GARUT, 13 Agustus 2019. Lelaki tua itu memandang tajam selembar foto berisi dua orang Jepang yang tengah ditawan tentara Belanda. Dahinya mengernyit. Tetiba matanya berubah sendu. Lama sekali dilihatnya kembali foto tersebut.
“Ya ini dia Pak Abu Bakar, saya kenal dia sewaktu saya masih anak-anak di Desa Parentas,” ujar lelaki yang kerap dipanggil sebagai Haji Udin itu.
Masih segar dalam ingatan Udin , bagaimana suatu siang Abu Bakar datang bersama sejumlah eks tentara Jepang lainnya ke Parentas (masuk dalam wilayah pegununungan di kaki Gunung Galunggung dan Gunung Dora di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya). Mereka kemudian menempati sebidang tanah tinggi yang bernama Doragede lalu mendirikan 4 gubuk besar sebagai markas.
“Saya ingat mereka kemudian bercocok tanam dan memelihara hewan ternak juga di sana,” kenang lelaki kelahiran Parentas 83 tahun lalu tersebut.
Baca juga: Shigeru Ono, Pejuang Jepang Telah Berpulang
Nyaris tiap senja datang, Abu Bakar turun gunung. Dengan menyandang senjata dan berselendang sarung Tjap Padi, dia memimpin anak buahnya menyusuri jalanan desa, menembus hutan lalu menyebrangi sungai-sungai untuk kemudian melakukan stelling di pinggir jalan raya Wanaraja-Garut.
“Hai anak-anak! Doakan saya ya …Pokoknya kalau nanti terdengar ledakan, itu tandanya saya berhasil menghajar Belanda,” begitu Abu Bakar berkata tiap berpapasan dengan anak-anak seusia Udin di jalan.
Beberapa jam usai kepergian mereka dari Parentas, selalu bunyi ledakan terdengar dari bawah. Itulah bunyi ledakan bom batok (sejenis ranjau darat berbentuk seperti batok kelapa) yang berhasil menghancurkan salah satu kendaraan militer Belanda: truk yang sedang mengangkut pasukan atau pun kendaraan lapis baja seperti tank, brancarrier dan panser.
“Mereka biasanya pulang menjelang tengah malam, sambil membawa banyak rampasan senjata, peluru, pakaian atau makanan,” kenang Udin.
Nama Abu Bakar tercatat dalam berbagai dokumen sejarah Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi MIliter Belanda II Jilid ke-9 menyebut Abu Bakar sebagai pemimpin gerilyawan Indonesia yang cukup piawai di wilayah Garut-Tasikmalaya. Demikian pula, nama lelaki bernama asli Masharo Aoki itu pun diabadikan dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa terbitan Sejarah Kodam Siliwangi.
Aoki disebut-sebut bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia sekira 1946. Menurut Basroni, putra dari Mayor S.M. Kosasih (atasan langsung dari Aoki), lelaki Jepang itu awalnya adalah tawanan perang yang didapat oleh Pasoekan Pangeran Papak (PPP) dari sebuah pertempuran di Majalaya usai Peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
“PPP pimpinan ayah saya, waktu itu menawan Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya,” ungkap Basroni.
Eks tentara Jepang yang di dalamnya juga terdapat orang-orang Korea itu kemudian dibawa ke Wanaraja dan diperlakukan sangat baik sebagai para tawanan perang. Merasa terkesan, Aoki kemudian menyatakan kepada Mayor Kosasih untuk masuk Islam sekaligus bergabung dengan PPP. Permintaan itu diamini oleh Kosasih dengan membawa Aoki ke hadapan guru spiritualnya Raden Djajadiwangsa, untuk diislamkan.
“Kakek saya lalu memberi nama baru buat Aoki yakni Abu Bakar, sahabat utama dari Nabi Muhammad SAW,” ujar Raden Ojo Soepardjo (92), salah seorang cucu dari Raden Djajadiwangsa.
Maka resmilah Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya menjadi anggota PPP. Sesuai keahlian masing-masing, Kosasih lantas menempatkan mereka sebagai instruktur militer sekaligus komandan-komandan seksi. Ada pula yang ditempatkan sebagai tenaga medis karena memiliki latarbelakang sebagai dokter tentara, seperti Senya alias Ali.
“Tapi mereka menolak untuk diberi pangkat…” ungkap Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita (Wakil Komandan PPP) dalam selembar catatan hariannya.
Baca juga: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia
Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja dan kota Garut kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Dua orang Korea, Guk Jae- man alias Soebardjo dan Yang Chil Sung alias Komarudin menjadi tulang punggung pasukan. Jika Jae-man mengkoordinasi operasi-operasi intelijen, maka Chil Sung bergiat sebagai koordinator Kelompok Putih, sebuah grup khusus sabotase dan penghadangan.
Chil Sung kerap membuat gerah militer Belanda dengan aksi-aksi jebakannya. Misalnya, dia sering terlihat sendirian menggembala kambing lalu mengarahkan salah satu ternaknya yang sudah dipasang bom ke arah kendaraan tempur Belanda.
“Tak jarang jebakan bom kambing Komarudin itu menimbulkan korban yang tak sedikit di pihak Belanda,” ungkap Odjo.
Namun tak ada aksi PPP yang paling monumental selain penghancuran Jembatan Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut pada sekitar 1947. Suatu hari tim telik sandi yang dipimpin Soebardjo memberikan informasi bahwa dalam waktu dekat militer Belanda akan menyerang Wanaraja dan menguasainya.
Baca juga: Harimau-Harimau Garut
Berdasarkan laporan itu, suatu pagi Komarudin dan tim-nya bergerak ke Jembatan Cinunuk yang menjadi penghubung Wanaraja-Garut. Mereka kemudian meledakan jembatan tersebut sehingga tidak bisa dilewati. Maka gagallah upaya militer Belanda menguasai Wanaraja.
Akibat kejadian itu, militer Belanda semakin berang. Mereka berpikir keberadaan eks tentara Jepang pimpinan Abu Bakar sebagai penghalang aksi mereka menghancurkan sistem gerilya kaum Republik di Garut. Maka dibuatlah rencana operasi perburuan dengan melibatkan satu tim elit buru sergap dari Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie), sebuah batalyon Angkatan Darat Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel P.W. van Duin. Selengkapnya silakan klik di sini: Drama di Gunung Dora