Di Dampit 27 tahun yang lalu, orang-orang mengenal lelaki sepuh itu sebagai Soekardi. Dia dikisahkan bertubuh tidak tinggi namun kekar, dengan sepasang mata sipit yang menyorot tajam. Tak ada orang di desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Malang itu yang paham asal usul Soekardi secara pasti kecuali dia adalah mantan pejuang yang dulu pernah berperang melawan tentara Belanda.
Soekardi tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun sekali-kali dia terlihat menjadi sejenis pesuruh di Lembaga Permasyarakatan Dampit. Lama tinggal di Dampit, tiba-tiba lelaki tua itu hilang dari peredaran. Tak ada satu pun warga Dampit yang tahu hingga kini di mana Soekardi berada.
Menurut Rahmat Shigeru Ono salah seorang zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal dan memilih berjuang untuk Indonesia) Soekardi adalah Nagamoto Sugiyama, zanryu nihon hei yang pernah bergerilya bersama pejuang-pejuang Indonesia di hutan-hutan sekitar Malang Selatan dan Blitar pada 1948-1949.
Baca juga: Hantu Jepang di Kaki Semeru
Nama Soekardi dalam sumber-sumber Sekutu tercatat sebagai eks anggota Kempeitai (Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) dan berstatus penjahat perang. Salah satunya disebutkan Fred L. Borch dalam Military Trials of War Criminals in the Netherland East Indies 1946-1949. Dituliskan, Nagamoto merupakan buronan berbahaya yang berhasil kabur dari Penjara Cipinang, Jakarta pada 1946.
“Memang benar, setelah kabur dari Cipinang, Nagamoto dicari-cari pasukan Inggris dan Belanda,”ujar Shigeru.
Shigeru dan Nagamoto adalah anggota Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). Itu adalah nama unit khusus beranggotakan 28 eks tentara Jepang yang ada di bawah komando Brigade Surachmad. Awalnya PGI dipimpin oleh Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi). Namun karena sakit-sakitan (kemudian meninggal pada 10 Agustus 1948), Mayor Arief diganti oleh Mayor Abdul Rachman (Tatsuo Ichiki).
Pergantian itu diprotes oleh sebagian anggota PGI pimpinan Hasan (Toshio Tanaka). Mereka menyebut Abdul Rachman tak layak memimpin PGI karena dia bukan seorang militer tulen. Di ketentaraan Jepang, Abdul Rachman hanyalah seorang penerjemah.
“Soal ini menjadi sebab utama pecahnya PGI di kemudian hari, sehingga menyebabkan 10 kawan kami mengundurkan diri dan lebih senang bergabung dengan TNI di Jawa Tengah”ujar Shigeru Ono.
Kendati tinggal 18 orang, PGI tetap menjadi pasukan andalan TNI di wilayah gerilya sekitar Gunung Semeru. Jumlah yang sedikit membuat mereka bisa bergerak secara leluasa dan menerapkan disiplin keras. Tak aneh jika kemudian PGI ditakuti oleh para serdadu Belanda.
Salah satu penyerangan PGI yang sukses terjadi saat bersama pasukan dari Brigade XIII menghancurkan markas tentara Belanda di Pajaran pada 31 Agustus 1948. Akibatnya 20 prajurit Belanda tewas dan puluhan senjata mereka ikut hancur.
Sukses di Pajaran, mereka ulangi pula di Poncokusumo pada 18 September 1948. Lewat suatu serangan fajar, PGI kembali berhasil menghabisi tanpa ampun posisi pasukan Belanda.
“Penyerangan di Poncokusumo juga berhasil secara gemilang: serdadu musuh semua tewas, sedang di pihak kami tak ada satu pun jatuh korban. Bisa dikatakan kami terus menuai kemenangan sejak itu” kata Shigeru.
Awal 1949, PGI dilebur dalam sebuah kesatuan baru bernama Pasoekan Oentoeng Soerapati 18 (POS 18). Para zanryu nihon hei yang tergabung di dalamnya tetap meneruskan perjuangan hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Shigeru Ono (Rahmat), Toshio Tanaka (Hasan), Nagamoto Sugiyama (Soekardi), Syoji Yamaguchi (Husin), Goro Yamano (Abdul Majid) dan prajurit-prajurit eks PGI lainnya memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia.
*
Majalaya, Maret 1946. Pertempuran antara tentara Jepang dengan para pejuang Indonesia dari kesatuan Pasukan Pangeran Papak (PPP) itu hanya berlangsung sebentar. Alih-alih melakukan perlawanan sengit, pimpinan tentara Jepang yang bernama Masharo Aoki bersama 40 anak buahnya malah menyerahkan diri kepada komandan PPP, Mayor S.M. Kosasih.
“Mereka tadinya mau dibunuh semua, tapi dicegah oleh ayah saya karena dia berpikir tenaga pasukan Jepang itu akan berguna saat melawan tentara Belanda,”ungkap salah seorang putra dari Kosasih.
Eks tentara Jepang yang di dalamnya juga terdapat orang-orang Korea itu kemudian dibawa ke Wanaraja (Garut) dan diperlakukan sangat baik sebagai para tawanan perang. Merasa terkesan, Aoki kemudian menyatakan kepada Mayor Kosasih untuk masuk Islam sekaligus bergabung dengan PPP. Permintaan itu diamini oleh Kosasih dengan membawa Aoki ke hadapan guru spiritualnya Raden Djajadiwangsa, untuk diislamkan.
“Kakek saya lalu memberi nama baru buat Aoki yakni Abu Bakar, sahabat utama dari Nabi Muhammad SAW,” ujar Raden Ojo Soepardjo, salah seorang eks anggota PPP.
Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang
Maka resmilah Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya menjadi anggota PPP. Sesuai keahlian masing-masing, Kosasih lantas menempatkan mereka sebagai instruktur militer sekaligus komandan-komandan seksi. Ada pula yang ditempatkan sebagai tenaga medis karena memiliki latarbelakang sebagai dokter tentara, seperti Senya alias Ali.
“Tapi mereka menolak untuk diberi pangkat…” ungkap Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita (Wakil Komandan PPP) dalam catatan hariannya.
Nama Abu Bakar tercatat dalam berbagai dokumen sejarah Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi MIliter Belanda II Jilid ke-9 menyebut Abu Bakar sebagai pemimpin gerilyawan Indonesia yang cukup piawai di wilayah Garut-Tasikmalaya.
Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja dan kota Garut kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Dua orang Korea, Guk Jae- man alias Soebardjo dan Yang Chil Sung alias Komarudin menjadi tulang punggung pasukan. Jika Jae-man mengkoordinasi operasi-operasi intelijen, maka Chil Sung bergiat sebagai koordinator Kelompok Putih, sebuah grup khusus sabotase dan penghadangan.
Baca juga: Drama di Gunung Dora
Chil Sung kerap membuat gerah militer Belanda dengan aksi-aksi jebakannya. Misalnya, dia sering terlihat sendirian menggembala kambing lalu mengarahkan salah satu ternaknya yang sudah dipasang bom ke arah kendaraan tempur Belanda.
“Tak jarang jebakan bom kambing Komarudin itu menimbulkan korban yang tak sedikit di pihak Belanda,” ungkap Odjo.
Namun tak ada aksi PPP yang paling monumental selain penghancuran Jembatan Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut pada sekitar 1947. Suatu hari tim telik sandi yang dipimpin Soebardjo memberikan informasi bahwa dalam waktu dekat militer Belanda akan menyerang Wanaraja dan menguasainya.
Berdasarkan laporan itu, suatu pagi Komarudin dan tim-nya bergerak ke Jembatan Cinunuk yang menjadi penghubung Wanaraja-Garut. Mereka kemudian meledakan jembatan tersebut sehingga tidak bisa dilewati. Maka gagallah upaya militer Belanda menguasai Wanaraja.
Pasca perang, orang-orang Jepang yang tergabung dengan PPP kemudian membubarkan diri. Ada yang kembali ke Jepang, namun ada pula yang memilih untuk menjadi warga negara RI. Abu Bakar sendiri gugur ditembak mati militer Belanda pada 21 Mei 1949.
*
Baca juga: Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan
Berbeda dengan kelompok eks tentara Jepang di Malang dan Garut yang memilih bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia, di wilayah Banyumas justru ada eks tentara Jepang memilih menjadi petualang yang kerjaannya merampok.
Dikisahkan dalam Met de TNI op Stap karya Ant.P. de Graaff, pada 1948-1949 sekelompok eks anggota Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) berkeliaran di wilayah sekitar Wonosobo. Mereka pura-pura menjadi bagian dari TNI dan mengaku sering terlibat dalam berbagai pertempuran dengan tentara Belanda.
“Tapi nyatanya kerjaan mereka hanya merampok harta rakyat di desa-desa, terutama merampas kuda dan bahan makanan,” ungkap Iman Sardjono, eks anggota Tentara Pelajar di Banyumas.
Sebagai kesatuan TNI yang bertanggungjawab di wilayah Banyumas, Pasukan “T” Ronggolawe tidak membiarkan aksi mereka. Pada suatu kesempatan dirancanglah pengepungan terhadap pasukan eks tentara Jepang tersebut. Namun sayang, sebelum dilucuti, mereka sudah kabur ke arah komplek Gunung Sumbing. Selanjutnya tak pernah terdengar lagi bagaimana kiprah mereka.