KENDATI kritik tetap mengiringi, program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap digulirkan pemerintahan Prabowo Subianto 6 Januari lalu. Kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan yang terjadi di sana-sini makin “melanggengkan” kritik yang ada sejak program tersebut masih dikampanyekan.
Soal terbanyak yang menjadi sasaran kritik kemungkinan soal anggaran pengadaan makanannya. Para pengkritik menyoroti program yang terkesan dipaksakan itu kurang tepat di tengah kesulitan ekonomi yang sedang dialami Indonesia. Sebagian dari mereka menyarankan, anggaran untuk MBG akan lebih tepat bila dialokasikan untuk hal yang lebih mendesak, seperti membuka lapangan kerja. Program semacam MBG akan lancar dan bermanfaat bila diadakan dalam kondisi keuangan negara yang sedang fit.
Namun, Profesor Gizi di Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Khomsan punya pendapat berbeda dari para pengkritik tersebut. Kala ditemui Historia Rabu (8/1/25) lalu, dia mengungkapkan bahwa program serupa tak hanya bisa dilakukan oleh negara ketika sudah kaya.
“Kalau kita lihat sekarang ini beberapa negara memang sudah melaksanakan model-model makanan bergizi gratis karena menyadari bahwa setiap wilayah itu selalu ada kemiskinan,” terang Ali Khomsan kepada Historia.
Salah satu negara yang melaksanakan program serupa di kala ekonominya masih belum digdaya adalah Jepang. Dengan adanya dukungan dari Jepang yang telah melaksanakan program serupa nyaris seabad, Presiden Prabowo optimis terhadap program MBG-nya.
“Mereka yang menawarkan, inisiatif mereka untuk ikut membantu mungkin dengan pelatihan serta lain sebagainya. Karena, mereka pun punya pengalaman di bidang itu (makan bergizi) sudah 80 tahun. Mereka juga berminat untuk bantu,” kata Prabowo dalam pertemuan bilateral dengan PM Jepang Shigeru Ishiba di Istana Bogor, dikutip rri.co.id, 11 Januari 2025.
Makan Siang di Dunia
Kendati bukan negara pertama yang memiliki program makan bergizi gratis untuk anak, Jepang telah memiliki pengalaman melaksanakan program serupa nyaris seabad. Bahkan, bila mengacu pada adanya pelaksanaan program “filantropi” serupa, Jepang telah menjalankannya lebih dari seabad. Kyushoku, demikian orang Jepang menyebut makan siang sekolah, telah dijalankan di Jepang sejak abad ke-19.
“Program makan siang sekolah di Jepang dimulai pada 1889, ketika makan siang gratis ditawarkan kepada murid-murid miskin di sebuah sekolah dasar di Prefektur Yamagata,” tulis Hiromi Ishida dalam “The History, Current Status, and Future Directions of the School Lunch Program in Japan”, yang termuat di The Japanese Journal of Nutrition and Dietetics Vol. 76, Suplement 1.
Para pendeta Budha di sebuah kuil di Kota Tsuruoka, Yamagatalah yang menginisiasi bagi-bagi manakan itu. Simpati mereka terhadap murid-murid miskin melatari bagi-bagi makanan tersebut.
“Program pertama dimulai pada tahun 1889 di sebuah sekolah swasta di dalam kuil Buddha di Kota Tsuruoka, tempat para pendeta mengumpulkan makanan sumbangan dari masyarakat dan menyajikan makan siang gratis untuk anak-anak dari keluarga miskin,” tulis Global Child Nutrition Foundation dalam “Shokuiku – How Japan Leverages School Meals as a ‘Living Textbook’ for Lifelong Healthy Eating” di lamannya, gcnf.org.
Apa yang dilakukan para pendeta biksu itu lalu mendapat simpati lebih banyak orang. Aksi bagi-bagi makanan untuk anak-anak miskin itu lalu ditiru banyak pihak di lain tempat hingga akhirnya menjadi aksi sosial skala besar.
“Setelah 1910-an, ketika makanan sekolah ditawarkan sebagai dukungan gizi, sistem ini telah berkembang menjadi makan siang sekolah sebagai kebijakan sosial pada 1930-an, yang bertujuan untuk meningkatkan kehadiran di sekolah,” sambung Hiromi Ishida.
Ketika awal Perang Pasifik pecah, makan siang sekolah telah diubah sistemnya. Sekolah menjadi otoritas yang ditetapkan untuk mengawasi makanan yang akan dibagikan, meski penyedianya bisa siapa saja, dan para penerimanya hanya anak-anak atau siswa yang terdaftar di sekolah bersangkutan.
Kendati sempat terhenti seiring membesarnya perang, makan siang sekolah kembali dilanjutkan usai perang pada 1946. Kali ini sasarannya bukan hanya anak-anak miskin, tapi semua anak. Tujuannya, sebagaimana dikemukakan oleh otoritas lintas-departemen, untuk mempromosikan perkembangan anak sekolah yang sehat.
Ada tiga kategori makan siang sekolah di Jepang, yakni: makanan lengkap, makanan tambahan, dan susu saja. Makanan lengkap terdiri dari makanan pokok, hidangan pendamping, dan susu. Makanan pokoknya meliputi nasi, roti, dan mi. Nasi dipilih sebagai makanan pokok bukan semata untuk mendapat pasokan energi karbohidrat, tapi juga untuk mendidik anak-anak tentang pembentukan kebiasaan makan yang diinginkan, untuk memperdalam minat mereka terhadap tanah kelahiran melalui budaya makanan, dan untuk menyoroti dasar kehidupan makan tradisional Jepang.
Kendati masih dalam pemulihan setelah porak-poranda dikalahkan dalam perang, pemerintah Jepang dan rakyatnya serius menangani program makan siang sekolah. Dengan dukungan Amerika Serikat, yang memberi bantuan tepung terigu dan susu, dan UNICEF yang memberi bantuan susu skim, Jepang secara resmi menjalankan program makan siang sekolah.
Program tersebut mendapat dukungan luas dari masyarakat. Pesertanya terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Tingkat partisipasi program makan siang sekolah di sekolah dasar meningkat dari 23% pada 1946 menjadi 69% pada 1950,” tulis Hiromi Ishida.
Keseriusan pemerintah dalam membangun generasi penerus dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Makan Siang Sekolah pada 1954. Undang-undang tersebut sebagai bukti keterlibatan langsung pemerintah dalam menjaga keberlangsungan program tersebut setelah mengalami masa sulit pasca-dihentikannya bantuan tepung terigu dari Amerika. Setelahnya, program terus berjalan dengan baik dan mencetak anak-anak yang sehat dan unggul dalam kecerdasan hingga memasuki milenium kedua. Sepanjang itu, praktis tak ada perubahan besar dalam aturan maupun pelaksanaan kecuali hanya pada hal-hal kecil macam penggantian susu skim ke susu konvensional dalam menu pada 1960-an.
Aturan dasar baru diubah pada 2008. Amandemen besar dilakukan terhadap UU Makan Siang Sekolah.
“Latar belakang revisi ini adalah perubahan besar dalam kebiasaan makan orang Jepang yang terkait dengan perubahan lingkungan sosial dan respons terhadap masalah kesehatan terkait diet. Amandemen ini didorong oleh perubahan besar dalam kehidupan makan orang Jepang, yang mengakibatkan penurunan asupan karbohidrat, ditandai dengan berkurangnya konsumsi beras dan maknanan pokok lain, disertai dengan peningkatan asupan lemak, ditandai dengan lebih tingginya konsumsi produk hewani. Karena perubahan gaya hidup, jumlah orang yang melewatkan sarapan, termasuk anak-anak yang sedang tumbuh, telah meningkat. Sebaliknya, kecenderungan untuk membeli makanan yang dimasak di luar rumah dan memakannya di rumah atau anak-anak yang makan sendiri telah meningkat,” tulis Hiromi.
Perubahan gaya hidup masyarakat seiring meningkatnya ekonomi dan kepraktisan akibat kemajuan teknologi yang telah marak sejak akhir 1990-an itu mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan di MEXT (Kementerian Pendidikan, Budaya, Sport, Sains dan Teknologi). Pada 2001, Dewan Penasihat MEXT serius membahas langkah-langkah konprehensif untuk meningkatkan kekuatan fisik anak-anak. Hasilnya, rekomendasi untuk membuat panduan pola makan di sekolah dan pembentukan Sistem Guru Pola Makan dan Gizi di sekolah-sekolah. Rekomendasi tersebut membuahkan hasil pada 2004, ketika UU Pendidikan Sekolah Sekolah direvisi sebagian dengan memasukkan Sistem Guru Pola Makan dan Gizi. Lalu, pada 2005 parlemen mengasahkan Undang-Undang Shokuiku (pendidikan makanan).
Undang-undang tersebut melibatkan ribuan ahli gizi untuk dipekerjakan pada dapur-dapur sekolah guna memastikan ketersediaan menu sehat yang –bergonta-ganti dan dibuat dari bahan lokal– bakal disantap anak-anak sekolah saat makan siang. Selain itu, UU juga mewajibkan anak-anak hanya makan siang dengan menu yang telah disediakan sekolah, dan melibatkan langsung para siswa dari mulai menyiapkan hidangan yang telah dimenukan hingga membersihkan ruang kelas usai prosesi makan siang berakhir hingga pengetahuan tentang soal bahan-bahan yang mereka makan. Dengan pola tersebut, makan siang sekolah bukan hanya sekadar makan untuk menghilangkan lapar tapi juga untuk pelajaran hidup guna mempersiapkan anak-anak sehat yang peduli pada pola makan sehat seumur hidup dan kemudian lingkungan tempat mereka hidup.
“Ketika siswa dapat mengonsumsi makanan lokal setiap hari di sekolah, itu membantu mengembangkan pemahaman siswa tentang bagaimana makanan mereka diproduksi sebelum sampai di piring mereka. Hal ini juga membantu siswa mengembangkan apresiasi yang lebih besar terhadap budaya makan tradisional Jepang dan mendorong rasa hormat yang lebih besar terhadap lingkungan dan kepedulian terhadap cara menanam bahan makanan,” ujar Presiden International Child Nutrition Japan Kei Kuriwaki.
Tak kalah dari Jepang, Finlandia yang saat ini dikenal sebagai negara berpendidikan maju juga memiliki program serupa. Bahkan, Finlandia dianggap sebagai pelopor makan gratis dan bergizi untuk anak sekolah -meskipun Inggris telah menjalankannya pada 1906 lewat keluarnya 1906 Provision of Meals Act.
“Di Finlandia, makan gratis di sekolah disediakan untuk siswa di sekolah dasar dan menengah (6-16 tahun),” catat Mads Frederik dkk. dalam Solutions Menu: A Nordic Guide to Sustainable Food Policy.
Undang-Undang Pendidikan Dasar mengatur siswa di Finlandia mendapatkan makanan seimbang tepat waktu dan sekolah mengawasi hal ini.
Kendati secara resmi Finlandia mengadakan makan gratis dan bergizi itu sejak 1948, perencanaannya sudah dilakukan sejak 1943. Untuk mendukung program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolahnya, pemerintah Finlandia serius membangun pertaniannya.
“Meskipun kondisi iklim dan tanahnya tidak begitu baik, petani dan pengolah tanah mengembangkan pertanian berkualitas tinggi dan menyediakan sebagian besar kebutuhan pangan bagi 4,5 juta penduduk negaranya,” catat Maritti Korpela dalam Finnish Government Seeks Solution to Farm Problems di Foreign Agriculture edisi November 1967.
Itulah yang terjadi di era 1950-an, ketika Finlandia memperjuangkan swasembada pangannya pasca-Perang Dunia II. Lahan pertanian tak dibiarkan kosong meski urbanisasi meningkat.
Ketika Partai Sosialis Demokrat Finlandia menjadi penguasa pada 1966, pertanian khusus diusahakan. Intensifikasi lahan pertanian itu meningkatkan jumlah hasil pangan pada pertengahan 1960-an. Produksi susu Finlandia 20 persen melebihi kebutuhan nasional. Produksi telurnya juga 25 persen melebihi kebutuhan nasional. Keduannya merupakan sumber protein penting bagi masyarakat.
Jadi, program makan bergizi gratis Finlandia dimulai dengan meneruskan usaha peningkatan hasil produksi pangan di dalam negeri. Negara berperan aktif dalam menghasilkan sumber karbohidrat, protein, kalsium dan lain-lain dalam makanan mereka. Jennifer E. Gaddis dalam The Labor of Lunch: Why We Need Real Food and Real Jobs in American Public Schools (2019) mencatat, Finlandia dianggap negara pertama yang memberikan makan gratis di dunia ini.
Amerika Serikat belajar banyak dari Finlandia soal itu. Pada 4 Juni 1946, Amerika Serikat resmi mengeluarkan program serupa lewat pemberlakuan National School Lunch Act.
“Makan siang tidak pernah hanya sekadar makan. Undang-Undang Makan Siang Sekolah Amerika tahun 1946, yang terinspirasi oleh kekurangan gizi yang ditemukan oleh perekrut di masa perang, menunjukkan bahwa makan siang dapat mewakili kesehatan bangsa,” catat Megan Elias dalam Lunch A History.
Agricultural Marketing edisi Juli 1970 menulis, program makan siang di Amerika Serikat sendiri sejatinya teah dirintis pada abad sebelumnya, yakni 1853.
Namun, program serupa bukan monopoli negara-negara dengan ekonomi kuat. Banyak negara yang perekonomiannya tak maju, seperti India dan Brazil, pun juga melakukannya. Jepang saat memulai program makan siang sekolahnya pun masih dalam kondisi porak-poranda alias miskin, yang merupakan masalah hampir bagi tiap negara. Faktanya, pasca-Perang Dunia II, beberapa negara Eropa hancur karena perang tapi melaksanakan program serupa. Makan gratis di sana tak dimaksudkan untuk menghamburkan uang, namun untuk segera memperbaiki kualitas hidup warga negaranya.
Makan gratis memang bukan satu-satunya jalan memperbaiki gizi anak. Namun, itu merupakan komponen penting dalam pembangunan sebuah bangsa yang jelas terdiri dari amat banyak komponen.
“Supaya orang bisa makan baik, dia perlu uang. Dari mana dia dapat uang? Dia harus bekerja. Bagaimana bisa bekerja jika tidak ada lapangan kerja. Itu pembangunan,” terang pakar gizi Institut Pertanian Bogor Profesor Soekirman, yang puluhan tahun bergelut dengan gizi Indonesia dalam payung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dalam Diskusi Sejarah: Program Perbaikan Gizi dan 1001 Masalahnya.