Pasca menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, nasib para serdadu Jepang di Indonesia mengalami ketidakjelasan. Resminya, mereka harus menyerahkan diri kepada Sekutu sebagai pemenang perang. Namun nyatanya sebagian kecil memilih untuk membelot ke kubu pejuang Indonesia dan terlibat aktif dalam perlawanan terhadap Belanda pada 1946-1949.
Mengacu kepada catatan arsip Yayasan Warga Persahabatan Indonesia-Jepang yang berkedudukan di Jakarta, usai Perang Dunia II terdapat 903 eks serdadu Jepang yang ikut andil dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Namun menurut peneliti sejarah asal Jepang Eiichi Hayashi, jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari itu.
“Pada kenyataannya terdapat sekitar 1000-an orang (eks tentara Jepang) yang masih berada di Indonesia. Sampai akhirnya, mereka pun tetap tinggal di Indonesia,”ungkap Hayashi dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono.
Baca juga: Desersi Jepang Masa Perang Kemerdekaan
Pada Juli 1948, Kapten Machmud dari Komisi 5 (tim yang dibentuk TNI untuk mendata keberadaan eks tentara Jepang di Indonesia) menemukan kenyataan ada sekira 100 eks tentara Jepang di Tapanuli dan Sumatera Tenggara. Mereka yang terdiri dari opsir, prajurit dan warga sipil kebanyakan tergabung dengan berbagai badan kelasykaran.
Salah satu opsir Jepang yang membelot itu adalah Kapten Tetsuro Ino’e. Menurut sejarawan Aiko Kurasawa, sejatinya Inoe’e merupakan sekretaris komandan pasukan di teritorial Letnan Kolonel Matsuma. Dia kemudian diangkat menjadi Kepala Bagian Polisi Sumatra lalu didapuk menjadi bunshutjo (regent) Serdang.
Saat menjabat sebagai bunshutjo Serdang itulah, Ino’e membentuk teishintai (pasukan sukarela). Di kalangan orang Sumatra Utara, pasukan itu lebih dikenal sebagai Barisan Harimau Liar (BHL).
“(Ino’e) menunjuk Yakob Siregar sebagai salah satu komandannya,” ungkap Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia.
Ketika militer Jepang menyerah kepada Sekutu, Ino’e melarikan diri dari kedudukannya dan menggabungkan diri dengan BHL. Dia lantas mengambilalih secara langsung organ bersenjata yang dibentuknya tersebut dan memimpin perlawanan terhadap Belanda di pegunungan Karo.
Sebagai badan kelasykaran yang tidak terhubung dengan TNI, BHL menjalankan program perjuangannya secara mandiri. Di kalangan orang-orang Karo saat itu, BHL tak lebih dikenal sebagai organ liar yang para anggotanya berprilaku sangat brutal. Hal itu terbukti saat mereka membantai 3.000 tawanan Sekutu yang dibebaskan dari kamp Sumatra Timur.
Sejak itulah, intelijen Belanda memburu Ino’e. Pada sekitar akhir 1948, lelaki berparas tampan itu diringkus oleh Polisi Militer Tentara Indonesia dan berada dalam “perlindungan” militer Indonesia. Pada 1953, dia kemudian dibebaskan dan pulang ke Jepang.
Jika Ino’e lebih dikenal sebagai figur antagonis, maka tidak demikian dengan Chui (Letnan Satu) Hiroshi Maeda. Sejak menjadi instruktur Gyugun (sejenis pasukan Pembela Tanah Air yang dibentuk di Sumatra) untuk wilayah Aceh Utara, Maeda sudah memiliki rasa simpati yang besar kepada perjuangan orang-orang Indonesia.
Baca juga: Kolonel Jepang di Medan Area
Karena itulah, begitu Jepang menyerah kepada Sekutu, pada 15 Desember 1945 Maeda memutuskan untuk bergabung dengan para eks anak didiknya yang saat itu sudah bergabung dengan Tentara Keamanan Rakjat (TKR).
Pelarian Maeda terbilang sangat dramatis. Dikisahkan dalam biografi kecilnya Maeda Memilih Republik, sang opsir Jepang itu melarikan diri dari kesatuannya dengan menumpang truk yang membawa orang-orang Jepang yang sakit dari Lhok Seumawe ke Kisaran. Kepada sopir truk dia mengatakan bahwa dirinya mendapat tugas khusus dan minta disembunyikan. Sopir truk itu menyanggupi.
Menjelang Idi Rayeuk, Maeda menyuruh sopir truk mempercepat laju kendaraan. Di belokan terakhir, laju kendaraan tetiba diperlambat lalu Maeda meloncat dari kendaraan dan menghilang di keramaian.
Maeda melaporkan diri kepada wedana setempat bahwa dirinya adalah tentara Jepang yang memiliki keinginan bergabung dengan gerakan perjuangan Indonesia. Setelah itu, dia pergi ke rumah Hanafiah. Kedatangannya disambut gembira oleh eks anak buahnya di Gyugun tersebut.
Baca juga: Cerita Para Desersi Jepang
Sejak itu, Maeda resmi menjadi bagian dari TKR. Banyak jasa yang dilakukan oleh Maeda untuk perjuangan Indonesia di Aceh. Selain dikenal sebagai komandan lapangan yang handal, lelaki yang setelah masuk Islam merubah namanya menjadi Maeda Sofyan itu juga banyak berperan dalam pelucutan senjata tentara Jepang.
Menurut jurnalis sejarah terkemuka asal Medan Muhammad TWH banyak sekali masalah yang berhasil dituntaskan oleh Maeda termasuk saat terjadi penghadangan dan pertempuran merebut senjata tentara Jepang di Krung Panjot, Cunda dan tempat-tempat lainnya.
“Penyelesaian yang diambil adalah menjamin keselamatan tentara Jepang dan menyerahkan sebagian besar senjata kepada lasykar rakyat dan TKR,” ungkap Muhammad TWH dalam Sumatera Utara Bergelora.
Baca juga: Kisah Buronan Sekutu