AWAL Februari 1948, sesuai kesepakatan Perjanjian Renville, Divisi Siliwangi harus meninggalkan kantong-kantong mereka di seluruh Jawa Barat dan menempati basis baru mereka di sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sebagai pasukan laskar yang sudah melebur ke Divisi Siliwangi, Pasoekan Pangeran Papak (PPP) tak terlepas dari kewajiban tersebut.
Baca juga: Harimau-Harimau Garut
“Namun sesampai di Yogyakarta, ayah saya meminta agar sebagian besar personil PPP pulang kembali guna tetap meneruskan perlawanan terhadap Belanda di Garut,” ungkap Basroni (56), salah satu putra Mayor S.M. Kosasih (Komandan PPP).
Kosasih yang diangkat menjadi staf di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta lantas menyerahkan kepemimpinan PPP kepada wakilnya, Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita. Atas perintahnya pula, PPP kemudian membentuk komando gabungan dengan beberapa kesatuan gerilya Indonesia lainnya di Garut: Pasoekan Taroenadjaja, Pasoekan Banteng dan Pasoekan Dipati Oekoer.
“Mereka membentuk (Markas Besar) Gerilja Galoenggoeng, yang bermarkas di hutan Gunung Dora, Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya), “ demikian menurut catatan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid VII: Periode Renville.
Sebagai komandan MBGG, dipilihlah Letnan Dua Djoeana. Dia kemudian memilih beberapa eks tentara Jepang sebagai bagian dari tim-nya. Aboe Bakar/Masharo Aoki (koordinator eks tentara Jepang di PPP) dipilih Djoeana untuk membawahi pelatihan militer. Sedangkan untuk bagian intelijen dan operasi tempur, Djoeana tetap mempercayakannya kepada duo Korea: Soebardjo (Guk Jae-man) dan Komaroedin (Yang Chil Sung).
MBGG sendiri ada di bawah koordinasi Brigade Tjitaroem, pimpinan Letnan Kolonel Soetoko. Namun pada Agustus 1948, Soetoko terciduk militer Belanda sehingga Brigade Tjitaroem kemudian berpindah pimpinan kepada Letnan Dua Tjoetjoe Adiwinata, pimpinan Pasoekan Taroenadjaja.
“Selain menghadapi militer Belanda dan pasukan Negara Pasundan, MBGG juga bertugas untuk mengondisikan upaya penyusupan prajurit-prajurit Divisi Siliwangi dari wilayah Republik ke Garut dan Tasikmalaya,” demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa yang ditulis oleh Tim Penyusun Sejarah Militer Kodam VI Siliwangi.
*
Senin, 25 Oktober 1948. Gelap membekap Desa Parentas malam itu. Di markas MBGG, Djoeana, Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman, masih terlibat dalam pembicaraan serius sekitar pengkondisian pasukan penyusup dan pembahasan taktik untuk melawan pasukan Negara Pasundan dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sementara keempatnya melakukan pertemuan, di ruangan lainnya Soebardjo yang sedang sakit tengah berbaring. Di luar, penjagaan dilakukan oleh dua gerilyawan asal Korea, Adiwirio (Woo Jong Soo), Oemar (Lee Gil Dong) serta 4 orang Jepang, salah satunya kerap dipanggil Soenario.
Hingga lewat tengah malam (memasuki Selasa, 26 Oktober 1948), rapat masih terus berlangsung alot. Tepat pukul 01.30, tetiba terdengar rentetan tembakan. Bersamaan munculnya suara tembakan tersebut, tim buru sergap Yon 3-14-RI langsung mendobrak pintu gubuk tempat para pimpinan MBGG tengah rapat setelah sebelumnya berhasil melumpuhkan para penjaga.
“Ayah saya yang sedang ngetik, tidak sempat meraih senjata. Mereka yang ada di ruangan itu kemudian langsung ditawan,” ujar Kandar, putra tertua dari Djoeana.
Operasi penggerebakan Tim 3-14-RI itu berhasil menewaskan 3 orang Jepang dan meringkus Soebardjo, Aboe Bakar, Komaroedin, Oesman dan Djoeana. Sementara 2 orang lainnya yakni Adiwirio dan Soenario berhasil lolos. Namun menjelang siang, Soebardjo mencoba lari dan langsung dieksekusi.
“(Soebardjo) tertembak mati…” tulis Djoeana dalam selembar catatan hariannya. Dengan tertembaknya Soebardjo maka berakhirlah drama di Gunung Dora.
Haji Udin (83), masih ingat bagaimana keempat tawanan itu digiring dari Gunung Dora dalam tatapan duka para penduduk Parentas. Laiknya tawanan berbahaya, mereka diperlakukan sangat ketat: tangan dan leher diikat tali yang memanjang dan dipegang para prajurit 3-14-RI secara bergantian.
“Saya melihat selain Pak Aboe Bakar, tawanan lain ditutupi mukanya dengan sarung, ‘ungkap Haji Udin yang saat itu masih berusia 12 tahun.
Di Desa Pameungpeuk, tetangga Parentas, rombongan militer Belanda yang membawa 4 tawanan itu berhenti. Mereka lantas membakar rumah-rumah yang pemiliknya dicurigai sebagai antek kaum gerilyawan Republik. Menurut Emen (92), salah seorang saksi mata kejadian itu, penentuan dibakar-tidaknya suatu rumah didasarkan atas petunjuk seorang bumiputera yang ikut militer Belanda saat itu.
“Kami tahu dia orang Panyeredan (tetangga Pameungpeuk). Tak kami sangka ternyata dia anjing Belanda,”ujar Emen.
Seterusnya tawanan dibawa ke Ciharus (markas tentara Belanda di wilayah Wanaraja), lalu dibawa ke Jakarta. Menurut catatan harian Djoeana, mereka kemudian dipisahkan: Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman ditahan di Penjara Glodok sedangkan Djoeana dijebloskan ke Penjara Cipinang.
Baca juga: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia
*
PADA Februari 1949, pengadilan militer Belanda di Jakarta memutuskan Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman dihukum mati sedangkan Djoeana hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup. Pertengahan Mei 1949, ketiga eks tentara Jepang itu lantas dibawa kembali ke Penjara Garut. Menurut Yoyo Dasrio salah seorang jurnalis Garut yang sempat menelusuri kisah ini, dua hari menjelang hukuman mati dilangsungkan mereka bertiga membuat permintaan terakhir.
“Saya dengar sendiri dari Lebe (penghulu agama Islam) yang mengurus mereka bertiga menjelang kematian, saat menjalani hukuman mati mereka ingin berpenampilan seperti bendera Republik Indonesia: memakai sarung merah dan baju serta celana berwarna putih,”ungkap Yoyo kepada saya pada 2015.
Sabtu, 21 Mei 1949 (berdasarkan berita yang dilansir dari surat kabar Nieuwe Courant, 24 Juni 1949), Aboe Bakar, Komaroedin dan Oesman digiring ke kawasan komplek pemakaman Belanda (Kerkof) di Garut. Tepat di pinggir Sungai Cimanuk, mereka ditembak mati dalam penampilan seperti bendera Merah-Putih. Jasad mereka kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pasirpogor, sebelum pada 1975 dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.
Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang