Pada 1933-1934 wabah penyakit pes merajela di Priangan. Menurut Terence H.Hull dalam Death and Disease in Southeast Asia (disunting oleh Norman Owen), sekitar 15.000 orang Priangan tewas akibat penyakit yang diakibatkan oleh bakteri bernama Yersinia pestis tersebut. Hingga 1939, penyakit pes tetap menjadi hantu yang menakutkan di Jawa.
Garut termasuk kawasan yang menyumbangkan korban agak besar. Dalam catatan Adrianus Bonnebaker dalam Over Pest, selama setahun wabah sampar merajalela, ratusan warga Garut telah meregang nyawa akibatnya. Tragedi itu menimbulkan trauma yang mendalam hingga puluhan tahun kemudian.
“Zaman itu jika ada tikus dalam jumlah belasan saja terlihat mati di jalanan, ketakutan kami akan wabah penyakit pes muncul kembali,” kenang Ucun (92), warga asal Cigadog, Garut.
Baca juga:
Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa
Namun saat berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949), para pejuang Indonesia di Garut justru memanfaatkan ketakutan kepada penyakit pes itu sebagai media untuk melakukan teror terhadap para prajurit Belanda. Adalah Mayor Saoed Mustofa Kosasih, Komandan Kesatuan Pasoekan Pangeran Papak (PPP) yang kali pertama memiliki ide untuk menjadikan bakteri Yersinia pestis sebagai senjata biologis untuk menghancurkan mental tempur pasukan Belanda.
“Ayah saya juga menjadikan isu penyakit pes sebagai alat untuk melakukan perat urat syaraf dengan (pasukan) Belanda,” ujar Basroni Kosasih, berusia 65, salah satu putra dari almarhum Mayor Kosasih.
Munculnya ide tersebut bermula dari laporan mata-mata PPP yang menyebut adanya satu seksi patroli pasukan Belanda yang balik badan ke posnya usai melihat beberapa tikus mati di jalanan. Rupanya mereka sangat takut terhadap bakteri pes di tubuh kutu-kutu hitam yang banyak bersarang di bulu tikus.
Baca juga:
Menurut Ojo Soepardjo Wigena, informasi dari telik sandi itu lantas didiskusikan dan dianalisa oleh Tim Intelijen PPP yang dipimpin oleh Soebardjo alias Shiroyama alias Guk Jae-ma, seorang mantan prajurit Jepang berkebangsaan Korea.
“Ikut pula memberi masukan kepada Pak Mayor, seorang dokter yang merupakan bekas anggota tentara Jepang yang nama Indonesia kalau tidak salah adalah Ali, “ungkap eks anggota PPP asal Wanaraja, Garut itu. Maka dibuatlah rencana.
Baca juga:
Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang
Langkah pertama yang dilakukan oleh Mayor Kosasih adalah memerintahkan kepada anak buahnya untuk berburu tikus di sawah-sawah sekitar Wanaraja, tempat markas PPP. Bagi para anggota PPP yang mayoritas adalah bekas petani, pekerjaan mencari tikus bukanlah hal yang susah. Maka setelah berhari-hari, terkumpullah sekitar 10 karung tikus.
Malam hari-nya karung-karung berisi tikus itu dibawa ke wilayah pos-pos militer Belanda. Secara diam-diam, binatang pengerat itu lantas dilepaskan dan dibiarkan masuk ke markas pasukan Belanda. Begitu tiap minggu mereka lakukan.
Tidak jelas benar apakah kemudian ada serdadu Belanda yang terkena penyakit pes. Yang terang, teror penyakit sampar membuat markas-markas Belanda di Garut jadi mencekam. Beberapa penduduk sekitar pos membuat kesaksian kepada Mayor Kosasih bahwa banyak prajurit Belanda menyingkir dan bahkan terlihat sakit saat dibawa ke kota.
Baca juga:
“Taktik tikus” juga dilakukan oleh PPP untuk lolos dari kejaran militer Belanda. Caranya, saat akan melakukan penyangongan (penghadangan konvoi militer Belanda) di suatu wilayah, selain logistik, para gerilyawan PPP pun membawa serta pula berkarung-karung tikus yang sudah mati diracun.
Begitu penyangongan usai dan berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda sekaligus merampas senjata mereka, unit PPP akan mundur kembali ke hutan-hutan. Namun bantuan militer Belanda kadang nekat terus memburu mereka. Maka saat mundur itulah, tikus-tikus mati tersebut disebar sepanjang jalan. Alih-alih terus melakukan perburuan, para prajurit Belanda itu malah balik badan dan tak mau menghadapi resiko kena penyakit pes.
Menurut Ojo, penyebaran tikus-tikus mati juga kerap dilakukan untuk mencegah pembersihan yang dilakukan oleh para prajurit Belanda terhadap suatu kampung. Begitu mendapat informasi akan ada pergerakan pasukan Belanda ke pelosok, orang-orang kampung lalu menyebarkan tikus-tikus mati di jalanan desa. Maka selamatlah desa tersebut dari teror pasukan Belanda yang teryata lebih takut kepada teror sampar daripada teror gerilyawan Indonesia.