Karier Kapten Prawirodipuro Eks Pengikut Diponegoro Moncer di KNIL
Eks Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo, Kapten RT Prawirodipuro di Karawang dan Sumatra Barat bekerja dengan baik.
KETIKA ketika tentara kolonial yang belakangan disebut Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) baru didirikan zaman Gubernur Jenderal van den Bosch pada awal 1830-an, tentara kolonial Hindia Belanda itu mempekerjakan perwira-perwira beretnis Jawa. Kinerja mereka cukup baik dalam pertempuran. Maka ada beberapa perwira etnis Jawa itu sampai mendapat bintang dan ksatria dari Kerajaan Belanda.
Mayor Andreas Victor Michiels (1797-1849), veteran Perang Waterloo yang tahun 1832 dilibatkan dalam pemadaman kerusuhan orang-orang Tionghoa di Karawang, Jawa Barat, benar-benar puas pada kinerja mereka. Koran Rotterdamsche Courant tanggal 6 Oktober 1832 menyebut Mayor Michiels memuji bawahan-bawahannya dalam pemadaman kerusuhan orang-orang Tionghoa itu. Tak hanya prajurit Belanda saja yang dipujinya, tapi juga prajurit Jawa yang ikut dengannya.
“Ia juga bersaksi bahwa pada kesempatan ini pasukan Alie Bassa Prawiero Dirdjo (Sentot Alibasah Prawirodirdjo) membedakan diri mereka dengan menguntungkan dan mencapai semua yang diharapkan dari pasukan pembantu terbaik,” tulis Rotterdamsche Courant.
Pujian Michiels terutama menyasar pada Pangeran Soemo Negoro, Raden Tumenggung Prawirodipuro, dan Tumenggung Marto Poero.
Raden Tumenggung Prawirodipuro, disebut Rusli Amran dalam Cerita-cerita Lama dalam Lembaran Sejarah, merupakan anak dari Raden Tumenggung Mangundipuro dan juga menantu Raden Tumenggung Purwonegoro. Keluarga itu merupakan pengikut sekaligus pasukan Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo yang dipimpin Alibasah Sentot Prawirodirdjo. Barisan itu dari 1825 hingga 1830 adalah bagian penting dari laskar Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Setelah Diponegoro kalah pada 1830 dan Sentot memilih bekerjasama dengan Belanda, pihak Belanda memperlakukan mereka dengan baik.
Setelah pemadaman kerusuhan di Karawang itu, Mayor Michiels naik pangkat menjadi letnan kolonel dan dikirim ke Sumatra Barat. Raden Tumenggung Prawirodipuro dan keluarganya juga diikutsertakan ke Sumatra bersama Barisan Sentot.
Prawirodipuro dianggap perwira militer yang baik. Arsip “Register Ridder Militaire Willemsorde 4” nomor 2719 menyebut, pada 14 Oktober 1833 Raden Tumenggung Prawirodipuro (yang namanya ditulis sebagai Prawiera di Poeroe) diangkat menjadi kapten infanteri dengan kontrak berdasarkan persetujuan Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo.
Setelah Prawirodipuro naik pangkat menjadi kapten, pada Januari 1834 Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo dibubarkan pemerintah kolonial. Personel-personelnya lalu diserap ke dalam tentara kolonial. Daftar perwira dalam Stamboeken Officieren KNIL 1815-1940 dengan nomor inventaris 385 nomor folio 110-116 dan berita Javaasch Courant tanggal 15 November 1834 menyebut Raden Tumenggung Prawiero Koesoemo diangkat sebagai kapten. Sementara Kerto Wongso, Prawiro Ronno, Merto Poero, Prawiro Redjo, Sentiko, Kerto di Redjo, Tumenggung Prawiro Sentiko, Mongon Negoro, Soeto Sentonno, Prawiro Brotto, Djajeng Kersna, Djoijo Projedno, Wongso Dipoei Djoijo Sentiko dan Notto di Poero dijadikan letnan dalam tentara reguler kolonial. Sementara itu, Pangeran Soerio Bronto diangkat menjadi mayor.
Kapten Prawirodipuro lagi-lagi dianggap bertugas dengan sangat baik ketika menghadapi perlawanan kaum Padri. Disebutkan, Kapten Prawirodipuro dianugrahi penghargaan Ridders Militaire Willemsorde 4e berdasar Koninklijk Besluit 16 September 1834 Nomor 61 atas aksinya di Sumatra Barat. Namun dalam stamboek-nya tak dijelaskan secara rinci apa yang dilakukannya di Sumatra Barat itu.
Setelah 1934, mereka yang tak diserap ke dinas militer kolonial diperbolehkan pulang ke Jawa dengan tanggungan pemerintah. Rusli Amran menyebut, ayah dan mertua Kapten Prawirodipuro memilih tetap tinggal di Sumatra Barat. Di sana mereka mendapat tunjangan 178 gulden perbulan. Mereka yang tidak pulang ada yang diberi tanah di dekat Padang. Ada yang tinggal dan berumahtangga dengan perempuan Minangkabau hingga berketurunan.
Kendati kinerjanya di tahun 1836 kembali mendapat pujian, Kapten Prawirodipuro pada 1838 mengajukan pengundurkan diri dari kemiliteran. Dia dipensiunkan pada 1839 hingga meninggal dunia di tahun 1876.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar