubah terdapat lambang bulan sabit.
Hingga tahun 2010, Mesjid Agung Cianjur sudah tujuh kali mengalami perbaikan. Perbaikan terakhir yang menghabiskan biaya Rp7,5 miliar dilaksanakan dari 2 Agustus 1993 hingga 1 Januari 1998, semasa Bupati Eddi Soekardi, Harkat Handiamihardja, dan Wasidi Swastomo. Setelah perbaikan tersebut, dari atas dua menara tinggi mesjid ini bisa dilihat pemandangan kota Cianjur.*