Juli 1948. Matahari nyaris di atas ubun-ubun. Teriknya membekap jalur Cianjur-Bandung, ketika sebuah sedan meluncur dari arah Jakarta. Di Kampung Belendung, tetiba 7 anggota polisi NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) menghentikan mobil yang berisi 5 orang Belanda (salah satunya seorang perempuan).
Begitu mobil berhenti, para polisi gadungan itu langsung berupaya melakukan peringkusan. Alih-alih menyerah, para penumpang sedan tersebut (yang ternyata anggota militer Belanda) malah melakukan perlawanan. Terjadilah pergumulan dan tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya keempat lelaki Belanda itu. Sedangkan yang perempuan ditawan dan tak ada yang mengetahui bagaimana nasib dia selanjunya.
“Orang-orang yang menyamar sebagai polisi itu tak lain adalah Koim dan gerombolannya,” ungkap Raden Makmur (93), salah seorang anggota Lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) di Cianjur.
Baca juga:
Koim adalah salah satu jagoan yang sangat ditakuti di wilayah utara Cianjur pada masa revolusi. Selain dikenal sebagai pejuang, dia pun kerap menjalankan praktek-praktek teror dan kriminalitas guna memenuhi kebutuhan pasukannya. Sebagai target, Pasukan Koim memilih orang Belanda dan orang-orang Indonesia yang dianggap pro Belanda(sipil maupun militer) .
“Saat melakukan penjarahan, dia tak segan-segan berlaku kejam kepada para korbannya,” ujar Makmur.
Kebrutalan Pasukan Koim, membuat militer Belanda geram. Mereka lantas mengirimkan satu unit Baret Hijau dari KST (Korps Pasukan Khusus) untuk memburu kelompok tersebut. Pada Agustus 1948, Koim berhasil diringkus di Purwakarta. Dia kemudian dibawa ke Penjara Cianjur dan baru pada 1950 menghirup udara bebas.
Baru beberapa hari menikmati udara luar penjara, dia diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan. Saat menuju tempat pertemuan itulah, di Jembatan Mande tetiba seorang lelaki mendekatinya lalu menembak kepalanya dengan supucuk pistol. Maka tamatlah riwayat Koim, sang jagoan dari Cianjur utara.
Di Cibarusa (beberapa puluh kilometer dari tempat Koim beroperasi) usai proklamasi muncul seorang jagoan bernama Pak Macan. Begitu pula di Karawang ada figur Camat Nata dan Pak Bubar, dua tokoh dunia hitam yang karena kebutuhan revolusi “terpaksa” diangkat sebagai pejabat pemerintahan (camat dan bupati).
“Malah Pak Macan dilantik sebagai kepala keamanan di Cibarusa oleh Presiden Sukarno sendiri saat dia sedang berkampanye melewati wilayah itu pada akhir 1945,” ungkap sejarawan Robert B.Cribb kepada Historia.
Menurut peneliti sejarah Indonesia John R.W. Smail, sejatinya istilah “jago” diambil dari “ayam jago”. Kata itu mengacu kepada karakteristik seorang lelaki yang senang berkoar, garang dan bersenjatakan golok.
“Haruslah dipahami bahwa jago tidak lebih dari sekadar penjahat pedesaan, sejenis dengan bandit di Eropa,” ungkap Smail dalam Bandung in the Early Revolution, 1945-1946 (diterjemahkan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946).
Namun kelompok jago adalah institusi sosial yang diakui, kendati menyimpang. Mereka memiliki mitos-mitos yang dapat dibuktikan kebenarannya, misteri yang diyakini secara kolektif dan para pemimpin kharismatik, meskipun cakupannya terbatas. Semua itu memang sengaja diciptakan sebagai alat teror guna menuntut ketaatan dan penciptaan situasi eksploitatif terhadap rakyat.
Baca juga:
“Kasus-kasus seperti itu juga terjadi di Bandung, Cimahi dan Padalarang,” ungkap Smail. Umumnya para jago juga memiliki hubungan baik dan simbiotik dengan lasykar-lasykar besar seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan LRDR (Lasykar Rakjat Djawa Barat).
Pada Desember 1945, tersebutlah seorang jago bernama Soma. Dia mengangkat dirinya sebagai camat setelah merebut kekuasaan dari seorang pamongparaja di Cisarua, sebuah kawasan perbukitan yang terletak di di utara Cimahi. Setelah berkuasa, Soma menyebarkan rumor bahwa dirinya ada untuk membagikan kekayaan para hartawan kepada rakyat.
Gerombolan Soma kemudian merajalela sedikit ke barat. Di Padalarang, mereka mengambilalih suatu pusat misionari Katholik untuk dijadikan markas besar dan menciptakan sejenis “republik jago” di kawasan tersebut.
Demi menghindari para jago itu, para pamongpraja yang sebelumnya berkuasa terpaksa menyingkir ke kota. Kekosongan politik di tingkat kecamatan dan desa itu langsung diisi oleh para jago binaan Soma.
Kentalnya suasana anti pamongpraja yang dianggap hanya sebagai bekas begundal Jepang memunculkan suatu bentuk kekuasaan yang lebih “anti feodal dan merakyat serta revolusiener”. Euforia itu terasa konkret jika melihat penampilan para kepala desa yang jauh berbeda dengan di masa kekuasaan Jepang dan Hindia Belanda.
Baca juga:
Sejarah Garong: Gabungan Romusha Ngamuk
Seorang bekas pamongpraja yang diangkat sebagai camat, secara radikal merubah penampilannya menjadi lebih “revolusiener”: santai, berambut gondrong dan kerap membawa sepucuk pistol ke mana-mana. Hal itu wajib dia lakukan, karena jika masih mempertahankan “kesantunan kaum priyayi”, dia tidak bisa bertindak lugas bahkan akan segera dilibas.
“Hanya dengan bergaya seperti itulah, dia dapat memelihara keteraturan sosial,” ungkap Smail.
Pada perkembangan berikutnya, aksi para jago itu memunculkan kegerahan di kalangan pejabat Republik yang berkuasa di kota-kota. Segera setelah “kegaduhan” itu, mereka menugaskan satuan-satuan TKR untuk menumpas semua kekacauan tersebut ke pelosok-pelosok.
Karawang dan Bekasi adalah dua wilayah yang kali pertama dibersihkan. Pada awal 1946, TKR meluncurkan operasi militer di Cibarusa (republik jago di kawasan perbatasan Cianjur-Bekasi) guna melibas Pak Macan dan gerombolannya.
“Pak Macan sendiri mencoba kabur dari operasi yang keras itu, namun penasihat politiknya dari API (Manaf Roni) terbunuh dalam pertempuran,” ungkap Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries.
Pak Bubar juga tak lepas dari target operasi. Dikisahkan saat berhadapan dengan para prajurit TKR, dia berupaya kabur dengan mengandalkan ilmu menghilang-nya. Tetapi militer yang bermata lebih tajam segera memberondongnya dengan senapan otomatis sehingga menyebabkan sang jagoan itu tewas seketika.
Di wilayah Bandung dan sekitarnya, jaringan para jago perlahan namun pasti mulai menuju kehancuran setelah Resimen Pelopor dari TKR melucuti sekaligus membubarkan API. Alasan resmi pejabat Republik menyebutkan bahwa penumpasan itu terpaksa dilakukan karena mereka memberlakukan kelompoknya sebagai “republik dalam Republik”, tidak mematuhi otoritas sipil dan militer resmi, melakukan teror dan melakukan kontak dengan pihak musuh (Belanda).
Di Karawang, penumpasan terhadap LRDR oleh militer Indonesia malah memunculkan dendam yang berkarat di kalangan para anggota lasykar dan para jago. Alih-alih tunduk kepada aturan Republik, mereka malah membelot ke kubu musuh dan memasrahkan dirinya untuk dipersenjatai lalu secara bahu membahu terlibat dalam operasi militer pertama Belanda menghabisi kaum Republik.
Baca juga:
Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda