Masuk Daftar
My Getplus

Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua

Kisah pertemuan kegigihan pasukan Amerika dan pertahanan ulet Jepang di utara Papua yang melahirkan pertempuran alot dan melelahkan.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Okt 2020
Pasukan Resimen ke-158 AD Amerika yang terlibat di Palagan Bukit Pohon Tunggal. (Arizona State University Libraries Collection/Fort Tuthill Museum).

SUDAH 75 tahun berlalu, Perang Dunia II masih menyisakan “pekerjaan rumah” bagi pemerintah Amerika Serikat (AS). Per 16 Oktober 2020, data DPAA (Dinas Pencarian Prajurit yang Hilang) Kementerian Pertahanan (Kemhan) Amerika menyebut, 47.163 serdadu AS yang malang di front Pasifik belum ditemukan.

Beberapa dari jumlah itu berada di wilayah Indonesia. Selain di Biak, tercatat 41 personil masih dalam status MIA (missing in action) di area yang kini menjadi Kabupaten Sarmi. Mereka hilang dalam Pertempuran Lone Tree Hill (Bukit Pohon Tunggal), 23 Mei-1 September 1944.

Upaya pencarian prajurit Amerika yang hilang itu  jadi salah satu poin yang disepakati Menhan RI Prabowo Subianto dengan Menhan Amerika Mark Esper. Kesepakatan itu dituangkan dalam Memorandum of Intent (MOI) yang ditandatangani keduanya di Pentagon, 16 Oktober lalu.

Advertising
Advertising
Lone Tree Hill di pesisir utara Papua (Repro The War in the Pacific: The Approach to the Philippines).

Terseretnya wilayah Indonesia dalam Perang Pasifik merupakan imbas langsung dari strategi leapfrogging (loncat kodok) Jenderal Douglas MacArthur, panglima Sekutu Area Pasifik Barat Daya (SWPA). Strategi itu sebagai cara MacArthur mencari jalan untuk kembali merebut Filipina. Filipina dijadikan titik transit untuk mencapai Jepang. MacArthur bersaing dengan Panglima Area Samudera Pasifik Laksamana Chezter W. Nimitz yang punya strategi island-hopping (loncat pulau), untuk mencapai Jepang lebih dulu.

Selain itu, leapfrogging sekaligus untuk memenuhi janjinya, “I Shall Return”, yang diucapkan kala menyingkir dari Filipina, 11 Maret 1942. Untuk itu mencapai Filipina itulah dia melancarkan kampanye di Papua Barat dengan dukungan kekuatan darat, laut, dan udara Inggris, Belanda, serta Australia.

Baca juga: Yang Tercecer dari Pertempuran Biak

Kampanye dimulai 22 April dengan pendaratan di Aitape. Dari sana, pasukan MacArthur loncat untuk merebut Hollandia (kini Jayapura) pada 6 Juni 1944, lalu ke Pulau Biak, Morotai, dan akhirnya Filipina. Dengan leapfrogging itu, MacArthur hanya menyasar titik-titik kekuatan Jepang yang dianggap paling lemah. Titik yang kuat akan dilewati.

Untuk bisa merebut Biak, MacArthur butuh sejumlah lapangan terbang untuk basis pesawat-pesawat pembomnya. Untuk itu ia mempercayakan pada Panglima Tentara Angkatan Darat (AD) ke-6 Amerika Letjen Walter Krueger. Diungkapkan Kevin C. Holzimmer di artikelnya “Walter Krueger, Douglas MacArthur, and the Pacific War: The Wakde-Sarmi Campaign as a Case Study” dalam The American Experience in World War II, Krueger lalu membentuk Tornado Task Force (Gugus Tugas Tornado) dalam rencana Operasi Wakde-Sarmi.

Operasi Wakde-Sarmi, kata Holzimmer, dipimpin Brigjen Jens A. Doe dan bertulangpunggungkan Resimen ke-163. Mereka menginvasi Pulau Wakde dan lapangan terbangnya. Sementara, Brigjen Edwin D. Patrick dengan Resimen ke-158 bergerak untuk merebut Bukit Pohon Tunggal dekat Lapangan Terbang Maffin di pesisir Sarmi.

Letjen Walter Krueger (tengah) Panglima Tentara ke-6 AD Amerika. (navy.mil).

Pertempuran Lone Tree Hill

Lone Tree Hill (Bukit Pohon Tunggal) merupakan dataran setinggi 1.800 meter di atas permukaan laut di pesisir Teluk Maffin. Dataran itu disebut Bukit Pohon Tunggal oleh tentara Amerika lantaran di puncak bukitnya tampak sebuah pohon besar dikelilingi rerimbunan hutan tropis.

“Di bawah bukit terdapat formasi batu karang dan gua yang dimanfaatkan (Jepang) sebagai halang rintang dan pertahanan alam. Sedangkan Pulau Wakde berada di sekitar 1000 yard sebelah barat (Teluk Maffin),” tulis Holzimmer.

Baca juga: Gedoran Corregidor

Kekuatan dua resimen Amerika dalam Operasi Wakde-Sarmi sekitar 10 ribu personil. Jumlah itu lebih besar dari kekuatan Jepang yang mempertahankan area Wakde-Sarmi.

“Seksi intelijen MacArthur (G-2) memperkirakan area itu dipertahankan 6.060-6.750 serdadu dari Resimen Infantri ke-224 dan 225. Sayangnya laporan intelijen itu keliru karena nyata kemudian pasukan Jepang mencapai 11 ribu. Laporannya berdasarkan penafsiran semata terhadap hasil foto-foto pengintaian udara. Pasalnya jika dilakukan pengintaian darat, dikhawatirkan pihak Jepang akan tersadar niat dan sasaran Sekutu,” lanjut Holzimmer.

Jenderal Jenderal Hatazō Adachi (kiri) & posisi pasukan Jepang di Lone Tree Hill. (Repro The Second World War Volume III The Japanese War 1941–1945).

Dua resimen pasukan Jepang yang dipimpin Letjen Hachiro Tagami di Wakde-Sarmi itu adalah sisa pasukan Divisi ke-36 pimpinan Jenderal Hatazō Adachi yang mundur dari Hollandia. Dari 11 ribu personil, 800 di antaranya jadi pasukan pertahanan di Pulau Wakde, sementara sisanya di sekitar Bukit Pohon Tunggal mengawal lapangan terbang Maffin.

“Seperti di Pulau Wakde, di Sarmi pasukan Jepang selain memanfaatkan sistem terowongan di gua-gua sebagai sarang-sarang senapan mesin dan mortir, juga mengandalkan sejumlah pillbox dan parit yang disamarkan. Sistem pertahanan ini dipersiapkan sedemikian rupa hingga mampu bertahan meski digempur pemboman via udara maupun laut,” imbuhnya.

Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor

Pasukan Resimen ke-136 Amerika mendarat dan memulai Pertempuran Pulau Wakde pada 17 Mei. Dari Arare, Jenderal Patrick menggerakkan batalyon di Resimen ke-158 menuju Bukit Pohon Tunggal pada 23 Mei. Gerakan ofensif mereka tak menemukan perlawanan frontal. Perlawanan hanya berasal dari beberapa penembak runduk Jepang yang bersembunyi di rimbunnya hutan.

“Di hari pertama saja Batalyon ke-3 sudah kehilangan delapan personil tewas, 12 terluka dan satu hilang, sementara mereka juga menewaskan enam serdadu Jepang dan satu yang ditawan,” tulis Robert Ross Smith dalam The War in the Pacific: The Approach to the Philippines.

Pendaratan pasukan Resimen ke-158 di tepi Sungai Tor. (navy.mil).

Dalam perjalanan menuju Bukit Pohon Tunggal, pasukan AS dibuat lelah oleh raid-raid dari unit-unit kecil Jepang. Akibatnya, mereka baru sampai di kaki bukit akhir Mei. Perlawanan Jepang terus berlanjut kala bukit itu direbut, hingga akhirnya Resimen ke-158 yang kelelahan harus digantikan pasukan Divisi ke-6.

“Setiap hari kami terlibat baku tembak sejak bergerak hingga digantikan pasukan Divisi ke-6 pada Juni. Kebanyakan operasi kami dihabiskan untuk merebut sebuah lokasi bernama Bukit Pohon Tunggal,” kenang Letnan Harold Braun, komandan Kompi C, Batalyon ke-1, Resimen ke-158 dalam memoarnya, Braun’s Battlin’ Bastards.

“Bukitnya menjadi sarang terowongan dan sarang senapan mesin yang membuatnya hampir mustahil untuk diserang karena sekelilingnya juga dilindungi hutan lebat. Kami harus merebutnya karena bukit itu jadi penghalan besar menuju lapangan terbang Maffin, salah satu target utama kami,” tambahnya.

Urgensi Pasukan Pengganti

Tiga hari setelah memulai ofensifnya, 26 Mei, resimen ke-158 menemui perlawanan paling sengit ketika sudah mendekati kaki bukit. Mereka gagal merebutnya meski telah menewaskan lebih dari 900 serdadu Jepang dan hanya kehilangan 70 nyawa pasukannya. Dua hari berselang, Jenderal Patrick mundur untuk sementara.

Namun pada pada malam 30 Mei, resimen ke-158 mundur teratur setelah sebuah perimeternya dibanjiri ratusan pasukan bunuh diri Jepang. Dalam pertarungan brutal itu tak hanya senapan mesin yang meramaikan, namun juga pertarungan jarak dekat antarserdadu. Pasukan bunuh diri Jepang itu kemudian bisa dihancurkan.

“Saat Patrick berharap bisa menyerang lagi setelah mundur, Jenderal Krueger justru membutuhkan pasukannya untuk operasi Biak dan Numfoor di kemudian hari. Maka Krueger menunjuk pasukan Divisi ke-6 di bawah Mayjen Franklin Sibert untuk menyelesaikan (Pertempuran Bukit Pohon Tunggal). Ofensif Divisi ke-6 dimulai pada 18 Juni yang juga mendapati perlawanan alot,” singkap Stanley Sandler dalam World War II in the Pacific: An Encyclopedia.

Baca juga: Kudeta Seumur Jagung di Istana Kaisar Jepang

Pasukan Silbert melanjukan ofensif untuk merebut Bukit Pohon Tunggal dengan jalur tepi barat Sungai Tirfoam. Dia memecah pasukannya untuk mengapit bukit seraya menyisir gua-gua di rangkaian batu karang di bawah bukit. Setelah melalui hari-hari berat mengandaskan pertahanan ulet Jepang, dua batalyonnya berhasil mencapai puncak bukit pada 24 Juni. Sisa pasukan Jepang lalu mundur ke arah Gunung Saksin di selatan bukit yang menjadi markas pusat Jenderal Tagami.

“Hingga tiba malam mulai tampak perlawanan Jepang di sektor utara bukit melemah dan pada tengah malam 24-25 Juni tidak ada lagi serangan balik berskala besar, meski posisi Batalyon ke-3 (Divisi ke-6 Amerika) di puncak bukit tetap diganggu serangan mortir, granat, dan senapan yang sporadis,” sambung Smith.

Pasukan Divisi ke-6 yang menggantikan Resimen ke-158 di Pertempuran Bukit Pohon Tunggal. (United States Army Center Of Military History).

Pasukan Amerika tetap mengejar pasukan Jepang yang mundur ke Bukit 225, Bukit 265, dan Gunung Saksin lantaran lokasi itu masih jadi penghalang Amerika untuk menguasai lapangan tebang Maffin. Lapangan terbang itu akhirnya direbut pada awal 9 Juli.

Tugas pengawalan perimeter dan patroli kemudian dialihkan oleh Jenderal Krueger, dari Divisi ke-6 ke Divisi ke-31 pimpinan Mayjen John C. Persons pada 18 Juli. Divisi ke-6 kemudian dijadikan pasukan pelindung dan cadangan jelang invasi ke Morotai oleh Krueger.

Baca juga: Suara Titisan Dewa Mengakhiri Perang Pasifik

Tugas patroli di perimeter barat dan timur lapangan terbang serta memburu sisa-sisa pasukan Jepang di pedalaman dilakukan Divisi ke-31 hingga Operasi Wakde-Sarmi dinyatakan berakhir oleh Krueger pada 1 September. Divisi ke-31 mengalami kerugian 39 personil tewas, 195 terluka, dan tiga lainnya hilang.

“Selama periode 17 Mei-1 September, sebanyak 3.870 serdadu Jepang tewas dalam pertempuran dan 51 ditawan. Ribuan sisanya dari jumlah awal 11 ribu, meninggal karena sakit, kelaparan, atau terkubur di gua-gua yang dihancurkan Amerika di bawah Bukit Pohon Tunggal,” tambahnya.

Sementara, Amerika baik dari pasukan Resimen ke-158, Divisi ke-6, maupun Divisi ke-31, mengalami kerugian total 400 personil tewas, 1.500 terluka, dan 41 serdadu dinyatakan hilang hingga saat ini.

TAG

perang dunia amerika serikat jepang papua

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia