Masuk Daftar
My Getplus

Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo

Salah satu putra terbaik bangsa dari kalangan suku Karo.

Oleh: Martin Sitompul | 23 Okt 2018
Letnan Jenderal Djamin Gintings. Foto: Repro Buku "Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir".

Di kota Medan, Jalan Letnan Jenderal Jamin Ginting sungguh tak asing. Jalan ini membentang sepanjang 80 km: mulai dari Padang Bulan, Medan, sampai ke Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Walaupun lebarnya tak sebesar Jalan Jenderal Gatot Subroto di Jakarta, barangkali itulah jalan terpanjang di Indonesia. Namanya merujuk sosok pejuang asal Karo, Djamin Gintings.

“Djamin Gintings inilah yang diakui dan dielu-elukan warga Karo sebagai bapaknya orang Karo," tutur Derom Bangun, pengusaha sawit terkemuka yang juga putra Karo dalam Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia.

Djamin Gintings merintis nama besarnya dalam balutan seragam tentara. Di zaman revolusi, dia memanggul senjata dan ikut gerilya. Hampir separuh hidupnya kemudian dihabiskan di dunia militer. Keprawiraan Djamin terus menanjak sebagai panglima Bukit Barisan hingga menjadi perwira tinggi di Markas Besar TNI AD. Dari gelanggang militer, Djamin menutup kiprahnya di negeri orang sebagai duta besar.

Advertising
Advertising

“Ketika dia meninggal dunia, banyak warga Karo sedih, seakan kehilangan ayahnya sendiri,” kenang Derom Bangun.

Komandan Gerilya

Nama lengkapnya Djamin Ginting Suka. Lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Berayahkan Lantak Ginting Suka, seorang penghulu desa, memungkinkan Djamin mengenyam pendidikan Belanda di masa kolonial. Di kemudian hari, Djamin lebih suka menyingkat namanya: Djamin Gintings.

Djamin mengawali karier militernya di zaman pendudukan Jepang. Pada 1943, dia mengikuti pelatihan perwira tentara sukarela, Giyugun. Beberapa rekan seangkatannya antara lain: Ahmad Tahir, Ricardo Siahaan, dan Boyke Nainggolan.

Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik

Sempat bertugas di Pangkalan Brandan sebagai komandan pengawal, Djamin kemudian dipindahkan ke Blangkejeren, Aceh Tenggara. Di Blangkejeren, Djamin menjadi komandan Kompi Istimewa Giyugun dan merupakan satu-satunya perwira bumiputra.

“Di kota kecil inilah Djamin mendidik anak-anak muda asal Gayo untuk dijadikan prajurit tanah air ala Jepang. Kelak kemudian banyak dari anak-anak muda itu menjadi prajurit perjuang RI,” tulis Robert Parangin-Angin dalam Djamin Gintings: Maha Putra Utama RI.

Selepas pendudukan Jepang, Djamin menjadi komandan batalion TKR di Kabanjahe. Djamin terlibat di banyak palagan ketika memegang wilayah perang di Tanah Karo, Langkat, Deli Serdang, dan Aceh Tengah selaku komandan Resimen I  Divisi X. Di wilayah ini, kerap terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda di tengah hutan dan dalam situasi mengungsi. Dalam buku hariannya, Djamin setidaknya mencatat dua pertempuran terpenting.

Baca juga: Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo

Pertempuran Titi Bambu terjadi pada 21 Agustus 1947 tatkala pasukan Kompi Markas Resimen I yang hendak menyebrang Sungai Wampu dibantai tentara Belanda. Pertempuran lain terjadi di Bukit Mardinding pada 28 Desember 1948. Dalam pertempuran Mardinding, Djamin menginstruksikan pasukan dari Batalion XV untuk menyerang basis Belanda dengan taktik gerilya. Tujuh orang pasukannya gugur, termasuk komandan Kompi Seksi II Letnan Kadir Saragih. Di pihak Belanda, delapan orang tewas berikut dua orang tawanan. Atas prakarsa Djamin, untuk mengenang pertempuran berdarah itu, nama Bukit Mardinding kemudian diganti menjadi Bukit Kadir.

Selama menjadi komandan resimen, Djamin kesohor dengan sapaan “Pak Kores”. Artinya, Pak Komandan Resimen. “Begitu populernya panggilan ini, sehingga kelak meski Komandan Resimen sudah diganti Komandan Brigade, panggilan Pak Kores tetap melekat pada suamiku,” tutur istri Djamin, Likas Tarigan kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit.

Menjadi Panglima

Pergumulan batin meliputi diri Djamin ketika gerakan PRRI menyatakan perlawanan kepada pemerintah pusat. Saat itu, Divisi Bukit Barisan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon sedangkan Djamin menjadi kepala stafnya. Hampir sebagian besar perwira daerah bergolak mendukung PRRI.

Djamin Gintings, menurut Tengku Nurdin, perwira Bukit Barisan yang ketika itu menjadi atase militer di Singapura, semula seturut dengan Simbolon. Namun di tengah jalan, Djamin kemudian berbalik arah. Dalam biografinya, Nurdin mengakui keterkejutannya atas perubahan sikap Djamin.

“Secara pribadi, dialah yang mengajak saya untuk mendukung PRRI. Dialah yang terlebih dahulu memberi dukungan. Kami anak buah yang loyal tunduk pada putusannya,” ujar Tengku Nurdin kepada penulis Izharry Agusjaya Moenzir dalam Bara Juang Nyala di Dada.

Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatera

Djamin memutar haluan terutama setelah menerima perintah dari Jakarta untuk mengambilalih komando Bukit Barisan. Pemerintah pusat kemudian mendaulat Djamin sebagai panglima menggantikan Simbolon yang terpaksa mengundurkan diri ke Tapanuli, kawasan basis Batak Toba. Jabatan panglima disandangnya sejak 27 Desember 1956 hingga 4 Januari 1961.

Mengapa Djamin bermanuver dengan memukul PRRI? Tentu ada kepentingan. Hal ini diakui Djamin kepada Sayidiman Suryohadiprodjo. Ketika itu, Kapten Sayidiman, komandan Batalion 309 Siliwangi, bertugas membawa pasukannya ke Medan dan Tapanuli untuk menumpas perlawanan PRRI. Menurut purnawirawan bintang tiga itu, Djamin mengatakan keinginannya memajukan masyarakat Karo.

“Mungkin ia melihat peluang memajukan orang Karo karena hampir semua panglima Bukit Barisan yang suku Toba gabung PRRI,” tutur Sayidiman kepada Historia. “Di kalangan orang Toba, Pak Djamin kurang disukai karena sebagai Pangdam Medan dia terus-terang mau majukan masyarakat Karo yang ketinggalan.”

Dari Mabes ke Dubes

Djamin termasuk panglima daerah yang menonjol. Pada 1962, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menariknya ke Jakarta. Djamin dipersiapkan untuk mengisi pos asisten II bidang operasi dan latihan.

Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer di Indonesia 1945-1967, Djamin Gintings merupakan satu dari dua orang dekat Nasution – selain Sokowati – yang dipilih Yani menjadi asistennya. Senada dengan Sundhaussen, Sayidiman juga menuturkan bahwa Djamin jadi asisten II di staf Yani tapi bukan pilihan utama Yani yang lebih berorientasi kepada perwira intelektual. Namun yang cukup penting, Djamin adalah sosok yang loyal kepada Presiden Sukarno.

Baca juga: Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno

“Ia orang yang terus terang dan baik hati. Dua sifat ini kompensasi efektif untuk kekurangan intelek,” kata Sayidiman. “Tapi Djamin loyal kepada Sukarno. Dan karena kurang intelek, kurang tegas tolak Nasakom.”

Karier Djamin mulai meredup memasuki era Orde Baru dalam kepemimpinan Soeharto. Sebagaimana diungkapkan Sayidiman, di zaman Soeharto, Djamin Ginting kurang disukai. Djamin bukan orang yang mudah turut dalam grup Soeharto. Sebab itu, posisinya di Staf Umum AD digantikan oleh Soemitro. Setelah itu, Djamin sempat bergiat di bidang politik dalam Golongan Karya dan sebagai anggota DPR.

Pada 1972, pemerintah mengirimkan Djamin ke Kanada sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Indonesia dengan pangkat letnan jenderal. Istri Djamin, Likas Tarigan, menggambarkan penugasan di Kanada sebagai masa kelabu dalam hidup suaminya. Sebagai tentara, Djamin agak tak ikhlas menerima tugas sebagai duta besar dan berharap kembali ke Indonesia. Namun di situlah ujung pengabdiannya.  

Tak lama di Kanada, pada 23 Oktober 1974, Djamin Gintings tutup usia dalam usia 53 tahun. Harian Kompas, 24 Oktober 1974 memberitakan Djamin meninggal pada hari Rabu sore pukul 15.30 waktu Kanada setelah menderita penyakit darah tinggi. Dari Ottawa jasad Djamin diberangkatkan ke Jakarta untuk kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 2014, Presiden Joko Widodo mengangugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.     

Baca juga: 

Loyalis Bernama Adjie

 

 

 

TAG

Jenderal Tokoh-Karo

ARTIKEL TERKAIT

Evolusi Angkatan Perang Indonesia Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Dicopot dari Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani Santai Sudirman dan Bola Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Jenderal Disko Ancaman Pemakzulan Gubernur Jenderal VOC