SEBANYAK sembilan kerangka manusia yang diduga kuat merupakan sisa-sisa serdadu Jepang di era Perang Pasifik yang sudah terkumpul di Kabupaten Biak Numfor, Papua, kini siap diserahkan kepada pemerintah Jepang lewat proses repatriasi. Proses ekskavasi, evaluasi, dan pengumpulannya itu merupakan kelanjutan dari kesepakatan antara pemerintah RI dan Jepang yang sempat tertunda gegara Pandemi Covid-19.
Sebagaimana keterangan pers yang diterima Historia, Jumat (28/6/204), Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid mengungkapkan, ekskavasi sisa-sisa jasad para serdadu Jepang di Papua itu merupakan agenda utama kerjasama antara pemerintah RI dan Jepang dalam “Agreement between the Government of Japan and the Government of the Republic Indonesia on Excavation, Collection and Repatriation of the Remains of Japanese Soldiers who died in the Second World War in the Province of Papua and the Province of West Papua” yang ditandatangani pihak Kemendikbudristek RI dan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang pada 25 Juni 2019. Untuk proses ekskavasinya dibentuklah Tim Teknis Gabungan Indonesia dan Jepang untuk melakukan tugasnya di sekitar Biak.
“Terlepas dari sejarah masa lalu, tentunya upaya ini merupakan misi kita untuk memuliakan manusia sekaligus pengingat agar tidak terulang di masa mendatang,” ungkap Hilmar.
Meski begitu, realisasinya baru bisa dilakukan kurun 20-30 Mei 2024 karena pandemi. Selama ekskavasinya di Pulau Biak tersebut, tim berhasil menemukan dan mengumpulkan setidaknya sembilan dari ribuan serdadu Jepang yang tewas dalam peperangan yang terjadi di Kepulauan Biak. Upaya ekskavasi, evaluasi, dan pengumpulannya juga dipastikan memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, akademis, kesehatan, dan aspek-sosial budaya.
“Berdasarkan keberhasilan dan tentu saja ditambah dengan evaluasi, maka penerapan Prosedur Operasional Standar pada kegiatann berikutnya diharapkan akan memperoleh hasil yang lebih baik lagi. Kegiatan ini sarat dengna nilai kemanusiaan yang merupakan salah satu nilai yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia,” timpal Direktur Pelindungan Kebudayaan Judi Wahyudi.
Namun, langkah berikutnya harus melewati proses identifikasi. Selanjutnya baru disusun kerangka repatriasinya dari Indonesia untuk dipulangkan ke Jepang yang pada era Perang Pasifik (1941-1945, bagian dari Perang Dunia II, red) kehilangan puluhan ribu serdadunya di pesisir utara Papua hingga Pulau Biak.
Baca juga: Gula dari Tulang-Belulang Prajurit di Waterloo
Adu Gempur di Pulau Biak
Dari serangkaian pertempuran dalam Kampanye Papua Barat menghadapi Jepang, Pulau Biak jadi satu dari sedikit sasaran yang akan direbut sepenuhnya oleh serdadu Amerika Serikat. Penyerbuan Biak tak seperti pertempuran-pertempuran lain yang turut mengikutsertakan pasukan Australia dan Selandia Baru.
Dalam Pertempuran Biak (27 Mei-17 Agustus 1944), Australia sekadar membantu sokongan bombardir lewat kapal-kapalnya, seperti kapal penjelajah HMAS Australia, HMAS Shropshire, atau kapal perusak HMAS Warramunga. Jenderal McArthur, panglima Sekutu di Pasifik, menyerahkan tanggungjawab ofensif ke Biak ke pundak Panglima AD ke-6 Amerika Letjen Walter Krueger.
Krueger lantas mengandalkan Komandan Korps I Letjen Robert Lawrence Eichelberger, atasan Riegelman, untuk merancang skema ofensif di lapangan. Jenderal MacArthur berharap operasi di Biak bisa rampung dalam kurun satu minggu.
Tingginya kepercayaan diri MacArthur tak lepas dari laporan intelijen Sekutu yang menguraikan Biak hanya dipertahankan oleh sekira dua ribu serdadu Jepang. Dari laporan intelijen di darat dan pengintaian udara, disebutkan dua ribu personil Jepang itu hanya dipimpin Kolonel AD Kozume Naoyuki dan Laksamana AL Sadatoshi Senda.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali
Namun, menurut sejarawan militer Laksamana Samuel Eliot Morison, ada yang tak diketahui MacArthur dan stafnya. Jepang, kata Morison dalam New Guinea and the Marianas: March 1944-August 1944, ternyata masih bisa mengirim ribuan pasukan bantuan dari Mindanao, Filipina ke Biak lewat Operasi KON yang dipimpin Laksamana Naomasa Sakonju.
“Yang terlupakan oleh Sekutu saat mendarat di Biak pada 27 Mei adalah, hari itu menjadi perayaan ke-39 Pertempuran Tsushima. Peristiwa yang sangat dipuja AL Jepang. Saat Sekutu sudah mendarat di Biak pada 27 Mei, AL Jepang bereaksi ikut mempertahankan dengan niat menyambung kejayaan di Tsushima,” tulis Morrison.
Sesuai skema yang dibuat, pasca-bombardir pembuka dari laut, pasukan Sekutu mendarat di empat titik pendaratan Pantai Bosnek, Biak pada 27 Mei 1944. Pasukan itu berkekuatan 12 ribu prajurit Divisi Infantri ke-41 AD itu merupakan pasukan baru gabungan dari garda nasional negara bagian Oregon, Montana, Washington, dan Idaho.
Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua
Pasukan pendarat itu diikuti 12 tank medium M4 Sherman. Mereka tak menemui perlawanan berarti saat mendarat. Beberapa hari setelah pendaratan, para perwira Amerika baru insyaf bahwa jumlah pasukan Jepang jauh lebih banyak dari informasi awal yang mereka terima.
Perlawanan alot baru ditemui pasukan Amerika kala mencapai Lapangan Terbang Mokmer (kini Bandara Frans Kaisiepo), 10 hari setelah pendaratan. Selain kekuatan pasukan Jepang (11 ribu) ternyata lima kali lipat besarnya dari laporan awal intelijen (dua ribu), para serdadu Jepang dengan pandai menyembunyikan posisi mereka di dalam gua-gua yang mengarah ke lapangan terbang. Belum lagi tambahan ribuan pasukan bantuan yang datang sejak 31 Mei.
“Rencana Operasi KON adalah mengantar 2.500 pasukan tambahan dari Brigade Amfibi ke-2 dari Mindanao ke Biak dengan kapal-kapal pendaratan. Laksamana Naomasa Sakonju juga mengirim kapal penjelajah Kinu, Myoko, dan Haguro; kapal perusak Shikinami, Uranami, dan Shigure; serta kapal tempur Fuso yang berangkat dari Zamboanga pada 31 Mei dan tiba di Biak pada 3 Juni,” sambung Morrison.
Baca juga: Tentara Jepang di Pulau Rempang dan Pulau Galang
Pasukan Jepang, terutama 1.200 serdadu Resimen Infantri ke-222 di bawah Kolonel Kuzume, amat pandai memanfaatkan bentang alam. Unit-unit mortir dan meriamnya dengan baik menyamarkan diri di jaringan-jaringan gua di barat dan timur Pulau Biak. Merekalah yang membuat pasukan lawan berdarah-darah sehingga pertempuran berjalan alot.
“Kuzume paham bahwa selama dia bisa ulet mempertahankan lembah dan bukit di utara Mokmer, dia bisa mencegah Hurricane Task Force (semacam pasukan zeni Amerika) untuk memperbaiki dan menggunakan lapangan terbang Borokoe dan Sorido. Ia tempatkan pasukan gabungan resimennya dan tentara AL Jepang di Kantung Ibdi dan rangkaian gua di timur pulau,” singkap Robert Ross Smith dalam The War in the Pacific: The Approach to the Philippines
Setelah 10 hari, pertempuran tetap berjalan alot alias lewat dari target awal seminggu yang diberikan, MacArthur pun tak puas. Ia memerintahkan Jenderal Krueger mengganti Fuller. Atas rekomendasi Eichelberger, Divisi ke-42 berganti pimpinan ke pundak Brigjen Jens Anderson Doe yang sebelumnya komandan Resimen Infantri ke-136 Divisi ke-42.
Baca juga: Pasukan Jepang Merebut Kuala Lumpur di Musim Durian
Jenderal Doe segera merancang ofensif yang lebih agresif untuk menyisir setiap jaringan terowongan dan gua-gua di pedalaman Biak. Dia mengandalkan apa saja yang bisa digunakan, mulai dari pelontar api (flame thrower), granat, hingga bensin untuk menyulut api hingga ke perut gua. Efek ledakan granat yang dihimpun dalam sebuah tas bisa lebih mengerikan daripada bensin dan pelontar api.
“Setelah sebuah gua meledak, seorang prajurit masuk untuk melihat dampaknya. Beberapa menit dia keluar dengan mengalami pusing dan muntah-muntah. ‘Ya Tuhan, pemandangan (di dalam) sudah seperti neraka. Potongan-potongan tubuh memenuhi dasar gua! Perut-perutnya menganga mengeluarkan isi-isi perutnya. Darah mengalir dari telinga, hidung, mulut, dan mata para jasad tentara Jepang. Sungguh menjijikkan!’” tulis Howard Oleck dalam Eye-Witness World War II Battles.
Pada 20 Juni, pasukan Amerika sudah bisa maju dan merebut landasan terbang Borokoe dan Sorido. Saat itu masih tersisa seribu pasukan Jepang yang bertahan di kubu terakhir dalam gua-gua di timur pulau. Beberapa dari mereka yang mulai putus asa lalu melancarkan serangan bunuh diri.
“Suatu malam sekitar 200 tentara Jepang menyerang yang kemudian semuanya tumbang dengan senapan mesin. Seorang prajurit Amerika mengenang: ‘Itu seperti eksekusi massal. Bunuh diri massal dari pasukan yang memang ingin mati,’” tambah Oleck.
Baca juga: Teror Banzai di Saipan
Untuk mematahkan pertahanan Jepang yang ulet, pasukan Amerika mempertimbangkan penggunaan senjata kimia, terutama senjata gas beracun yang dirampas dari gua-gua yang ditinggalkan pasukan Jepang. Riegelman mengisahkan soal itu dalam bukunya.
“Bagaimana, perwira kimia, apa yang Anda dapatkan dari gua-gua itu?” tanya sang perwira senior.
“Kami mendapat banyak gas yang tak digunakan oleh Jepang, Pak,” jawabnya.
“Berapa banyak yang Anda dapatkan?”
“Kami mengambil dengan jumlah banyak yang kebanyakan asap beracun.”
“Apakah bisa gas itu dipakai untuk melawan Jepang, walau beberapa staf saya tak setuju?”
“Pak, menurut saya staf Anda benar dan saya yakin Anda akan dibebastugaskan dalam 24 jam setelah Anda menggunakan gas. Walau pada akhirnya kita akan kehilangan lebih banyak waktu dan korban jika tak memakai gas,” jelas Riegelman.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Pertimbangan memakai senjata kimia itu akhirnya tak lagi dijadikan isu. “Saya tak pernah menyangka akan mendapati suatu hari di mana saya harus menentang penggunaan gas terhadap Jepang, terutama senjata gas mereka sendiri. Tetapi saya pikir itu adalah tindakan yang benar,” kenang Riegelman.
Lebih dari 700 personil Jepang yang tersisa tetap melakukan perlawanan sengit dengan mengandalkan alam. Sikap itu membuat banyak perwira Amerika kagum pada keteguhan hati dan keuletan strategi para personil pertahanan yang dipimpin Kolonel Kuzume.
“Menyadari posisinya yang tanpa harapan, perwira yang berani ini (Kolonel Kuzume) mampu membangkitkan semangat resimennya (Resimen Infantri ke-222). Entah kemudian dia bunuh diri atau tewas dalam pertempuran, namun kematiannya menandakan berakhirnya pertahanan efektif dan ulet pasukannya,” tandas Morison.
Seluruh Pulau Biak akhirnya bisa direbut pasukan Amerika pada 17 Agustus 1944. Namun, tujuan strategis MacArthur untuk bisa menggunakan Biak sebagai basis sokongan udara guna kampanye di Kepulauan Mariana tak tercapai. Lapangan-lapangan udara di Biak baru bisa digunakan pada September 1944 untuk menyokong ofensif via udara ke Kepulauan Palau dan Mindanao.
Dalam 52 hari Pertempuran Pulau Biak, tercatat 438 prajurit Amerika tewas dan 14 lainnya masih hilang sampai saat ini. Adapun Jepang kehilangan 4.700 prajuritnya tewas dan kebanyakan jasadnya hilang. Seiring waktu, akhirnya ada upaya penggaliannya yang baru menemukan sembilan kerangka yang diduga kuat merupakan bagian dari ribuan serdadu Jepang yang gugur itu.
Baca juga: Opsir Jepang Membelot di Front Sumatra