Setelah 70 Tahun Berlalu
Para saksi Pembantaian Rawagede masih mengingat secara baik peristiwa berdarah itu. Namun penyebab pastinya penyerbuan tersebut masih simpang-siur hingga kini.
Kenangan itu masih segar dalam benak Odih, lelaki berusia 79 tahun. Saat duduk di kelas dua Sekolah Rakyat di Rawagede, suatu pagi ia melihat sekelompok serdadu Belanda (sebagian besar terdiri dari anak-anak muda pribumi) menggiring puluhan orang ke pinggir rel kereta api dekat sekolahnya. Sebagai seorang bocah, Odih tentu saja penasaran. Bersama kawan-kawannya, mereka lantas berlari mengikuti rombongan tersebut.
Seorang serdadu bule berbaret hijau lantas mengusir bocah-bocah itu. Ketika akan berbalik lagi menuju sekolah, tetiba terdengar tiga kali rentetan tembakan diikuti robohnya orang-orang yang digiring tersebut jatuh. “Saya lihat sendiri mereka bergelimpangan dengan bermandikan darah di pinggir rel kereta api... " ujarnya dalam nada lirih.
Kabar Rawagede akan diserang tentara Belanda, sejatinya sudah santer terdengar sejak dua hari sebelum kejadian. Berita itu kali pertama disampaikan oleh seorang lurah NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) pro-Republik di Tanjungpura lewat surat rahasia ke markas TNI (Tentara Nasional Indonesia) di Rawagede.
“Tapi karena waktu itu, sekitar jam 5-7 malam, hujan lebat turun tanpa henti, orang-orang jadi malas keluar dan seolah melupakan informasi penting itu,” ujar Telan, eks anggota Hizbullah Rawagede.
Begitu mendengar suara tembakan di pagi itu, Telan sendiri langsung kabur ke arah sungai dan lari menyusuri sisi sungai hingga sampai ke Desa Mekarjaya. Namun sekitar jam 10 siang, Telan memutuskan kembali lagi ke Rawagede. Ia merasa khawatir terhadap kondisi orangtuanya.
“Saya mendengar dari Mekarjaya, tembakan terus berlangsung tanpa henti,” ungkap lelaki yang kini berusia 91 tahun itu.
Pergerakan ke Rawagede, Telan lakukan dengan kembali menyusuri sungai. Saat itulah, di pinggir sungai Telan melihat empat sosok yang sangat ia kenal tertelungkup dalam posisi berbaris. Mereka adalah Salam, Karwin, Doblang dan Dasir. “Saya pikir waktu itu mereka sudah mati semua,” kenangnya.
Belakangan, Telan mengetahui Doblang kala itu hanya pura-pura mati. Ia memang tertembak, namun hanya kena di bagian tangan kanannya saja. Bahkan, beberapa hari kemudian bersama Doblang-lah, Telan menyingkir ke Gondangdia, Jakarta. Itu mereka lakukan sebagai upaya antisipasi jika militer Belanda kembali melakukan pembersihan ke Rawagede.
Baca juga: Kisah Duka dari Pembantaian Rawagede
Menurut sejarawan Ali Anwar dalam K.H.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang, operasi militer Belanda ke Desa Rawagede, Karawang terjadi pada pagi 9 Desember 1947. Mereka yang terlibat dalam penyerbuan itu adalah Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan brigade cadangan dari pasukan parakomando Depot Speciale Troepen) pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen.
Apa yang menyebabkan Rawagede diserang secara besar-besaran oleh militer Belanda? Setelah 70 tahun berlalu, penyebab persisnya tetap masih menjadi misteri. Selama ini, pendapat yang beredar pasukan Belanda nekad melakukannya karena untuk memburu Kapten Lukas Koestarjo, komandan TNI yang sangat diincar oleh mereka.
Namun berdasarkan keterangan Stef Scagliola yang bertahun-tahun meneliti kasus tersebut dan mewawancarai sejumlah eks prajurit Belanda yang terlibat dalam operasi pembersihan di Rawagede , saat itu militer Belanda memang sudah mencurigai Rawagede dijadikan sarang “ekstrimis”, sebutan mereka kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.
“Suatu hari ada laporan ke pihak militer Belanda bahwa seorang anak lurah NICA ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok besar kaum bersenjata di Rawagede dan laporan itu direspon dengan mengirimkan pasukan ke sana,” ujar peneliti sejarah terkemuka di Belanda itu .
Penjelasan Stef nyaris mirip dengan laporan yang dilansir oleh Berita Indonesiapada 15 Desember 1947. Surat kabar itu memberitakan bahwa Pembantaian Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik.
Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar di bawah pimpinan Mayor Alphons. Menurut Berita Indonesia, di dalam pasukan itu tergabung pula satu unit baret hijau dari DST (Depot Pasukan Khusus). “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan Berita Indonesia.
DST adalah kesatuan khusus Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kapten R.P.P. Westerling. Untuk membuat Sulawesi Selatan steril dari pengaruh kaum Republiken, sepanjang Januari 1946, Westerling melakukan pembersihan brutal di sana. Kejadian itu sempat membuat geger dunia internasional mengingat pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan telah jatuh korban 40.000 jiwa penduduk Sulawesi Selatan. Tentu saja, tuduhan itu dibantah secara keras oleh Westerling. Kepada pers, ia mengaku hanya menghabisi sekitar 600 orang saja.
Baca juga: Kemenangan dari Gugatan Pembantaian Rawagede
Apa yang dicurigai oleh pihak militer Belanda tak sepenuhnya salah. Menurut Kastal (92), di Rawagede memang ada terkonsentrasi pasukan Republik dari TNI dan lasykar. “Di Rawagede, ada markas Hizbullah, markas Barisan Banteng, markas Pesindo dan sekelompok kecil TNI dari Madiun,” ungkap eks komandan regu Hizbullah di Rawagede itu.
Namun kekuatan-kekuatan bersenjata itu hanya sebagian kecil dari penghuni Rawagede. Alih-alih menjadi markas besar, mayoritas penghuni Rawagede adalah petani. Maka tak aneh, jika korban terbesar dari operasi pembersihan yang dilakukan Mayor Alphons dan anak buahnya adalah mereka.
Ketika bertemu dengan Telan dan Kastal, saya sempat menyebut satu persatu nama-nama korban Pembantaian Rawagede yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Rawagede. Mereka memastikan dari 181 nama itu, hanya 15 orang yang diyakini sebagai anggota lasykar dan TNI. Sisanya adalah penduduk sipil termasuk seorang lelaki gila.
Pihak Yayasan Rawagede sendiri mengklaim jumlah korban tewas dalam pembantaian itu sebenarnya lebih banyak yakni 431 orang. Itu tentu saja jauh lebih besar dibanding versi pihak Belanda yang hanya mengakui korban ulah tentaranya di Rawagede hanya 150 orang saja.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar