DESA Rawagede, 9 Desember 1947. Hari masih pagi. Murid-murid Sekolah Rakyat (SR) Rawagede masih belum memasuki kelasnya ketika mereka melihat sekelompok serdadu Belanda (sebagian besar terdiri dari anak-anak muda pribumi) menggiring puluhan orang ke pinggir rel kereta api dekat sekolahnya. Sebagai seorang bocah, Odih yang kala itu masih duduk di bangku kelas 2 SR, tentu saja penasaran. Bersama kawan-kawannya, mereka lantas berlari mengikuti rombongan tersebut.
Belum sampai ke mendekati rombongan, seorang serdadu bule berbaret hijau malah mengusir bocah-bocah itu. Namun ketika akan berbalik lagi menuju sekolah, tetiba terdengar tiga kali rentetan tembakan diikuti robohnya orang-orang yang digiring tersebut jatuh.
“Saya lihat sendiri mereka bergelimpangan dengan bermandikan darah di pinggir rel kereta api... " kenang Odih, sekarang berusia 83 tahun.
Baca juga:
Insiden berdarah di Rawagede memang nyata dan terjadi. Menurut Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede jumlah korban tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh serdadu Belanda itu adalah 431 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui jumlah korban tewas hanya 150 orang saja. Itu didasarkan pada keterangan yang dilansir dalam Excessennota 1969, sebuah laporan resmi pihak Belanda.
“Peristiwa pembantaian itu (sendiri) hanya disebut beberapa kalimat saja (dalam Excessennota 1969),” tulis Remy Limpach dalam disertasi-nya berjudul De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia)
Apa yang menyebabkan Rawagede diserang secara besar-besaran oleh militer Belanda? Setelah hampir 73 tahun berlalu, penyebab persisnya tetap masih menjadi misteri. Pendapat yang beredar di kalangan pihak Indonesia menyebutkan pasukan Belanda nekad melakukannya karena untuk memburu Kapten Lukas Koestarjo, komandan TNI yang sangat diincar oleh mereka.
“Prilaku pasukan Pak Lukas yang dianggap kejam oleh pihak militer Belanda menyebabkan lelaki yang dijuluki Begoendal van Karawang itu dicari-cari: hidup atau mati,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT
Namun berdasarkan keterangan sejarawan Belanda Stef Scagliola yang bertahun-tahun meneliti kasus tersebut dan mewawancarai sejumlah eks prajurit Belanda yang terlibat dalam operasi pembersihan di Rawagede, saat itu militer Belanda memang sudah mencurigai Rawagede dijadikan sarang “ekstrimis”, sebutan mereka kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.
“Suatu hari ada laporan ke pihak militer Belanda bahwa seorang anak lurah NICA ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok besar kaum bersenjata di Rawagede dan laporan itu direspon dengan mengirimkan pasukan ke sana,” ujar peneliti sejarah terkemuka di Belanda itu.
Baca juga:
Kisah Desersi di Front Karawang-Bekasi
Penjelasan Stef nyaris mirip dengan laporan yang dilansir oleh Berita Indonesia pada 15 Desember 1947. Surat kabar itu memberitakan bahwa Pembantaian Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik.
Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar. Mereka terdiri dari Kompi 3 dari Yon 3-9-RI Divisie 7 December, satu peleton 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan pasukan cadangan dari Depot Speciale Troepen) pimpinan Komandan Kompi 3-3-9-RI Mayor Alphons J.H. Wijnen.
Berita Indonesia juga mengkonfirmasi unit-unit dari DST (Depot Pasukan Khusus). “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan Berita Indonesia.
DST adalah kesatuan khusus Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kapten R.P.P. Westerling. Untuk membuat Sulawesi Selatan steril dari pengaruh kaum Republiken, sepanjang Januari 1946, Westerling melakukan pembersihan brutal di sana. Kejadian itu sempat membuat geger dunia internasional mengingat pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan telah jatuh korban 40.000 jiwa penduduk Sulawesi Selatan. Tentu saja, tuduhan itu dibantah secara keras oleh Westerling. Kepada pers, ia mengaku hanya menghabisi sekitar 600 orang saja.
Lantas bagaimana sikap petinggi Belanda (terutama para pejabat militernya)? Setelah pihak Pemerintah Indonesia mengadukan soal itu kepada GOC (Komite Jasa Baik) yang dibentuk PBB untuk menangani konflik Indonesia-Belanda, pihak Pemerintah Belanda pun bergerak. Pada 3 Januari 1948, mereka mengajukan memorandum kepada GOC yang membantah versi Republik. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan oleh GOC (selesai pada 12 Januari 1948) menemukan fakta bahwa memang ada operasi militer yang brutal telah dilakukan oleh pihak Belanda.
Pihak Belanda belakangan mengakui bahwa memang ada korban rakyat sipil yang tak bersalah jatuh dalam aksi pembersihan tersebut. Mereka pun mengiyakan soal beberapa rumah rakyat yang sengaja dibakar para serdadunya. Namun alih-alih sanksi ditetapkan kepada para pelaku utama pembantaian itu, Jaksa Agung Felderhof malah setuju untuk mempetieskan insiden di Rawagede.
Baca juga:
“Saya memahami tindakan Wijnen, karena “buaya-buaya tersebut (maksudnya gerilyawan Republik) akan segera membuat wilayah itu tidak aman lagi,” ungkap Felderhof seperti dikutip oleh Limpach
Setali tiga uang dengan Felderhof, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor juga memilih untuk menutup mata atas kegilaan yang dilakukan oleh anak buahnya di Rawagede. Meskipun tidak membenarkan tindakan Mayor Wijnen di Rawagede, dia menyatakan bahwa perwira itu sejatinya memiliki karier yang tak tercela dan merupakan seorang militer yang baik.
“Sementara jumlah anggota militer yang baik saat ini sangat sedikit sekali,” ungkap Spoor seperti dikutip oleh J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Belanda Terakhir di Indonesia.
Dengan demikian, kata Moor, dalam melihat Insiden Rawagede itu, Spoor lebih menyukai tidak ada pengadilan terhadap anak buahnya, betapa memprihatikannya kasus tersebut secara kemanusiaan.