PULAU SAIPAN, 7 Juli 1944. Matahari belum penuh menampakan diri ketika dua tentara Jepang keluar dari sebuah gua. Begitu sampai di tepi pantai, salah satu dari mereka kemudian bersimpuh di atas pasir laut, lalu sambil merobek perutnya dengan sebilah tanto (pedang pendek khas Jepang) dia berseru: “Tenno heika banzaaii! (Jayalah Kaisar!) Ikut aku! Maju dan cari musuh!”
Untuk menuntaskan penderitaan lelaki yang tak lain adalah Letnan Jenderal Yoshitsugu Saito (Panglima Divisi ke-43 Angkatan Darat Jepang) itu, sang ajudan kemudian melepaskan peluru dari sepucuk pistol ke dahi sang jenderal. Berakhirlah hidup seorang samurai yang bertanggungjawab atas keamanan Pulau Saipan tersebut.
Serangan Terakhir
Sejak penyerangan tentara Amerika Serikat (AS) ke Saipan pada 15 Juni 1944, kondisi tentara Jepang yang berada di pulau tersebut semakin tak menentu. Alih-alih mengalami kemajuan, sejengkal demi sejengkal tanah Saipan dapat dikuasai oleh pasukan AS.
Letnan Jenderal Saito sangat mafhum kondisi tersebut. Dengan pasokan minim dari induk pasukan, tak ada cara lain untuk dilakukan selain melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan. Dalam pesta minum sake (minuman keras khas Jepang) terakhirnya di dalam sebuah gua pertahanan, Saito menyatakan kepada para prajuritnya bahwa gyukosai (serangan terakhir) adalah jalan ujung yang harus dijalankan oleh mereka semua.
“Tidak ada pilihan! Kita bertahan di sini atau kita menyerang, kematian sudah pasti akan menemui kita. Tapi dalam kematian ada kehidupan, karena itu aku memilih untuk maju bersama kalian memberikan pukulan terakhir kepada musuh kita dan menyisakan tulang belulangku sebagai benteng kekaisaran kita di Pasifik!” demikian pidato Saito seperti disebutkan oleh tayangan film dokumenter berjudul Pacific: The Lost Evidence Saipan (2006) di History Channel.
Seruan Saito diamini oleh para prajuritnya. Sehari setelah seppuku (aksi bunuh diri demi kehormatan) sang jenderal, ribuan serdadu Jepang, mulai dari tenaga tempur hingga tenaga dapur melakukan gyukosai.
Raden Soedirmo Boender adalah saksi sejarah dari aksi nekad di Saipan itu. Sebagai anggota pasukan AS dari Divisi Rainbow, beberapa kali dia dan pasukan yang dipimpinnya harus berhadapan dengan aksi yang dijuluki oleh tentara AS sebagai “serangan banzai” tersebut.
“Biasanya mereka akan menyerbu kami secara bergerombol dan berteriak”banzai” sambil membawa berbagai senjata, dari senjata tempur hingga pisau dapur,” ujar lelaki kelahiran Yogyakarta itu kepada jurnalis Hanna Rambe.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Kendati pada akhirnya mereka bisa dibasmi, namun tak jarang pasukan AS mengalami kebingungan bahkan kepanikan menghadapi serangan model itu. Dalam biografinya Terhempas Prahara ke Pasifik, Soedirmo menyebutkan pernah dua batalyon (2000 prajurit) pasukan AS dari Resimen ke-105 tercerai berai akibat “serangan banzai”
“Alih-alih melakukan perlawanan, malah banyak dari pasukan kami yang panik lalu lari lintang pukang ke berbagai penjuru,” ungkap Soedirmo.
Pedang vs Tank
Soedirmo sendiri nyaris kehilangan nyawa akibat “serangan banzai” itu. Ceritanya, suatu hari dia dan pasukannya tengah melakukan patroli di Pegunungan Tapochau. Saat berdiri di sebuah tanah datar menghadapi satu bukit, tetiba dari arah lereng bukit menyerbulah ratusan orang Jepang bak rombongan semut marabunta menyasar mangsa seraya berteriak “banzai”. Sungguh mengerikan, kata Soedirmo.
Begitu paniknya, pasukan yang dipimpin Boender cepat sekali kehabisan peluru. Mau tak mau mereka pada akhirnya harus berhadapan satu lawan satu dengan bersenjatakan bayonet. Perkelahian brutal pun tak terelakan.
Seorang prajurit Jepang yang terlihat kuat memilih Soedirmo sebagai lawannya. Dia berlari sangat kencang sambil mengacungkan bayonetnya. Soedirmo yang bertubuh jauh lebih tinggi dari prajurit Jepang itu cepat menyambut serangan tersebut.
“Tubuh yang lebih tinggi dan tangan yang lebih panjang memberiku peluang untuk menghujamkan bayonetku lebih dahulu ke tubuhnya, tepat ke jantungnya, sebelum dia mencapai tubuhku,” tutur Soedirmo.
Namun akibat sisa tenaga yang disediakan untuk menghujamkan bayonetnya ke tubuh lawannya, Soedirmo tetap limbung dan roboh pula. Sebelum tewas, prajurit Jepang itu pun masih sempat menusukan bayonetnya ke wilayah paha kanan Soedirmo. Terasa sangat sakit.
“Tapi aku masih memiliki tenaga untuk bangkit dan memimpin anak buahku untuk menghabisi mereka. Jumlahnya cukup banyak, sekitar 200-300 orang,” kenang eks mahasiswa kedokteran di AS itu.
Sebelumnya yakni pada Januari 1944, serangan banzai pun pernah dilakukan oleh para serdadu Jepang di Pulau Kwayalein. Ratusan tentara Jepang secara nekad menyerbu tank-tank milik Angkatan Darat AS yang terkenal kuat dan dirancang anti granat.
“Dan terjadilah pertempuran seperti antara tikus dengan kucing,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Pasifik.
Sambil berteriak “banzai”, berkali-kali pasukan Jepang berupaya meledakan tank-tank itu hanya dengan granat tangan. Alih-alih hancur lebur, yang ada tubuh serdadu Jepang itu yang berantakan sedangkan tank terus berjalan tanpa kerusakan apapun.
Seperti sudah kehilangan akal, bahkan ada sekelompok perwira Jepang yang nekad menyerbu tank-tank itu dengan menggunakan gunto (pedang panjang yang kerap secara salah kaprah disebut sebagai samurai). Mereka menghantamkan gunto-nya pada lapisan baja tank. Tentu saja itu merupakan usaha yang sia-sia.
Tetapi sekonyol apapun “serangan banzai”, kata Soedirmo, tetap itu menjadikan teror yang sangat menakutkan bagi tentara AS. Teriakan putus harapan dari para serdadu Jepang itu terus menghantui hidup sebagian besar tentara AS yang pernah bertugas di palagan Pasifik. Bahkan sampai mereka tua.
Baca juga: Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden