Kesepakatan Perjanjian Renville antara Republik Indonesia (RI) dengan Belanda pada awal 1948, mewajibkan pihak RI untuk menyerahkan para zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal dan memilih berjuang untuk Indonesia) kepada Belanda. Namun permintaan itu direspon setengah hati. Secara diam-diam, TNI justru berupaya melindungi para eks serdadu Jepang itu.
“Walau bagaimana pun kehadiran para zanryu nihon hei sangat menguntungkan untuk Indonesia, baik secara politik maupun militer,” ungkap sejarawan asal Jepang, Aiko Kurasawa.
Baca juga:
Guna menghindari itu, pada Juli 1948, Kolonel Sungkono (Gubernur Militer Jawa Timur) memanggil Tatsuo Ichiki, seorang Jepang yang sangat dituakan oleh para zanryu nihon hei. Terlebih keberpihakannya kepada Indonesia sudah terjadi sejak 1945, ketika ia bergaul akrab dengan diplomat senior Indonesia Haji Agus Salim di Jakarta.
“Dia bahkan diangkat anak oleh ayah saya dan diberi nama Indonesia: Abdul Rachman karena sikapnya yang penuh kasih kepada bangsa Indonesia,” ujar Bibsy Soenharjo, salah satu putri Haji Agus Salim.
Abdul Rachman kemudian ditugaskan oleh Kolonel Sungkono untuk mengumpulkan seluruh eks serdadu Jepang di Jawa Timur dan menghimpunnya dalam suatu kesatuan khusus. Maka pada 28 Juli 1948, berkumpullah 28 zanryu nihon hei di Wlingi dan mendeklarasikan berdirinya Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) di bawah koordinasi Brigade Surachmad. Sebagai pimpinan, Sungkono mengangkat Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi), senior dari Abdul Rachman.
Karena Mayor Arif kerap sakit-sakitan (kemudian meninggal pada 10 Agustus 1948), akhirnya pucuk pimpinan PGI diserahkan kepada Mayor Abdul Rachman. Penyerahan wewenang tersebut diam-diam tidak disetujui oleh sebagain zanryu nihon hei pimpinan Hasan (Toshio Tanaka). Alasannya, Abdul Rachman bukan seorang militer tulen. Di ketentaraan Jepang ia hanya bertugas sebagai seorang penerjemah.
“Soal ini menjadi sebab utama pecahnya PGI di kemudian hari, sehingga menyebabkan 10 anggotanya mengundurkan diri dan lebih senang bergabung dengan TNI di Jawa Tengah”ujar Shigeru Ono, salah seorang zanryu nihon hei.
*
Sejak kemunculannya di wilayah-wilayah kaki gunung Semeru, PGI menjadi “hantu” menakutkan bagi militer Belanda. Berbeda dengan umumnya pasukan TNI, PGI memiliki sistem organisasi dan cara bertempur yang sangat baik. Setiap kali merencanakan suatu operasi penyerangan, kerap diperhitungkan secara matang, detail, serta menyertakan rencana B, C, dan D-nya. Tak aneh jika dalam setiap aksinya, unit khusus ini sering mencapai hasil maksimal dan selalu jatuh sedikit korban.
“Mereka memiliki semangat tinggi, kaya pengalaman tempur dan pandai bersiasat…”ujar Satmoko Tanoyo, eks prajurit ALRI Pasuruan yang pernah melakukan operasi bersama dengan PGI.
Baca juga:
Tomegoro Yoshizumi, Intel Negeri Sakura
Salah satu penyerangan PGI yang sukses terjadi saat bersama pasukan dari Brigade XIII menghancurkan markas tentara Belanda di Pajaran. Operasi ini terbilang cerdik dan cermat karena semua diperhitungkan secara matang, termasuk menjalankan operasi intelijen sehari sebelum penyerangan. PGI juga memutuskan tanggal 31 Agustus 1948 sebagai waktu penyerangan karena bertepatan dengan peringatan ulang tahun Ratu Belanda ke-68.
“Kami perkirakan mereka akan sibuk berpesta dan berkurang kewaspadaannya…” ujar Shigeru.
Pukul 00.00, mereka sudah mengepung posisi pos militer Belanda dari tiga jurusan. Tak ada satu pun tanda kegiatan di pos Pajaran. Menjelang dini hari, serangan dimulai. Dengan dibuka oleh ledakan granat, maka berhamburanlah tembakan dari berbagai jenis senjata (termasuk bom anti tank) menghajar tanpa ampun posisi pasukan Belanda.
Tak ada perlawanan sama sekali. Prajurit-prajurit Belanda itu nampaknya tengah kelelahan usai merayakan pesta dan tak sempat meraih senjata.
“Kami semua yakin, mereka yang berada di pos itu pasti mati karena tak mungkin lolos dari kepungan kami dari berbagai sisi,” ujar Shigeru seperti ditulis dalam buku Mereka yang Terlupakan karya Eiichi Hayashi.
Tepat 30 menit kemudian, serangan langsung dihentikan dan seluruh pasukan diperintahkan oleh Mayor Abdul Rachman untuk mundur.Saat gerakan mundur inilah, tiba-tiba terdengar tembakan dari arah pos. Rupanya, itu adalah satu regu pasukan Belanda yang baru saja pulang dari pesta peringatan HUT Ratu Wilhelmina di balai desa terdekat. Dapat dibayangkan bagaimana marah dan terkejutnya mereka saat harus melihat markasnya hancur dan kawan-kawannya gugur.
“Tapi mereka tidak berani melakukan pengejaran dan memilih untuk merawat mayat kawan-kawannya yang sudah tewas,” ujar Shigeru.
Besoknya, seorang petugas telik sandi Brigade XIII ditugaskan untuk menyelidiki hasil serangan malam tersebut langsung ke Pajaran. Menurut informasi yang berhasil didapat dari lapangan, pasukan Belanda telah kehilangan 20 prajuritnya dan sejumlah senjata hancur. Guna menghindari balasan dari pihak militer Belanda, pada 16 September 1948, PGI lantas memindahkan markas mereka dari Dampit ke Garotan.
Sukses di Pajaran, mereka ulangi pula di Poncokusumo pada 18 September 1948. Lewat suatu serangan fajar, PGI kembali berhasil menghabisi tanpa ampun posisi pasukan Belanda.
“Penyerangan di Poncokusumo juga berhasil secara gemilang: serdadu musuh semua tewas, sedang di pihak kami tak ada satu pun jatuh korban. Bisa dikatakan kami terus menuai kemenangan sejak itu” kata Shigeru.
*
Hari naas bagi PGI justru terjadi pada 3 Januari 1949. Dalam buku Perjuangan Total Brigade IV pada Perang Kemerdekaan di Keresidenan Malang karya Nur Hadi dan Sutopo, Soekardi (Nagamoto Sugiyama) bercerita: saat itu sekitar jam 04.30, mereka tengah bergerak dari Garotan menuju satu dataran tinggi bernama Arjosari. Pergerakan itu dilakukan karena berdasarkan informasi telik sandi, satu kekuatan pasukan Belanda juga tengah menuju kawasan yang sama, namun mereka bergerak dari arah Margosari yang berlawanan dengan posisi pasukan PGI.
Versi lain menyatakan bahwa sejatinya pergerakan itu juga disertai satu regu pasukan dari ALRI Pasuruan pimpinan Letnan Satu Rachmat Sumengkar. Itu dikisahkan Letnan Kolonel Angkatan Laut Satmoko Tanoyo, salah satu anggota pasukan tersebut.
“Di Garotan, kami mengadakan kerjasama dengan suatu kesatuan eks tentara Jepang, karena mereka sudah lama beroperasi di sana dan telah memiliki pangkalan sendiri,”demikian tulis Satmoko dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid V.
Baca juga:
Gabungan pasukan PGI dan Angkatan Laut Pasuruan lantas bergerak cepat lewat suatu jurang besar. Mereka berharap bisa mendahulu pasukan musuh dan membuat posisi stelling di bukit yang berada di Arjosari. Namun saat akan melakukan pendakian, tiba-tiba terdengar teriakan seorang prajurit PGI dalam bahasa Jepang.
“Ada musuhhhh!!!”
Dan memang, Soekardi melihat sekitar 20 meter di depan,sekitar satu kompi pasukan Belanda tengah bergerak sambil menyebar ke arah mereka. Maka dua pasukan yang bermusuhan itu lalu sama-sama kaget dan sejenak saling terdiam. Namun mereka cepat sadar dan beberapa detik kemudian keluarlah tembakan-tembakan gencar.
“Tembakan dibuka oleh senapan mesin yang saya dan Umar (Tatsuji Maekawa) sedang pegang…”kenang Soekardi.
Pertempuran jarak dekat berlangsung seru. Sementara pasukan Belanda tertahan namun tidak lama, karena tembakan dari arah kubu PGI semakin berkurang menyusul semakin minimnya amunisi dan tibanya bantuan musuh berupa sebuah pesawat terbang. Mayor Abdul Rachman lantas memerintahkan pasukannya untuk mundur ke suatu jurang di sebelah timur desa. Saat bergerak mundur itulah, sebutir peluru menembus kepala Mayor Abdul Rachman sehingga membuatnya tewas seketika.
Mengetahui komandannya gugur, Abdul Majid (Goro Yamano) sempat bingung. Untuk menyelamatkan tubuh Mayor Abdul Rachman, ia kemudian memerintahkan dua kawannya menjalankan proses evakuasi secara cepat. Ia sendiri kemudian maju ke depan sambil melemparkan satu bom anti tank.
Usai ledakan, Yamano melihat sekeliling dan tidak mendapatkan seorang pun di sekitarnya. Ia berpikir, semua anggota PGI sudah mundur, termasuk dua orang prajurit yang ia tugaskan membawa jasad Mayor Abdul Rachman. Karena itu, tanpa banyak pertimbangan, ia pun mengundurkan diri dan berusaha mendaki jurang ke arah seberang tempat pengunduran. Namun di sana pun, ia tidak menemukan kawan-kawannya.
Sementara itu, pasukan PGI meneruskan perjalanan melampaui dua jurang sebelah timur untuk menjauhi musuh sehingga sampai di kampung Sumberagung. Di sana, mereka lantas beristirahat melepaskan lelah. Selang beberapa waktu kemudian, tiga orang pasukan bagian karaben tiba dalam keadaan sangat payah. Mereka datang tanpa Mayor Abdul Rachman dan Yamano serta dua prajurit lainnya.
Kabar tentang komandan mereka baru menjadi jelas saat sekitar pukul 13.30, Abdul Majid datang dari jurusan Dampit. Ia menyatakan bahwa “taichou” sudah gugur dan kemungkinan jasadnya tertinggal di tempat pertempuran.
*
Tiga hari kemudian, Soekardi, Saleh (Isamu Hirouka) dan Subejo (Genji Hayashi) serta Satmoko dan Letnan Rachmat Sumengkar dari ALRI Pasuruan) bergerak kembali ke Arjosari. Di sana, mereka menemui kepala desa setempat. Tanpa diminta, kepala desa memimpin 15 penduduk untuk ikut melakukan pencarian.
Saat menuju lokasi, mereka menceritakan kepada keempat pejuang tersebut bahwa setelah pertempuran usai di Arjosari, sebuah pesawat terbang Belanda datang dan menembaki rumah-rumah. Banyak rakyat yang tewas dan luka-luka akibat serangan tersebut.
Sampai di bekas lokasi pertempuran, mereka semua menyebar. Sulit juga untuk segera menemukan jasad Mayor Abdul Rachman. Hingga menjelang siang, Subejo tiba-tiba berlari dan berteriak bahwa ia melihat jasad komandannya di bawah jurang sebelah timur.
Situasi wilayah itu sukar dijangkau pandangan mata dengan jelas karena merupakan jurang dalam yang sekelilinya terdapat sebidang kecil padang rumput. Tepat di bawah sebatang pohon besar, jasad Abdul Rahman nampak tengah tersandar. Sebuah lubang peluru menghiasai mata kanannya, bagian atas telinga kiri dan bahu kirinya.
“Dua prajurit yang diperintahkan Yamano membawa mundur komandan tidak pernah ditemukan lagi. Bisa jadi mereka tertangkap atau dieksekusi di tempat lain,”ungkap Soekardi.
Setelah berdoa, Kardi lantas menggunting beberapa helai rambut di kepala komandannya lalu disimpan dalam sebuah amplop. Karena kondisi jasad sudah mulai rusak, maka diputuskan untuk memakamkan jasad Mayor Abdul Rachman di jurang itu. Pemakaman dilakukan secara Islam dan selesai jam 15.00.
Karena tidak sempat membuat batu nisan, sebuah bambu besar kemudian ditancapkan di atas pusara. Saleh kemudian membubuhinya dengan pensil berwarna merah: Mayor Abdul Rachman Tatsuo Ichiki. Umur: 43 tahun, gugur tanggal 3-1-1949, pukul 07.30 pertempuran Arjosari, Sumberputih, wajak, Malang. Seorang samurai telah menggenapi janjinya: mati sebagai seorang petarung sejati.
Baca juga: