EMPAT hari berlalu, gempa yang mengguncang Turki dan Suriah pada Senin (6/2/2023) kini sudah menelan korban lebih dari 70 ribu jiwa tewas dan terluka. Cuaca musim dingin yang buruk mempersulit upaya penyelamatan. Kemungkinan besar jumlah korban masih akan bertambah.
Gempa berskala XI Mercalli atau berkekuatan 7,8 magnitudo yang titiknya berada di kedalaman 17,9 kilometer di Provinsi Gaziantep itu jadi bencana gempa terbesar di Turki pada era modern sejak gempa di Erzincan tahun 1999. Mengutip The Guardian, Kamis (9/2/2023), per hari ini pukul 17.52 WIB, korban tewas di Turki sudah mencapai angka 14.014 dan korban luka lebih dari 63 ribu orang. Sedangkan di Suriah korban tewas mencapai 3.162 jiwa dan 3.750 lainnya terluka. Total, sudah lebih dari 17.176 jiwa yang melayang di dua negara itu, termasuk di dalamnya dua warga negara Indonesia (WNI).
“KBRI Ankara mengevakuasi 123 orang. Dalam rombongan tersebut juga terdapat dua warga negara Malaysia dan 1 warga Myanmar. Tercatat 1 WNI dan anaknya yang berusia 1 tahun meninggal dunia di Kahramanmaras. KBRI Ankara telah pula menyampaikan berupa bantuan bahan makanan melalui Bulan Sabit Merah Turki,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam pernyataan pers di laman resminya, Rabu (8/2/2023).
Sejumlah bangunan di berbagai kota di selatan dan timur Turki luluh lantak. Mulai dari kota Gaziantep, Adıyaman, Diyarbakır, Adana, Malatya, Antakya, Kahramanmaraş, Musabeyli, hingga kota industri İskenderun. Dari ribuan bangunan yang hancur atau rusak berat, empat di antaranya merupakan situs bersejarah warisan dunia. Berikut situs-situsnya:
Kastil Gaziantep
Situs berusia 2.000 tahun ini dilaporkan mengalami kerusakan berat. Menukil CNN, Selasa (7/2/2023), beberapa bagian bangunan kastil yang hancur akibat gempa adalah sejumlah bastion di sisi timur, selatan, dan tenggara. Salah satu bidang temboknya juga kolaps dan railing besi di kastil yang terletak di atas bukit batu Kudret tersebut ikut runtuh sampai ke jalan-jalan di sekitarnya.
Menilik sejarahnya, kastil yang juga disebut Gaziantep Kalesi ini dikuasai Kekaisaran Het/Hittite pada periode 1650-1190 SM. Saat itu ia baru sekadar bangunan pos observasi. Menurut B. Tülek dan M. Atik dalam “Walled Towns as Defensive Cultural Landscapes: A Case Study of Alanya” yang termaktub dalam buku Defense Sites II: Heritage and Future, bangunan kastil di situs itu pertamakali dibangun berturut-turut pada abad kedua dan ketiga Masehi ketika wilayah tersebut dikuasai Kekaisaran Romawi.
“Bangunan kastilnya diperbesar lagi dan diperkuat pada era Byzantium (Romawi Timur, red.) oleh Kaisar Yustinianus antara tahun 527 dan 565 Masehi,” imbuh Tülek dan Atik.
Baca juga: Lima Gempa Terdahsyat di Turki
Kastilnya dibuat berbentuk lingkaran seluas 1.200 meter persegi dari material bebatuan dan diperkuat 12 bastion yang mengelilingi tembok kastilnya. Pada masa Dinasti Ayyubiah hingga Kesultanan Utsmaniyah Sejak (abad ke-12 dan ke-13), kastilnya berulangkali direnovasi akibat peperangan dan gempa yang beberapa kali menimbulkan kerusakan.
Pasca-era berdirinya Republik Turki, kastil ini dijadikan museum. Sejumlah relief dan patung pahlawan nasionalis Turki dihadirkan untuk menggambarkan Kastil Gaziantep sebagai salah satu kubu pertahanan terakhir terhadap serbuan pasukan Prancis pada Perang Kemerdekaan Turki (1919-1923). Bangunan kastil dan struktur air bawah tanahnya masuk daftar warisan dunia UNESCO pada 2018.
Masjid Şirvani
Salah satu situs di kota Gaziantep yang ikut terimbas gempa adalah Masjid Şirvani. Letaknya tak jauh dari Benteng Gaziantep, yakni di distrik Seferpaşa, sebelah barat benteng.
Selain railing besinya, beberapa bagian tembok dan bahkan menara ikonik Masjid Şirvani juga runtuh diguncang gempa beberapa hari lalu. Masjid warisan era Kesultanan Utsmaniyah yang baru dibuka kembali pada 2022 usai direnovasi ini akibatnya tak lagi bisa digunakan untuk ibadah umat muslim di kota itu.
Baca juga: Hagia Sophia dan Keteladanan Sahabat Rasulullah
Hingga kini, belum ada sumber yang memastikan kapan masjid itu mulai dibangun. Cerita rakyat yang berseliweran dari masa ke masa mengatakan, masjid itu sempat rusak dan dibangun kembali di abad ke-17 oleh Şirvani Mehmet Effendi.
“Diperbaiki pada 1681 tetapi muasal kapan aslinya masjid itu dibangun belum diketahui. Bangunan aula sembahyangnya berbentuk persegi panjang dengan sebuah kubah di bagian depan di atas mihrab-nya,” tulis T.A. Sinclair dalam Eastern Turkey: An Architectural and Archaeological Survey, Volume IV.
Masjid yang juga dikenal sebagai Masjid İki Şerefeli atau Masjid Balkon Ganda –merujuk pada menaranya– itu memiliki dua balkon. Bangunannya dipercantik dengan sebuah serambi beratap lengkung kayu sebagai salah satu akses masuk ke masjidnya.
Benteng Diyarbakır
Baik Benteng maupun Taman Hevsel yang berada di dalamnya turut rusak oleh gempa beberapa hari lalu. Namun saat ini pemerintah kota Diyarbakır belum mencatat bagian-bagian mana saja yang rusak berat lantaran masih berfokus pada upaya penyelamatan korban di seantero kota.
Benteng Diyarbakır –dan Taman Hevsel masuk daftar warisan dunia UNESCO sejak 2015– sendiri usianya sudah lebih dari 17 abad. Benteng tersebut dibangun pertamakali tahun 297M menggunakan bebatuan hitam dan basalt di wilayah yang sejak tahun 66 SM dikuasai Romawi dan dinamai Amida.Pada 349 M, Kaisar Konstantius II memperbesar dan memperkuat tembok luar bentengnya dengan bebatuan vulkanik untuk mengelilingi taman, kota, dan bagian dalam benteng guna menangkal segala serangan.
Baca juga: Sepuluh Masjid yang Diubah jadi Gereja (Bagian I)
Sampai 15 abad kemudian, bentengnya terus mengalami renovasi, utamanya di bagian-bagian 82 menara pandang dan empat gerbangnya. Namun pada abad ke-16, bentengnya dihancurkan meriam-meriam pasukan Utsmaniyah kala mengalahkan pasukan Dinasti Safawiyah. Penguasa Utsmaniyah kemudian membangunnya kembali.
“Berlokasi di lereng curam di tepi Sungai Tigris, kota yang dikelilingi tembok benteng itu jadi pusat periode Helenistik hingga masa-masa Romawi, Sasaniyah, Byzantium, zaman Islam, hingga era Kesultanan Utsmaniyah. Di dalam bentengnya terdapat kastil dari abad pertengahan dan Taman Hevsel. Tembok kota sepanjang 5,8 kilometernya terbuat dari bebatuan basalt yang diambil dari Gunung Karacadag,” ungkap Catherine Kuzucuoğlu dalam “The Tectonic Control of the Geomorphological Landscapes of Turkey” yang termaktub dalam buku Landscapes and Landforms of Turkey.
Terakhir kali Benteng Diyarbakır mengalami kerusakan pada 2015. Penyebabnya konflik bersenjata antara milisi Partai Pekerja Kurdistan dan militer Turki. Sepertiga bangunan di kota tua mengalami kerusakan, meliputi sejumlah bagian tembok kota dan beberapa monumennya.
Katedral Anunsiasi İskenderun
Di kota pelabuhan İskenderun, Provinsi Hatay, ratusan bangunan ikut rusak atau hancur nyaris rata dengan tanah akibat gempa dan kebakaran. Satu di antaranya adalah tempat ibadah bersejarah, Katedral Anunsiasi (Kabar Suka Cita) yang berusia 165 tahun.
Rumah ibadah umat Katolik itu bahkan hanya menyisakan beberapa bidang tembok yang masih berdiri. Meski begitu, salah satu patung Madonna atau Bunda Maria di dalam katedralnya masih utuh.
“Berdoalah untuk kami dan para penduduk. Gempanya begitu dahsyat. Katedral kami sudah tidak ada lagi. (Tetapi) patung ini akan jadi kekuatan kami dan bersamanya, kami siap mnghadapi segalanya,” ujar Bapak Antuan Ilgit, dikutip Catholic News Agency, Selasa (7/2/2023).
Katedral Anunsiasi dibangun kaum Karmelit Tak Berkasut pada tahun 1858-1871 lewat bantuan pembiayaan pemerintah Italia. Katedralnya mengalami kebakaran hebat pada 1887 dan diperbaiki lagi pada kurun 1888-1901.
Pada awal abad ke-20, Katedral Anunsiasi dialihkan ke bawah naungan pemerintah kolonial Prancis seiring perluasan wilayahnya dari Suriah. Kendali katedral kembali dialihkan pada 1930 usai tumbangnya Kesultanan Utsmaniyah dan berdirinya Republik Turki. Kali ini ke bawah perlindungan pemerintah Italia hingga 2003 ketika dialihkan ke bawah naungan Ordo Fransiskan Konventual.
Baca juga: Sepuluh Masjid yang Diubah jadi Gereja (Bagian II – Habis)